Liputan6.com, Bali - Hujan yang semestinya menjadi berkah malah menjadi musibah, jika manusia tidak bisa 'menangkapnya' dengan bijak. Itulah yang terjadi di Bali beberapa hari terakhir ini. Sejumlah daerah lumpuh saat air banjir menerjang. Kota Denpasar menjadi salah satu yang terparah karena lokasinya yang berada di bagian selatan (hilir).
Bukan hanya kerugian materi, banjir Bali juga memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Kamis (11/9/2025), pukul 11.00 WIB, jumlah korban meninggal dalam bencana banjir di Provinsi Bali bertambah menjadi 14 orang, dan dua di antaranya masih hilang.
"Data sementara per Kamis, 11 September 2025, pukul 11.00 WIB, total korban meninggal dunia yang sudah ditemukan berjumlah 14 jiwa dan yang masih dalam pencarian sebanyak 2 warga," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari kepada wartawan, Kamis (11/9/2025).
Rincian korban meninggal, di Kota Denpasar sebanyak 8 orang, Kabupaten Jembrana 2 orang, Kabupaten Gianyar 3 orang, dan Kabupaten Badung 1 orang.
"Korban yang hilang sebanyak dua jiwa teridentifikasi di Kota Denpasar," lanjutnya.
Sementara itu, sejumlah warga mengungsi di beberapa titik pos pengungsian. BPBD Provinsi Bali menginformasikan 562 warga mengungsi, dengan rincian 327 warga di Kabupaten Jembrana dan 235 warga di Kota Denpasar.
Fasilitas umum, seperti sekolah, balai desa, musala dan banjar dimanfaatkan sebagai pos pengungsian sementara.
Petugas gabungan masih melakukan upaya tanggap darurat seperti pencarian korban dan pengendalian banjir dan longsor yang berdampak kepada masyarakat.
"BNPB memberikan bantuan berupa selimut 200 lembar, matras 200 lembar, sembako 300 paket, tenda keluarga 50 unit dan tenda pengungsi 2 unit. Sedangkan untuk penanganan banjir, BNPB membantu perahu karet dan mesin 1 unit dan pompa air 3 unit," tutur Abdul Muhari.
Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan banjir parah di Bali? Pengamat Tata Kota Universitas Udayana Putu Rumawan Salain, saat dihubungi Tim Regional Liputan6.com, Kamis (11/9/2025) mengatakan, banjir saat ini bisa dibilang sebagai banjir yang terbesar dan terparah yang pernah terjadi di Bali, dengan memakan korban jiwa terbanyak dan hampir seluruh wilayah Bali mengalaminya.
"Ini sebagai dampak dari perencanaan, tapi semua itu kan tingkah polah manusia, yang melakukan kegiatan di atas bumi. Jadi ini adalah sebagai peringatan kepada kita untuk mencermati dan tunduk kepada tata ruang yang sudah dirancang," katanya.
Putu juga menjelaskan, banyak pelanggaran di pemerintahan soal alih fungsi lahan dan kepemilikanya, yang akhirnya menjadi salah satu pemicu banjir parah di Bali. Putu juga tidak memungkiri bahwa pariwisata Bali yang jadi trigger utama banyaknya perubahan fungsi dan pemanfaatan lahan di Bali.
Pariwisata secara langsung mendorong makin tingginya jumlah penduduk di Bali. Banyak orang mencari kerja di Bali di samping juga angka kelahiran yang tinggi. Sehingga Bali penduduk Bali saat ini sudah mencapai angka 4 juta lebih, dan di Denpasar sudah hampir 1 juta penduduk.
"Bayangkan di kota yang sekecil ini luasnya (Denpasar)," kata Rumawan.
Kepadatan penduduk itu, katanya, akan mendorong banyak orang untuk memanfaatkan lahan sekecil-kecilnya sebagai tempat tinggal. Pada akhirnya sempadan atau daerah-daerah di pinggir sungai 'dirampok' sehingga daerah aliran sungai menyempit.
"Belum lagi akibat pendangkalan, pencurian lahan untuk bangunan dan lain-lain, itu menjadikan semakin susah penyaluran air dari penyaluran primer sampai ke tersier," ungkap Rumawan.
Peralihan daerah sawah menjadi permukiman juga mengubah tata ruang kota sehingga saat terjadi hujan, airnya meluap, air kemudian mencari jalannya sendiri ke tempat yang rendah, seperti Denpasar.
"Di sisi selatan ini kan daerah dataran yang paling rendah, diserbu oleh hujan berbagai daerah di hulu, dari Tabanan, diserbu dari Gianyar," katanya.
Putu Rumawan juga menjelasakan, sebenarnya dalam rencana tata kota dan tata ruang Provinsi Bali, yang sudah direvisi 2023, sudah diatur untuk tidak menambah slot pada titik-titik perkembangan pariwisata.
"Sekarang ini kan banyak sekali tumbuh bahkan membuat konflik di daerah-daerah masyarakat kan ada adat yang dibenturkan, ada politik yang terbenturkan, karena investor bawa uang itu berlindung di balik kekuasaan dan di balik adat, jadi kan yang konflik masyarakat," kata Rumawan.
Dirinya mewanti-wanti pemerintah dalam hal ini harus tegas menegakkan peraturan yang ada, karena sekarang bukan hanya kerugian materi sebagai imbasnya, tapi juga memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Menurut Rumawan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah agar banjir parah setidaknya tidak terulang untuk kedua kalinya, yakni pertama, penegakan aturan tata ruang dan tata kota.
Kedua, di dalam pengurusan izin-izin pembangunan harus tegas. Garis sempadan bangunan samping, belakang, depan, itu harus dipenuhi. Lahan di Bali yang sudah sempit ini karena pembangunan pariwisata, sangat susah dicari lahan yang bisa menyerap air, kalau pun ada presentasenya tidak banyak.
"Banyak lahan sudah ditutup sama beton paving, atau batu sikat bumi tidak meresap air lagi jadi tidak ada kemampuan bumi tidak pernah napas dan tidak minum seolah-olah begitu dan ketika dia tidak kuat dia melempa semua yang dia muntahkan," kata Rumawan.
Rumawan menegaskan, hujan tidak perlu disalahkan dan dicap sebagai pemicu banjir besar. Yang diperlukan saat ini adalah kejernihan berpikir untuk mencegah dan menanggulangi jika sewaktu-waktu hujan turun dengan deras.
"Mungkin turis juga tidak mau datang, kalau kita saja tidak bisa mencegah dan menanggulangi banjir," katanya.