Liputan6.com, Makassar - Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan (Polda Sulsel) resmi digugat ke Pengadilan Negeri Makassar terkait kerusuhan pada 29 Agustus 2025 yang berujung pada pembakaran gedung DPRD Kota Makassar dan DPRD Provinsi Sulsel. Gugatan perbuatan melawan hukum ini diajukan oleh Muhammad Sulhadrianto Agus (29) melalui kuasa hukumnya, Muallim Bahar.
"Hari ini kami, kuasa hukum penggugat, resmi mendaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri Makassar terkait perbuatan melawan hukum oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Polda Sulawesi Selatan. Gugatan ini berkaitan dengan penanganan aksi unjuk rasa yang mengakibatkan terbakarnya dua kantor DPRD serta menyebabkan beberapa orang meninggal dunia," kata Muallim Bahar kepada wartawan, Senin (8/9/2025).
Menurut penggugat, kepolisian dianggap lalai dalam melakukan upaya preventif untuk mencegah kerusuhan Makassar. Padahal, potensi kerusuhan seharusnya bisa diprediksi sejak dini melalui informasi intelijen.
"Pertanyaannya sekarang, siapa yang bertanggung jawab? Dalam perspektif kami, ada ruang di mana kepolisian tidak melakukan langkah pencegahan secara detail. Seharusnya data intelijen sudah mengetahui potensi kejadian tersebut. Namun, pada saat peristiwa berlangsung, masyarakat tidak melihat adanya kehadiran dan penanganan dari kepolisian," tegas Muallim.
Gugatan ini menyoroti besarnya kerugian yang dialami masyarakat maupun pemerintah. Kerugian materil ditaksir mencapai Rp500 miliar, sedangkan kerugian immateriil seperti trauma dan hilangnya rasa aman diperkirakan senilai Rp300 miliar. Dengan demikian, total ganti rugi yang diminta mencapai Rp800 miliar.
"Kami menilai penanganan aksi unjuk rasa pada 29 Agustus lalu tidak sesuai dengan peraturan Kapolri tentang penanganan aksi unjuk rasa. Karena itu, kami mengajukan gugatan kerugian material sebesar Rp800 miliar. Angka ini jelas dan akan kami buktikan di pengadilan. BPPD Kota Makassar merilis kerugian hampir Rp500 miliar, sementara pemerintah provinsi mengusulkan anggaran Rp223 miliar ke Kementerian PUPR untuk membangun kembali gedung DPRD Sulsel. Kerugian masyarakat sangat besar," jelasnya.
Selain kerugian, kuasa hukum juga menyoal pernyataan polisi yang menyebut kalah jumlah saat menghadapi massa sehingga memilih menarik diri.
"Kami juga mempertanyakan pernyataan kepolisian yang menyebut kalah jumlah dan menjadi target massa. Faktanya, jika polisi yang menjadi target, mestinya Polrestabes atau Polda yang diserang. Kenyataannya, titik aksi adalah kantor DPRD sesuai dengan tuntutan massa yang membawa isu nasional: bubarkan DPR," ucap Muallim.
Ada Data Valid
Mualim juga menegaskan, kerusuhan tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian materil, tetapi juga memakan korban jiwa.
"Tiga warga Kota Makassar meninggal dunia di sekitar kantor DPRD Kota Makassar. Mereka hanya datang untuk mencari kerja, namun nyawanya hilang. Ini jelas pelanggaran HAM," ungkapnya.
Dalam gugatannya, pihak penggugat mengajukan tujuh petitum atau tuntutan, termasuk permintaan agar Polda Sulsel dihukum membayar ganti rugi Rp800 miliar.
"Atas dasar itu, kami menggugat Kapolda Sulawesi Selatan. Ada tujuh petitum atau permintaan yang kami ajukan, salah satunya terkait kerugian material Rp800 miliar yang kami harapkan dapat digunakan untuk pembangunan kembali gedung DPRD," tuturnya.
Muallim menegaskan gugatan ini berdasar pada Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, serta Perkap Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Aksi Unjuk Rasa.
"Langkah ini adalah langkah konstitusional. Daripada saling menyalahkan, lebih baik kepolisian mempertanggungjawabkan semuanya di persidangan. Kami pun memiliki data yang valid dan akan membuktikannya di meja hijau," pungkasnya.
Tak Terlihat Ada Pihak Polisi
Sebagai informasi, pantauan Liputan6.com, aparat kepolisian berseragam lengkap tak terlihat sama sekali di lokasi kerusuhan. Padahal, kerusuhan itu berlangsung berjam-jam, dari Jumat malam hingga Sabtu (30/8/2025) dini hari.
Padahal, awalnya suasana di Makassar masih berjalan damai. Aksi solidaritas atas tewasnya Affan Kurniawan, driver ojol yang dilindas mobil baracuda Brimob Polri, digelar di sejumlah titik sejak Jumat siang. Massa berkumpul di depan kampus Unhas, UMI, Unibos, UNM, Unismuh, dan beberapa lokasi lainnya.
Namun, situasi berubah drastis ketika malam menjelang. Sekitar pukul 20.30 Wita, sekelompok massa misterius membakar Pos Polantas di pertigaan Jalan AP Pettarani–Jalan Sultan Alauddin.
Tak berhenti di situ, amukan massa menjalar cepat. Dalam waktu nyaris bersamaan, Kantor DPRD Kota Makassar digeruduk. Pagar dirusak, enam motor diseret ke jalan lalu dibakar. Api membubung tinggi, menandai awal dari malam penuh teror.
Kerusuhan terus meluas. Sejumlah orang melakukan penjarahan, puluhan mobil di area DPRD dibakar, bahkan bom molotov dilempar ke dalam gedung. Api pun melalap seluruh bangunan DPRD Kota Makassar sekitar pukul 22.50 Wita.
Belum reda, titik panas lain kembali muncul. Di kawasan Fly Over Makassar, dua mobil dibakar di area Kejati Sulsel. Sekitar pukul 23.30 Wita, giliran Pos Polantas di bawah Fly Over ikut dilalap api.
Gelombang kerusuhan semakin tak terkendali. Massa bergerak ke Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, merusak pagar utama, lalu membakar gedung tersebut hingga api berkobar hebat pada Sabtu (30/8/2025) pukul 00.30 Wita.
Tak lama kemudian Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman dan pihak TNI turun tangan meredam aksi massa. Secara berangsur massa pun bubar.