Pembangunan Bahan Bakar Turunan Sampah di Kota Padang, Solusi atau Masalah Baru?

1 month ago 17

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Kota Padang akan membangun fasilitas Refuse Derived Fuel (RDF) atau bahan bakar turunan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Air Dingin. Dengan dana Rp 120 miliar dari pemerintah pusat, proyek ini diproyeksikan mampu mengolah 200 ton sampah per hari dari total timbunan sampah Kota Padang yang mencapai 750 ton.

Wali Kota Padang, Fadly Amran mengatakan saat ini sudah ada minat dari sejumlah investor, baik dalam negeri maupun luar negeri.

“Salah satunya adalah investor asal Jepang yang menyatakan ketertarikan untuk membangun RDF di Kota Padang,” kata Fadly, Rabu (20/08/2025).

Pembangunan RDF, katanya dinilai akan dapat membantu pengelolaan masalah sampah di Padang. Data dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Padang, produksi sampah di ibu kota provinsi ini mencapai 750 ton per hari.

“RDF bisa mengolah 200 ton per hari, kajiannya sedang dipercepat agar proyek tersebut bisa segera dijalankan,” ujarnya.

RDF merupakan hasil pengolahan sampah yang dikeringkan untuk menurunkan kadar air hingga kurang dari 25 persen dan menaikkan nilai kalorinya, setelah sebelumnya dicacah terlebih dahulu untuk menyeragamkan ukurannya menjadi 2-10 centimeter.

Namun, teknologi ini mendapat sorotan karena dinilai merupakan solusi palsu dari pengelolaan sampah yang berlawanan dengan prinsip sampah sebagai sumber daya berkelanjutan, seolah-olah itu menjadi sebuah solusi namun nyatanya malah menimbulkan masalah baru.

Manajer Kampanye Tata ruang dan Infrastruktur Walhi Nasional, Dwi Sawung mengatakan RDF menimbulkan masalah terutama kepada masyarakat, seperti bau menyengat, menghasilkan racun dari sampah plastik seperti dioxin dan furan. Serta RDF juga menghambat sistem kompos.

“RDF ini selalu digadang-gadang pemerintah pusat, mungkin karena produknya bisa dijual, karena nilai ekonomi tersebut jelas terindikasi bahwa pengadaan RDF pasti mengandung konflik kepentingan,” ujarnya.

Selain persoalan ekonomi, RDF juga menyimpan risiko lingkungan dan kesehatan. Sebuah penelitian oleh Nikmah Maulidia dari Universitas Brawijaya (2019), yang dipublikasikan melalui repository kampus, RDF di TPA Ngipik, Gresik, menemukan emisi karbon monoksida (CO) mencapai 4.198–16.518 ppm.

Angka ini jauh di atas ambang batas aman internasional, WHO hanya merekomendasikan rata-rata 8 jam sekitar 9 ppm, OSHA menetapkan batas kerja 50 ppm, dan NIOSH bahkan menyebut 1.200 ppm sudah masuk kategori berbahaya bagi kehidupan (IDLH). Data ini menunjukkan emisi RDF berpotensi ratusan kali lebih beracun dibanding standar yang diperbolehkan

Dengan demikian, emisi RDF berpotensi ratusan kali lipat lebih beracun dibanding standar yang diperbolehkan, sehingga tanpa sistem pengendalian yang ketat justru mencemari udara dan mengancam kesehatan warga sekitar.

Belajar dari Daerah Lain

Pembangunan RDF sudah terlebih dahulu dilakukan oleh sejumlah daerah lain di Indonesia, misalnya RDF Rorotan di DKI Jakarta, dan juga RDF di Banyumas Jawa Tengah.

Di Banyumas, persoalan sampah masih menjadi pekerjaan rumah yang rumit. Meskipun berbagai upaya dilakukan, pemanfaatan RDF sebagai salah satu solusi pengolahan sampah ternyata tidak berjalan mulus.

Alih-alih menjadi jalan keluar, sistem ini justru menimbulkan persoalan baru di antaranya biaya tinggi, ketergantungan pada offtaker, hingga penolakan dari masyarakat. Dampak dari persoalan tersebut terasa hingga ke tingkat rumah tangga.

Banyak warga kehilangan semangat untuk memilah sampah, karena upaya mereka sering kali tidak berujung pada pengelolaan yang jelas.

Prihatini (35), warga Kecamatan Purwokerto Utara, Kabupaten Banyumas sudah lama berhenti memilah sampah dari rumah. Alasannya sederhana tidak ada tindak lanjut dari petugas.

“Saya dulu sudah mencoba memilah, tapi akhirnya dicampur lagi. Sekarang ya sudah, saya buang campur saja,” katanya ketika ditemui di rumanya, 12 Agustus 2025.

Hal serupa diungkapkan Dian (50), warga Purwokerto Timur, yang juga merasa sia-sia memilah karena sampah tetap diangkut begitu saja ke mobil terbuka.

Di sisi lain, pengepul rongsok seperti Ahmad Rojikun (57) masih bertahan dengan memilah plastik, kardus, dan botol bekas yang bernilai ekonomis. Namun ia mengaku harga barang-barang daur ulang kini merosot tajam.

“Kalau dulu kardus bisa Rp 3.000 per kilo, sekarang di bawah Rp 2.000. Plastik juga turun,” ujarnya.

Pengelola TPST 3R Rempoah Baturraden, Nana Supriyana mengatakan RDF justru menuntut biaya besar dan berisiko ditolak pabrik semen sebagai pembeli tunggal.

“Kalau RDF, kami harus produksi, keluarkan biaya tenaga, ongkos kirim, lalu belum tentu diterima. Pernah dua kali kami dipulangkan karena kadar air tinggi,” ungkap Nana.

Biaya Produksi Tinggi, Untung Tipis

Secara matematis, keuntungan dari TPST 3R RDF Rempoah Baturraden hampir tidak ada. Nana merinci, untuk menghasilkan satu ton RDF, dibutuhkan waktu hingga 7 jam karena kapasitas mesin yang kecil.

Proses untuk menghasilkan palet ini menghabiskan 10 liter solar senilai sekitar Rp 68.000 dan melibatkan dua tenaga kerja, masing-masing dibayar Rp 100.000 per hari atau total Rp 200.000.

Dengan demikian, biaya produksi RDF per ton mencapai sekitar Rp 268.000. Padahal harga jualnya ke pabrik semen hanya Rp 350.000 per ton.

Artinya, keuntungan bersih yang diperoleh pengelola hanyalah sekitar Rp 100.000 per ton. Jumlah yang nyaris tidak sebanding dengan tenaga, waktu, dan risiko yang ditanggung.

“Kalau dihitung-hitung, untungnya kecil sekali. Sementara kalau ditolak karena kadar air tinggi, kerugian jauh lebih besar. Itu sebabnya kami lebih memilih daur ulang dibanding RDF,” ujar Nana.

Kemudian Nana menyebut rata-rata satu ton RDF diproduksi per hari, dijual ke PT Solusi Bangun Indonesia (SBI) di Cilacap, anak usaha Semen Indonesia.

Masalah muncul ketika pabrik semen tidak lagi menerima pasokan, entah karena kelebihan kapasitas atau masalah teknis. Akibatnya, sampah menumpuk dan sebagian harus dimusnahkan lewat insinerator.

Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Banyumas, Arif Sugiyono, mengakui bahwa ketergantungan pada satu offtaker menjadi kelemahan utama sistem RDF.

“Kalau Cilacap berhenti, otomatis ada sumbatan. Padahal produksi RDF jalan terus per hari. Itu yang jadi tantangan,” katanya.

Pemerintah kini berupaya mencari offtaker baru, termasuk menjajaki kerja sama dengan Semen Bima di Ajibarang. Namun upaya ini masih dalam tahap awal.

Dengan anggaran yang menurun dari Rp 15 miliar pada tahun sebelumnya menjadi sekitar Rp 10 miliar tahun ini Banyumas menghadapi dilema. Di satu sisi, volume sampah terus meningkat, sementara di sisi lain biaya operasional harus ditekan.

Penggunaan RDF di Banyumas menunjukkan betapa rapuhnya sistem pengelolaan sampah jika hanya mengandalkan satu solusi teknis. Biaya tinggi, hasil tipis, dan ketidakpastian pasar membuat RDF sulit diandalkan.

Sementara itu, edukasi pemilahan sampah di tingkat rumah tangga berjalan lambat, padahal bisa mengurangi beban sejak awal.

“Kalau masyarakat mau memilah sampah organik dan anorganik dari rumah, beban di kami akan jauh lebih ringan. Sayangnya, kebanyakan masih berpikir urusan sampah biar ditangani orang lain,” kata Nana.

Tanpa perubahan perilaku masyarakat, dukungan pasar yang stabil, dan intervensi serius pemerintah, Banyumas seolah berjalan di tempat. Sampah tetap menumpuk, RDF hanya memberi keuntungan tipis, dan solusi menyeluruh masih jauh dari kata rampung.

Proyek Ambisius Pemerintah

Koordinator NOL Sampah, Hermawan Some menilai banyak program pengelolaan sampah yang digadang-gadang sebagai solusi justru bisa menjadi “solusi palsu.” Menurutnya, alih-alih menyelesaikan persoalan, pendekatan ini justru menimbulkan masalah baru seperti pencemaran lingkungan dan biaya operasional yang tidak efisien.

“Kenapa disebut solusi palsu? Karena seolah menyelesaikan masalah, padahal menimbulkan masalah lain. Misalnya pencemaran,” ujarnya.

Hermawan mencontohkan penggunaan teknologi RDF yang kini banyak dipromosikan pemerintah daerah sebagai cara cepat mengurangi volume sampah. Padahal, katanya, komposisi sampah di Indonesia sebagian besar sekitar 60 persen adalah sampah organik atau sisa makanan. Sementara RDF hanya membutuhkan bahan dengan nilai kalor tinggi, seperti plastik dan kertas.

“Artinya, masalah utama sampah organik tetap tidak teratasi. Dari total sampah, plastik hanya sekitar 20 persen. Itu pun sebagian masih bernilai ekonomi karena bisa didaur ulang. Jadi RDF sebenarnya tidak menyelesaikan masalah,” jelasnya.

Dalam Permen LHK Nomor 70 Tahun 2016 tentang Standar Pengelolaan Sampah Termal, ada larangan keras membakar bahan-bahan tertentu, antara lain kaca, butiga, vinil, plastik PVC, hingga aluminium foil. Faktanya, komposisi sampah rumah tangga di Indonesia masih banyak mengandung bahan-bahan ini.

“Sulit dipisahkan. Misalnya dari kemasan makanan, bungkus mi instan, atau label produk. Kalau itu terbakar, jelas mencemari,” katanya.

Ia mengungkapkan pengalaman lapangan dari fasilitas RDF di Rempoah, Banyumas. Belakangan pabrik menolak RDF dari sana karena kadar airnya tinggi.

“Akhirnya, sampah RDF yang sudah dicacah malah dibakar menggunakan tungku bakar. Asapnya ke mana-mana, abunya berterbangan. Tentu saja ini mengancam kesehatan masyarakat,” kata Hermawan.

Menurutnya, dari sisi ekonomi skema RDF juga tidak menguntungkan. Biaya produksi yang hampir setara dengan harga jual hanya mungkin tertutupi kalau lokasi dekat dengan pabrik semen.

Selain soal kualitas, ada juga kendala teknis. Mesin pemilah yang dikenal sebagai “jibrik” sering macet karena sampah di Indonesia bukan hanya plastik dan kertas, tetapi bercampur batu, logam, dan besi. “Kalau mesin tersangkut besi atau batu, proses berhenti lama. Ini kendala serius,” jelas Hermawan.

Kunci utama justru ada pada pemilahan sampah dari hulu. Tanpa pemilahan, RDF maupun metode termal lain akan menemui jalan buntu. “Kalau sudah dipilah, sebetulnya tidak perlu dibakar. Organik bisa jadi kompos, plastik bisa didaur ulang. Selesai,” ujarnya.

Namun, realitas di lapangan berbeda. Pemerintah justru cenderung melirik proyek-proyek besar bernilai miliaran, seperti RDF dan insinerator. Padahal, pengalaman di berbagai daerah menunjukkan insinerator tidak berhasil karena sampah Indonesia mayoritas organik, sehingga sulit terbakar tanpa tambahan bahan bakar fosil.

“Biaya operasional jadi tinggi, polusi tetap ada. Jadi, sebenarnya kita memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya,” kata Hermawan.

Beberapa skema RDF memang melibatkan pihak ketiga, seperti Reciki atau Resenergi, dengan mekanisme pemerintah membayar tipping fee Rp176 ribu–Rp200 ribu per ton kepada pengelola.

Tapi praktiknya, menurut Hermawan, tidak selalu berjalan mulus. Ada proyek yang berhenti karena kualitas RDF tidak memenuhi standar, ada juga yang gagal karena pabrik semen menolak.

Dari pengalaman itu, ia menilai RDF tidak hanya gagal menjawab problem sampah, tetapi juga bisa menambah masalah polusi udara, residu beracun, dan kerugian ekonomi.

“Jadi kalau mau bicara solusi konkirt, kuncinya tetap di pemilahan dari sumber. Itu yang harus didorong. Bukan proyek besar yang justru berisiko jadi solusi palsu,” ia menambahkan.

Rencana Pembangunan RDF di Padang

Sementara di Padang, pemerintah kota masih terus mengupayakan pembangunan RDF di TPA Air Dingin meski hingga kini belum ada kejelasan dari pemerintah pusat yang mencanangkan proyek ini.

“Dari pemerintah pusat hingga saat ini belum memiliki titik terang. Apakah persoalannya terkait efisiensi atau hal lain, saya tidak ingin berspekulasi,” kata Fadly.

Ia menyampaikan saat ini lelang pembangunan RDF sudah dilakukan beberapa kali dan selalu gagal. Proses lelang memang ada di tingkat pusat, bukan di pemerintah kota.

“Apakah kegagalannya karena faktor teknis atau efisiensi anggaran, saya tidak bisa memastikan. Yang jelas, dengan sisa waktu yang ada, sepertinya kecil kemungkinan proyek RDF dapat dibangun sesuai target,” jelasnya.

Namun demikian pihaknya terus menjalin komunikasi dengan pihak investor, sudah ada dua pihak investor yang datang ke Kota Padang, yakni dari Jepang dan dari Jakarta.

Terkait pengelolaan sampah yang produksinya mencapai 750 ton per hari, menurutnya pemerintah Kota Padang akan meningkatkan kontribusi masyarakat.

“Pertama, bagaimana warga bisa berperan mengurangi timbulan sampah, baik sampah rumah tangga, organik maupun anorganik. Kedua, pentingnya pemilahan sampah sejak dari rumah,” katanya.

Dengan begitu, ketika LPS datang mengangkut sampah, mereka hanya mengambil yang tidak bernilai. Sedangkan sampah yang bernilai bisa dikelola oleh bank sampah agar memberi manfaat kepada masyarakat sekaligus mengurangi beban TPA.

“Saya sering sampaikan, berapa pun jumlah petugas kebersihan, tidak akan cukup jika masyarakat tidak terlibat langsung. Karena itu, fokus kita ke depan bukan hanya membersihkan kota atau menambah armada, melainkan mendorong partisipasi masyarakat. Bentuknya bisa berupa reward and punishment memberi penghargaan di tahap awal, lalu menegakkan perda dengan sanksi sosial,” ujarnya.

Pihaknya sudah menjalin kerja sama dengan pihak pemasyarakatan untuk penegakan perda. Dengan adanya perubahan KUHP tahun 2023 yang akan berlaku pada 2026, Fadly ingin Kota Padang menjadi pionir dalam menerapkan hukuman sosial.

“Misalnya, warga yang ketahuan membuang sampah sembarangan diminta ikut membersihkan kota sebagai bentuk empati atas pelanggaran yang dilakukan,” kata dia.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Padang, Fadelan Fitra Masta menyampaikan produksi sampah di Kota Padang mencapai sekitar 750 ton sampah per hari.

“65 persennya sampah organik, dan sisanya anorganik,” ujarnya, 22 Agustus 2025.

Dari jumlah itu 466,49 ton masuk ke Tempat Pengolahan Sampah Terakhir (TPST) dan sekitar 136,38 ton berhasil dikurangi melalui pemilahan.

Data tersebut menunjukkan bahwa baru sekitar 40,13 persen sampah yang berhasil dipilah, sedangkan sisanya belum terolah dan langsung berakhir di TPST.

Menurut Fadelan saat ini pihaknya terus memperkuat layanan pengumpulan sampah berbasis masyarakat melalui Lembaga Pengelola Sampah (LPS) dan bank sampah. Masyarakat bisa memilih salah satu layanan ini.

“Dari dua lembaga tersebut, sampah dipilah dan diolah, sehingga yang dibawa ke TPA hanya residu. Pemko juga akan memperkuat Lokasi-lokasi pengolahan sampah agar prinsip 3R semakin berjalan,” katanya.

Terkait pembangunan RDF, Fadelan tidak mau berkomentar karena hal itu merupakan wewenang pemerintah pusat. Namun dari rencana jangka panjang dalam tiga tahun ke depan, pengelolaan sampah dari 750 ton volume sampah per hari, 250 ton organik akan dikompos. Kemudian 200 ton diolah melalui RDF, 150 ton didaur ulang anorganik, dan 75 ton organik untuk maggot.

Jika RDF di Kota Padang jadi dibangun, palet yang dihasilkan RDF ini akan dijual ke pabrik semen PT Semen Padang. Direktur Utama PT Semen Padang Indrieffouny Indra menyampaikan keberadaan fasilitas RDF akan mendorong peningkatan pemakaian energi alternatif di pabrik semen.

Saat ini, pemanfaatan bahan bakar non-batu bara seperti sekam padi, serbuk gergaji, dan sampah organik baru sekitar 3 persen dari kebutuhan 1,2 juta ton batu bara per tahun. Dengan adanya RDF, persentasenya ditargetkan naik menjadi 6 persen pada 2025, dan terus meningkat hingga 30 persen pada 2029.

Sementara Direktur WALHI Sumbar, Wengki Purwanto, mengingatkan bahwa pemerintah Kota Padang jangan tergesa-gesa menjadikan RDF sebagai solusi utama untuk memperbaiki tata kelola sampah.

Ia menekankan pentingnya fokus memperkuat pengelolaan di hulu terlebih dahulu. “Pemerintah Kota Padang seharusnya menguatkan proses pemilahan dari rumah, mengedukasi masyarakat, dan bila perlu merumuskan regulasinya,” jelasnya.

Menurut Wengki, membangun kesadaran kolektif sangat mendesak dilakukan mulai dari rumah tangga, institusi pendidikan (SD hingga perguruan tinggi), dunia usaha hingga pemerintah sendiri harus menjadi teladan.

Ia mencontohkan kasus RDF plant di Rorotan, Jakarta Utara sebagai pelajaran penting. “RDF justru menimbulkan polusi, bukan menyelesaikan masalah. Jika teknologi diterapkan tanpa perbaikan tata kelola dan manajemen, justru menjadi masalah baru,” tegasnya.

Selain tata kelola, efisiensi dan ekonomi, kata Wengki, dari sejumlah penelitian potensi kegagalan RDF bukan hanya hipotetis. Pada mesin pengolah sampah menjadi RDF (misalnya mesin shredder), sering terjadi hambatan operasional ketika sampah bersifat basah atau bercampur lumpur.

Hal ini menyebabkan penyumbatan, arus pendek listrik, dan operasi mesin yang hanya bertahan singkat (sekitar 7 jam), dengan produksi RDF hanya sebesar 3 ton per shift.

Dalam Jurnal “Analisis Keandalan Teknologi Pengolah Sampah TPA Menjadi Bahan Bakar Refuse Derived Fuels (RDF) dengan Pendekatan Six Sigma DMAIC” diterbitkan oleh Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Jakarta pada 2020, menemukan bahwa penyebab utama kegagalan produksi RDF adalah faktor kelalaian manusia seperti kurangnya pelatihan, kualitas material yang mudah korosi, pengukuran yang tidak standar, tidak adanya SOP, minimnya preventive maintenance, kesulitan mendapatkan suku cadang, serta kondisi lingkungan seperti sampah basah karena hujan.

Dalam jurnal tersebut, contoh empiris dari instalasi RDF menunjukkan rata-rata ketersediaan mesin (availability) sekitar 85 persen, namun masih terdapat masalah defect karena material tersangkut pisau shredder. Sebagai contoh, jumlah defect per bulan bervariasi antara 0 hingga 8 ton dari produksi 70-80 ton RDF. Artinya, downtime produksi dan kualitas output masih menjadi tantangan.

Wengki menyampaikan, seharusnya pemerintah belajar dari banyak daerah lain yang sudah terlebih dahulu menggunakan RDF, seperti RDF Rorotan di Jakarta. Selama uji coba pada Februari 2025, pabrik RDF memicu asap pekat dan bau menyengat akibat kesalahan teknis dan sistem kontrol bau yang tidak siap.

“Dari data Walhi, warga sekitar melaporkan gangguan pernapasan, terutama di antara anak-anak dan lanjut usia. Walhi juga menyoroti bahwa pemrosesan sampah campuran tanpa pemilahan memicu ketergantungan pada pasokan sampah, menghambat upaya pengurangan sampah di hulu, sekaligus meningkatkan risiko polusi jangka panjang, ini harus jadi Pelajaran bagi daerah lain,” ia menambahkan.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |