Liputan6.com, Jakarta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menerima 230 pengaduan usai demo ricuh memprotes tunjangan anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) sejak Jumat (29/08/2025) lalu. Menurut Ketua LBH Bandung Heri Pramono, dari seluruh laporan pengaduan yang diterima terdapat orang hilang, tertangkap dan luka-luka pada aksi demonstrasi tersebut.
"Mengacu pada data di tanggal 29 Agustus 2025, telah teridentifikasi 100 orang yang bebas, 13 orang menjadi tersangka, 48 orang luka-luka dan terdapat 69 orang lain tidak diketahui status lanjutannya," ujar Heri saat dihubungi Liputan6, Bandung, Rabu (10/09/2025).
Sayangnya, terang Heri, lebih dari setengah data yang masuk tidak bisa dikonfirmasi statusnya. Kepolisian Jawa Barat (Polda Jabar) yang bertanggung jawab atas penangkapan para demonstran, jelas Heri, bersikukuh enggan memberikan data orang-orang yang mereka tangkap dan mereka bebaskan.
Heri menyatakan tindakan menutup informasi yang dilakukan oleh Polda Jabar menjadi peluang tindakan sewenang-wenang mereka.
"Bahkan menurut laporan yang diterima, sejak awal orang yang ditangkap memang telah mengalami tindakan sewenang-wenang aparat. Mereka selalu dipukul saat ditangkap," ungkap Heri.
Menurut data yang didapat dari aduan hotline, beberapa dari mereka merupakan korban salah tangkap. Banyak di antaranya merupakan karyawan yang pulang bekerja, orang yang tengah lewat, berolahraga atau sekadar nongkrong.
Setelah dibebaskan pun ada di antara mereka yang harus menanggung kerugian karena menutup toko, tidak sekolah sampai tidak bekerja karena tetap ditahan lebih dari 1 x 24 jam.
"Banyak yang tertangkap kemudian mengalami luka-luka berupa memar di berbagai bagian tubuh, bengkak pada seluruh permukaan wajah, kepala bocor hingga patah tulang. Hal ini terjadi karena tindakan penangkapan sewenang-wenang yang diiringi tindakan kekerasan," lanjut Heri.
Dampak buruk dari hal tersebut, banyak dari korban yang harus membayar biaya pengobatan akibat tindakan kesewenang-wenangan ini secara mandiri.
Dampak lainnya, lanjut Heri, banyak juga dari mereka sebelum masuk proses pemeriksaan kembali mengalami pemukulan dari aparat kepolisian.
"Lebih parahnya, mereka bahkan tidak didampingi oleh penasihat hukum saat proses pemeriksaan. Tentu hal ini bisa membuka peluang kesewenang-wenangan aparat kembali terjadi," tutur Heri.
LBH Bandung Menduga Ada Pemaksaan Penggunaan Pasal
Mengutip siaran media LBH Bandung, diduga banyak dari orang yang ditangkap dan menyandang status tersangka serta ditahan, berdasarkan pasal-pasal yang dipaksakan beserta alat-alat bukti yang tidak memenuhi syarat.
Mulai dari Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang bahan peledak; Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian berdasarkan SARA; Pasal 187 KUHP tentang tindak pidana menimbulkan pembakaran; Pasal 214 KUHP tentang tindak pidana kejahatan yang ditujukan kepada pegawai/pejabat negara (kekuasaan) yang sedang menjalankan tugasnya; Pasal 170 KUHP tentang tindak pidana bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang; dan Pasal 406 KUHP tentang tindak pidana perusakan barang.
LBH Bandung menuding Polda Jabar secara sembarangan menerapkan Pasal 234 KUHP Baru tentang tindak pidana terhadap bendera negara, padahal undang-undang tersebut belum berlaku saat ini.
Kepolisian kerap menutup akses bantuan hukum yang hendak LBH Bandung berikan sejak awal. Mereka secara sewenang-wenang melanggar Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dengan mengatakan jika LBH Bandung hanya bisa mendampingi setelah pemeriksaan selesai.
Bahkan setelah selesainya pemeriksaan pun, aparat kepolisian masih tetap menutup peluang LBH Bandung untuk memberikan pendampingan. Aparat kepolisian beralasan jika mereka telah menunjuk penasihat hukum lain untuk mendampingi.
Padahal banyak keluarga dengan anak atau kerabatnya yang mengadu dan meminta LBH Bandung menjadi penasihat hukum mereka. Namun aparat kepolisian terus menolak upaya pendampingan LBH Bandung. Padahal, telah dilakukan pemberian kuasa dan penandatangan pemilihan penasehat hukum oleh pihak keluarga tersangka pada LBH Bandung lebih dulu.
LBH Bandung hanya mengetahui 13 nama orang yang menjadi tersangka. Itu pun tanpa diketahui bagaimana proses pemeriksaannya. Jelasnya, mereka jadi tersangka tanpa dibersamai oleh pendamping hukum.
Meski LBH Bandung telah berada di Polda Jabar sejak proses penangkapan yang dilakukan sejak 29 Agustus 2025, Polda Jabar tetap enggan memberikan akses LBH Bandung melakukan pendampingan pada setiap massa aksi yang ditangkap.
Jumlah Misterius Demonstran yang Ditahan
Hingga saat ini, tidak diketahui jumlah keseluruhan orang yang menjadi tersangka dan ditahan. LBH Bandung juga tidak mengetahui alasan mereka hingga jadi tersangka dan bagaimana proses pemeriksaan hingga mereka akhirnya jadi tersangka.
LBH Bandung hanya mengetahui terdapat 69 orang pengadu yang tidak diketahui status maupun keberadaannya. Aduan ini tidak bisa dilanjutkan karena Polda Jabar bersikukuh enggan membuka data siapa saja yang mereka tahan hingga saat ini.
Menurut LBH Bandung, situasi ini dinilai merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
Penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan fisik melanggar Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi serta bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.
Selain itu, praktik penangkapan tanpa dasar hukum yang jelas juga bertentangan dengan Pasal 17 dan 18 KUHAP, yang mengatur bahwa penangkapan harus berdasarkan surat perintah dan tidak boleh melebihi 1 x 24 jam tanpa perpanjangan resmi.
Praktik penahanan tanpa akses hukum juga merupakan pelanggaran terhadap prinsip fair trial sebagaimana dijamin Pasal 14 ICCPR, yang menegaskan hak setiap orang untuk diadili secara adil, termasuk hak untuk segera diberitahu tuduhan terhadap dirinya dan hak untuk memperoleh bantuan hukum dari penasehat hukum pilihannya sendiri.
Di tingkat nasional, Pasal 54 KUHAP menegaskan hak tersangka untuk mendapat bantuan hukum dari penasehat hukum sejak saat penyidikan. Bahkan Pasal 56 KUHAP mewajibkan negara menunjuk penasehat hukum bila tersangka terancam pidana lima tahun atau lebih.
Penolakan aparat terhadap LBH Bandung yang sudah diberi kuasa oleh keluarga tersangka jelas merupakan pelanggaran hukum yang serius dan pembangkangan terhadap prinsip due process of law.
Desakan LBH Bandung
Lembaga tersebut menyebutkan pula penutupan informasi mengenai status dan keberadaan 117 orang hingga saat ini berpotensi masuk kategori praktik penghilangan orang secara paksa (enforced disappearance).
Praktik ini dilarang keras oleh Pasal 9 UU HAM yang menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Selain itu, Pasal 66 UU HAM secara tegas menyebutkan bahwa hak untuk tidak dihilangkan secara paksa tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights).
Indonesia juga memiliki kewajiban internasional untuk mencegah penghilangan paksa berdasarkan prinsip-prinsip HAM universal. Atas dasar itu, LBH Bandung mendesak Polda Jabar segera membuka data lengkap orang-orang yang ditangkap, ditahan, dan dibebaskan sejak 29 Agustus 2025.
Seluruh korban penangkapan sewenang-wenang segera dibebaskan tanpa syarat, serta diberikan pemulihan berupa pemenuhan hak kesehatan dan ganti rugi.
Selain itu, LBH Bandung mendorong Komnas HAM, Kompolnas, Ombudsman RI dan lembaga pengawas independen lainnya untuk segera turun tangan dan menyelidiki praktik pelanggaran HAM yang dilakukan aparat kepolisian.
Serta memastikan seluruh proses hukum yang berjalan menjamin prinsip due process of law, termasuk hak atas bantuan hukum sejak awal.