Kisah Hidup di Persimpangan Kota Pontianak: Antara Kain Kusam dan Mimpi Jalanan

1 month ago 19

Liputan6.com, Jakarta Kota Pontianak, Kalimantan Barat sore itu lengang, tapi tidak benar-benar sepi. Di persimpangan ruas Jalan Tanjung Raya, lampu merah Hotel Garuda, riuh klakson dan dengung mesin mobil bertaut dengan tatapan letih dua pasang mata kecil menunggu kesempatan. 

Dua orang tuna wisma, sebut saja Yanto dan Rina berdiri di bawah bayang lampu merah. Mereka memegang botol air sabun bekas dan selembar kain lap kusam. Setiap kali kendaraan berhenti, langkah mereka cepat, tangan mungilnya mengusap kaca mobil, berharap berbalas senyum dan uang recehan.

Pontianak, kota di mana Sungai Kapuas memeluk kehidupan, terus bergerak mengejar modernitas. Hotel-hotel menjulang, pusat kuliner tak pernah tidur, dan lampu-lampu neon memandikan malam. Namun, di antara gemerlapnya, masih ada ruang gelap yang sering tak terlihat ketimpangan sosial.

Di bawah terik siang atau dinginnya hujan, Yanto dan Rina hanyalah dua di antara ratusan jiwa yang bertahan hidup dengan cara apa adanya. Dan sering kali, jalan raya menjadi panggung terakhir mereka.

Di Kota Pontianak yang terus bertumbuh, keberadaan mereka dianggap meresahkan. Datanglah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) bersama Dinas Sosial Kota Pontianak. Senin 8 September 2025, sore. Kehidupan Yanto dan Rina berubah arah.

Kepala Satpol PP Kota Pontianak, Ahmad Sudiyantoro menyatakan, penertiban bukan sekadar tindakan administratif, melainkan upaya menjaga wajah kota dan melindungi keselamatan pengguna jalan. 

“Aksi mereka sebenarnya sederhana, hanya membersihkan kaca dengan sabun,” ujar Ahmad dengfan nada lirih.

“Tapi ketika dilakukan di persimpangan padat, itu bisa membahayakan diri mereka sendiri dan orang lain.”

Akar Persoalan

Setelah diamankan, kedua tuna wisma itu dibawa ke Pusat Layanan Anak Terpadu (PLAT) di bawah naungan Dinas Sosial Kota Pontianak. Di sinilah cerita mereka perlahan dikupas, lapis demi lapis, seperti membaca lembaran buku yang lama terlipat.

Kepala Dinas Sosial, Trisnawati, mengklaim pihaknya melakukan asesmen mendalam soal masalah sosial itu.

“Kami ingin tahu akar masalahnya,” katanya lembut.

“Apakah mereka lari dari rumah, korban kekerasan, atau hanya terjebak lingkaran kemiskinan.”

Trisnawati kembali menegaskah, pembinaan itu bukan sekadar memberikan makan dan pakaian.

Bagi sebagian orang, lampu merah hanya sebatas aturan lalu lintas. Tapi bagi Yanto dan Rina, di situlah setiap detik terasa panjang dan menegangkan.

Dari kaca mobil, beberapa orang menilai mereka sebagai “pengganggu kenyamanan.” Tapi dari balik tatapan kosong mereka, tersimpan kisah getir tentang perut yang lapar, malam tanpa atap, dan impian sederhana yang tak sempat terucap. 

Kehidupan jalanan membuat mereka terbiasa dengan tatapan sinis, klakson tak sabar, dan kadang lemparan kata kasar. Namun, yang paling menakutkan bukanlah amarah pengendara, melainkan sunyi-sunyi itu tentang masa depan, tentang tak tahu harus ke mana.

Roda Sosial Berputar

Trisnawati menegaskan, keberadaan tuna wisma di jalan raya tidak hanya soal ketertiban, tapi juga keselamatan. Mobil-mobil yang melaju, pengendara yang tak waspada, dan gesekan roda kehidupan sering kali menciptakan tragedi yang tak terdengar. 

“Kami berharap masyarakat turut berperan aktif,” katanya. 

Sering kali, niat baik yang lahir dari simpati justru memperpanjang penderitaan. Setiap lembar rupiah di lampu merah bisa menjadi sinyal yang salah, membuat anak-anak terus kembali ke jalan, mengulang lingkaran tanpa ujung.

Di balik razia, ada mimpi besar yang ingin dirajut Pemerintah Kota Pontianak. Impian tentang kota tanpa tuna wisma. Bukan berarti meniadakan mereka, tetapi memberi ruang, harapan, dan kesempatan baru.

Satpol PP dan Dinas Sosial kini bersinergi melakukan patroli rutin di titik-titik rawan. Jalan Tanjung Raya, simpang lampu merah Hotel Garuda, dan beberapa perempatan lain kini menjadi prioritas pengawasan.

Peraturan daerah tentang ketertiban umum dan masalah sosial bukan sekadar teks hukum; ia adalah janji menjaga martabat manusia.

Namun, kota tanpa tuna wisma bukanlah perkara menertibkan, melainkan memberdayakan. Memberi mereka bekal keterampilan, akses pendidikan, dan jaring pengaman sosial yang memadai. Karena pada akhirnya, setiap wajah di jalan punya nama, setiap tangan yang menengadah punya cerita.

Kota Pontianak perlahan berganti malam. Lampu merah masih berpendar, menyinari jalan yang sibuk dan tak pernah tidur.

Yanto dan Rina kini bukan lagi berdiri di pinggir perempatan. Mereka sedang duduk di ruang pembinaan, menunggu asesmen, menunggu masa depan. 

Di kota yang tumbuh di persimpangan sungai dan peradaban, kita diajak menatap mereka lebih dekat. Bahwa setiap “pengganggu kenyamanan” punya alasan, dan setiap langkah kecil menuju perubahan dimulai dari empati.

Kisah ini bukan hanya tentang dua tuna wisma, tapi tentang kita semua tentang bagaimana kota melihat warganya. Ini tentang bagaimana kita memaknai keberadaan orang lain. Tentang pilihan, antara mengabaikan atau merangkul.

Karena sesungguhnya, jalan kota adalah cermin kita. Dan di bawah cahaya lampu merah itu, tersimpan pertanyaan sederhana sudahkah kita benar-benar melihat?

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |