Malam 1 Suro di Yogyakarta: Antara Mitos, Adat, dan Tafsir Spiritual

8 hours ago 5

Liputan6.com, Yogyakartartarta Ketika warga lain menyambut pergantian tahun dengan kembang api, musik, dan sorak sorai, masyarakat Yogyakarta justru memilih jalan sebaliknya. Meraka melakukan diam (Topo Bisu), berjalan kaki tanpa alas, dan menyusuri benteng keraton dalam senyap.

Malam itu, Jumat (27/6/2025), sekitar pukul 00.00 WIB, ratusan orang mulai melangkah dari Bangsal Ponconiti Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Mereka berjalan tanpa suara, tanpa alas kaki, dan tanpa lampu penerangan, mengelilingi benteng keraton sejauh hampir lima kilometer.

Prosesi ini dikenal dengan nama Mubeng Beteng, sebuah tradisi tapa bisu atau "berjalan dalam keheningan" yang telah diwariskan sejak masa Sri Sultan terdahulu. Menurut KRT Kusumonegoro, Ketua Paguyuban Abdi Dalem DIY, Mubeng Beteng digelar setiap tahun dalam rangka menyambut 1 Suro, penanda masuknya Tahun Baru Jawa yang berakar dari sistem penanggalan tahun Hijriyah. “Kami melakukan ini sebagai bentuk refleksi atas peristiwa-peristiwa yang telah lalu, dan berdoa untuk harapan-harapan yang akan datang,” ujarnya.

Namun, lebih dari sekadar refleksi, tradisi ini juga menyiratkan unsur mitos dan kepercayaan Jawa yang kuat. Dalam budaya Jawa, bulan Suro dianggap sebagai bulan keramat dan penuh pantangan. Dikisahkan, malam 1 Suro adalah saat di mana dunia gaib membuka tirainya, dan kekuatan-kekuatan tak kasat mata bergerak lebih leluasa. “Mubeng Beteng ini bukan hanya ritual budaya, tetapi laku spiritual. Kita diajak untuk menundukkan diri, melepas ego, dan menata batin,” kata KRT Kusumonegoro.

Prosesi ini juga tidak lepas dari pengaruh spiritualitas Islam, khususnya kisah Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Perjalanan yang sarat keprihatinan, perjuangan, dan harapan akan masa depan yang lebih baik.

Sebelum memulai perjalanan, para peserta mengikuti pembacaan doa akhir tahun, doa awal tahun, dan kidung macapat yang dinyanyikan bergantian. Macapat sendiri merupakan puisi tradisional Jawa yang mengandung filosofi kehidupan, menekankan keseimbangan antara lahir dan batin, dunia dan akhirat.

Menariknya, prosesi ini tak hanya diikuti para abdi dalem, tetapi juga masyarakat umum, mahasiswa, hingga wisatawan. Salah satunya adalah Primadi Laksono (24), mahasiswa ISI Yogyakarta. Ia datang bersama teman-temannya, mengenakan pakaian adat Jawa sebagai bentuk penghormatan dan partisipasi aktif dalam pelestarian budaya. “Saya kan orang Jogja, dan baru pertama kali ikut. Kalau enggak pernah nyoba, rasanya seperti kehilangan jati diri. Ini tentang nguri-uri budaya Jawa, mengenali akar kita,” tuturnya.

Hal serupa dirasakan Gabriel Maria Ana (25) dari Kulon Progo. “Saya penasaran karena setiap tahun selalu ramai. Ternyata ini bukan sekadar jalan kaki, tetapi pengalaman batin. Saya merasa lebih dekat dengan Jogja dan dengan budaya saya sendiri,” ucapnya.

Sementara itu Wahyu (25), warga Magelang yang tengah menyusun tugas akhir tentang kebudayaan Yogyakarta, menyebut prosesi ini sebagai malam penyucian. “Ini semacam malam sakral untuk membersihkan diri dari hal-hal buruk dan menata hidup di tahun yang baru,” katanya.

Secara historis, Mubeng Beteng dulunya merupakan prosesi tertutup yang hanya dilakukan oleh abdi dalem atas titah Sri Sultan. Namun sejak tahun 2017, atas restu GKR Mangkubumi, ritual ini dibuka untuk umum agar masyarakat luas bisa ikut merasakan nilai spiritual dan budaya yang terkandung di dalamnya.

Bagi masyarakat Jawa, 1 Suro bukan sekadar awal tahun, tapi gerbang waktu yang menyimpan kekuatan gaib, pengingat atas asal-usul, dan penanda untuk memulai hidup baru dengan hati yang bersih. Dalam tafsir spiritualnya, tapa bisu adalah wujud keprihatinan, perenungan, dan penghormatan terhadap waktu yang seringkali dilupakan di zaman yang penuh kebisingan ini.

“Bahwa menyambut masa depan harus dimulai dengan menengok ke dalam diri, menata jiwa, dan menghormati yang tak kasat mata,” pungkas KRT Kusumonegoro.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |