Memengaruhi Cuaca dan Iklim Global, Mengenal Lebih Jauh Madden-Julian Oscillation

5 hours ago 3

Liputan6.com, Bandung - Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) soal Madden-Julian Oscillation (MJO) dalam atmosfer adalah pola variabilitas iklim tropis berskala besar yang terutama terjadi di wilayah tropis, serta memengaruhi cuaca dan iklim global.

Menurut Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Didi Satiadi, MJO merupakan gelombang atmosfer yang bergerak dari barat ke timur, membawa wilayah konveksi aktif (awan dan hujan lebat) serta wilayah tenang (kering dan cerah) secara bergantian.

"Ciri-ciri utama MJO, yaitu bergerak dari barat ke timur di sepanjang khatulistiwa, terutama di atas Samudra Hindia dan Samudra Pasifik," terang Didi pada Webinar Pusat Riset Iklim dan Atmosfer ditulis Bandung, Jumat (20/6/2025).

Didi menuturkan MJO memiliki periode sekitar 30–60 hari (kadang 20–90 hari), dan terdiri dari dua fase utama, yakni fase basah (konvektif) yang ditandai banyak awan, hujan, dan badai petir dan fase kering (subsiden) yang ditandai dengan udara turun, cuaca cenderung cerah dan kering).

Berbeda dengan fenomena El Niño yang cenderung stasioner, Didi mengatakan MJO bergerak secara aktif melintasi wilayah tropis.

"MJO juga berdampak pada beberapa aspek, antara lain memengaruhi cuaca ekstrem, seperti meningkatkan hujan lebat dan badai tropis. Ketika MJO aktif, musim hujan di Indonesia bisa menjadi lebih intens karena curah hujan meningkat," kata DIdi.

Selain itu, Didi menuturkan fase basah MJO dapat memicu pembentukan siklon tropis di Samudra Hindia atau Pasifik.

Dampaknya juga dirasakan di sektor pertanian dan perikanan karena MJO memengaruhi pola curah hujan dan suhu laut, yang penting bagi kedua bidang tersebut.

"MJO terbagi ke dalam delapan fase berdasarkan lokasi pusat konveksi (awan dan hujan). Klasifikasi ini banyak digunakan oleh berbagai lembaga, seperti BMKG, NOAA, dan badan meteorologi dunia lainnya," ungkap Didi.

Fase lokasi aktivitas konvektif (hujan lebat) mencangkup:

1.⁠ ⁠Afrika bagian timur dan Samudra Hindia barat

2.⁠ ⁠Samudra Hindia bagian Tengah

3.⁠ ⁠Samudra Hindia timur

4.⁠ ⁠Sekitar Indonesia bagian barat

5.⁠ ⁠Indonesia tengah dan utara Australia

6.⁠ ⁠Samudra Pasifik barat

7.⁠ ⁠Samudra Pasifik Tengah

8.⁠ ⁠Samudera Pasifik Timur.

Didi menerangkan studi tentang interaksi multi-skala antara MJO dan orografi (bentang alam/topografi), serta pengaruhnya terhadap variabilitas curah hujan di wilayah Benua Maritim Indonesia dilakukan oleh kelompok riset Dinamika Iklim dari BRIN.

Studi kasus dilakukan di Sumatra Barat karena wilayah ini berada di sekitar ekuator dan langsung berhadapan dengan Samudra Hindia, sehingga menjadi jalur utama pergerakan MJO menuju kawasan maritim Indonesia.

“Selain itu, keberadaan Stasiun Observasi Agam di Sumatra Barat yang dikelola oleh BRIN bekerja sama dengan Kyoto University sangat mendukung pelaksanaan penelitian ini,” jelas Didi.

Saksikan Video Pilihan ini:

Simulasi Demo Rusuh usai Pilkada 2024 di Pemalang

Peralatan Pendukung Riset

Didi menambahkan bahwa stasiun tersebut dilengkapi dengan berbagai peralatan canggih, seperti radar atmosfer khatulistiwa (EAR), radar X-Band, optical rain gauge (ORG), microwave radiometer, dan peluncuran radiosonde yang mampu memantau dinamika atmosfer ekuator dengan resolusi tinggi.

Menurut DIdi, kontribusi penelitian ini untuk Indonesia adalah memperdalam pemahaman interaksi multi-skala antara MJO dan orografi serta pengaruhnya terhadap curah hujan.

"Wilayah Benua Maritim Indonesia merupakan pusat presipitasi dunia, di mana panas laten yang dilepaskan menggerakkan cuaca dan iklim global," sebut Didi.

Namun lanjut Didi, prediksi hujan di wilayah ini masih mengandung bias signifikan, akibat belum terwakilinya interaksi multi-skala secara memadai dalam model cuaca dan iklim.

“Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk memahami interaksi multi-skala antara MJO dan orografi dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan prediksi cuaca dan iklim di wilayah Indonesia dan juga dunia,” jelas Didi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa topografi di Sumatra Barat memengaruhi distribusi curah hujan melalui proses konvergensi uap air, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh fase MJO.

Ketika MJO berada di fase 3 (pusat konvektif di Samudra Hindia), curah hujan di Sumatra Barat meningkat karena melemahnya angin zonal yang memicu konvergensi uap air.

Sebaliknya, pada fase 4 (pusat konvektif bergeser ke sekitar Laut Cina Selatan), curah hujan cenderung menurun akibat penguatan angin zonal yang menghambat konvergensi uap air.

“Dengan kata lain, ketika MJO berada pada fase 3, angin cenderung melemah dan curah hujan meningkat, sedangkan pada fase 4, angin menguat dan curah hujan menurun,” jelas Didi.

Dengan demikian, konvergensi uap air yang dipengaruhi oleh dinamika atmosfer menjadi variabel utama yang menentukan pengaruh dari MJO dan orografi.

Hal ini juga menjadi bukti terjadinya interaksi multi-skala di wilayah Sumatra Barat, di mana terjadi perbedaan fase antara MJO dan curah hujan di Sumatra Barat.

“Jadi, dapat disimpulkan bahwa jika MJO-3 maka akan terjadi penurunan angin sedangkan ketika MJO-4 akan terjadi peningkatan angin,” ucap Didi.

Didi Satiadi dan tim berharap penelitian ini dapat memperjelas mekanisme interaksi multi-skala di wilayah Benua Maritim Indonesia.

Jika berhasil diintegrasikan dengan baik ke dalam model-model prediksi cuaca dan iklim maka akurasinya akan meningkat.

“Hal ini sangat penting karena informasi cuaca dan iklim yang akurat sangat dibutuhkan untuk mendukung pembangunan di berbagai sektor, seperti pertanian, perhubungan, energi, kesehatan, lingkungan, penanggulangan bencana, dan lain-lain,” sebut Didi.

Radar Cuaca FMCW

Dilansir kanal Regional, Liputan6, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), tengah mengembangkan sistem radar cuaca berbasis Frequency Modulated Continuous Wave (FMCW).

Menurut Ahli Peneliti Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Asif Awaludin, teknologi ini diharapkan dapat menjadi alternatif cerdas bagi sistem radar konvensional dalam mendeteksi presipitasi dengan akurasi tinggi, namun dengan konsumsi energi dan biaya operasional yang jauh lebih rendah.

"Radar FMCW memiliki karakteristik unik yang dapat memodulasi frekuensi kontinu, sehingga mampu memberikan pengukuran jarak dan kecepatan secara simultan dengan efisiensi daya tinggi," ujar Asif pada Webinar Hybrid PRIMA bertajuk 'Climate Frontiers in Indonesia: Insights from Land, Sea and Sky', akhir April lalu ditulis Bandung, Senin (2/6/2025).

Asif mengatakan teknologi FMCW memungkinkan penggunaan daya rendah dan komponen solid state, menjadikannya ideal untuk aplikasi lokal di wilayah tropis yang kompleks secara geografis.

Radar FMCW yang dikembangkan bersama dengan konsorsium BMKG dan PT Solusi247 ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan radar cuaca konvensional.

Dengan menggunakan daya rendah sebesar 10 watt di pita frekuensi X-band, radar ini mampu mendeteksi hujan hingga radius 20 kilometer. Dengan peningkatan sensitivitas, radar ini akan mampu mendeteksi hujan pada jarak yang lebih jauh.

“Saat ini radar dalam tahap uji coba operasional pengamatan presipitasi secara real-time, dan hasilnya terus divalidasi menggunakan radar cuaca C-band. Hasil pengamatan radar juga akan dikalibrasi nilai reflektivitasnya menggunakan data radar X-band dan jaringan alat penakar hujan BMKG. Hasil pengembangan ini dapat menjadi komplemen jaringan radar cuaca nasional, khususnya di wilayah yang tidak terjangkau oleh jaringan radar utama BMKG,” kata Asif.

Asif beranggapan pengembangan perangkat keras radar ini juga menggunakan beberapa komponen dalam negeri untuk meningkatkan nilai tingkat komponen dalam negeri (TKDN).

Misalnya, antena radar yang dibuat menggunakan bahan dasar fiberglass dilapisi karbon grafit untuk meningkatkan efektivitas pancaran.

Selain itu juga dibuat pula radome dengan redaman yang rendah, dilengkapi system penggerak elevasi 10 ketinggian sehingga mampu melakukan scan volume.

"Penggunaan teknologi FMCW dan solid state dapat menekan biaya operasional radar. Pengembangan lebih lanjut menggunakan teknologi polarisasi ganda akan meningkatkan kemampuan radar ini dalam mengidentifikasi presipitasi dengan lebih detail, sehingga dapat digunakan untuk melihat mekanisme hujan ekstrem lebih jelas.” terang Asif.

Kelanjutan Riset dan Pengembangan Radar

Untuk mendukung kelanjutan riset dan pengembangan, tim telah menyusun rencana pengembangan radar FMCW dari versi awal prototipe, hingga rencana integrasi ke dalam sistem pengamatan cuaca nasional.

Roadmap yang memuat rencana pengembangan tersebut mencakup peningkatan jangkauan, resolusi vertikal, hingga integrasi dengan jaringan data radar dan sistem peringatan dini nasional.

“Tujuan utama kami adalah menghadirkan teknologi pengamatan cuaca yang mandiri, dapat diproduksi dalam negeri, dan disesuaikan dengan karakteristik wilayah tropis Indonesia,” tutur Asif.

Dengan berkembangnya radar FMCW, BRIN menargetkan penguatan sistem observasi atmosfer nasional, khususnya dalam mendukung sistem prediksi cuaca skala lokal dan respons cepat terhadap kejadian cuaca ekstrem. Seperti banjir, angin kencang, dan badai konvektif yang terjadi di Indonesia.

BRIN melalui Pusat Riset Iklim dan Atmosfer terus menunjukkan komitmennya dalam pengembangan teknologi pengamatan atmosfer yang adaptif dan efisien.

“Melalui inovasi ini, diharapkan FMCW yang dikembangkan konsorsium nasional radar cuaca tidak hanya memperkuat kapasitas sains dan teknologi nasional. Di samping itu juga memberikan dampak langsung pada keselamatan masyarakat dan perencanaan pembangunan yang berbasis mitigasi risiko,” tukas Asif.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |