Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Iwan Suryawan, menanggapi rencana Gubernur Jabar Dedi Mulyadi yang akan memindahkan kepala sekolah SMA dan SMK negeri berdasarkan domisili.
Menurutnya, kebijakan ini bisa meningkatkan efektivitas kerja dan kualitas layanan pendidikan, selama tetap mengedepankan asas meritokrasi dan keadilan.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan Jawa Barat tahun 2024 menunjukkan bahwa sekitar 32 persen kepala sekolah SMA/SMK negeri ditempatkan di luar kota domisilinya.
Dari jumlah tersebut, hampir 60 persen mengeluhkan kelelahan sehingga memengaruhi kualitas kepemimpinan di sekolah.
Untuk itu, Iwan sangat mendukung prinsip dasar dari kebijakan tersebut, yaitu mendekatkan tempat kerja kepala sekolah dengan tempat tinggalnya.
"Bahwa faktor kelelahan akibat perjalanan jauh bisa memengaruhi produktivitas dan konsentrasi kerja seorang kepala sekolah," ungkap Iwan, Sabtu (23/8/2025).
Perjalanan di Jabar Jadi Beban Tersendiri
Iwan menjelaskan, dalam konteks geografis Jawa Barat yang luas dan terdiri dari 27 kabupaten/kota dengan kondisi infrastruktur yang beragam, perjalanan dari tempat tinggal ke sekolah bisa menjadi beban tersendiri.
"Banyak kepala sekolah yang harus menempuh perjalanan dua hingga tiga jam setiap hari. Sehingga ini tentu tidak ideal untuk jangka panjang," katanya.
Namun begitu, kata Iwan, kebijakan ini harus dilakukan secara bertahap dan berbasis data yang kuat.
"Evaluasi berbasis data mutlak diperlukan. Tidak bisa hanya karena alasan kedekatan rumah saja, tapi juga harus mempertimbangkan kompetensi, pengalaman, dan kebutuhan sekolah masing-masing.”
Ia juga mengapresiasi pernyataan Sekda Jabar yang menegaskan bahwa kebijakan ini tetap berlandaskan regulasi.
"Penting untuk tetap berpijak pada Permendikbud No. 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah, agar proses rotasi tidak menyalahi aturan yang berlaku," tegasnya.
Dampak Positif
Menurut Iwan, pemindahan berbasis domisili juga bisa membawa dampak sosial positif. Kepala sekolah yang kembali ke daerah asalnya bisa lebih memahami konteks sosial-budaya dan karakter peserta didik, yang pada gilirannya meningkatkan komunikasi dan efektivitas kepemimpinan.
"Kepala sekolah bukan hanya manajer administratif, tetapi juga pemimpin transformasional. Jika mereka tinggal di komunitas yang mereka layani, dampaknya bisa lebih besar dalam membangun hubungan emosional dengan siswa, guru, dan orang tua,” imbuh Iwan.
Meski begitu, ia mengingatkan Pemerintah Provinsi agar tetap berhati-hati terhadap potensi resistensi dari beberapa pihak, terutama jika ada kesan bahwa pemindahan dilakukan tanpa transparansi atau konsultasi yang cukup.
Iwan mendorong agar Dinas Pendidikan Jabar membuka ruang dialog dengan kepala sekolah dan forum kepala sekolah, agar proses ini berjalan secara partisipatif dan tidak menimbulkan keresahan.
Dimonitor Terus
Ia juga menekankan pentingnya monitoring pasca-implementasi kebijakan.
"Kita perlu mengukur, apakah setelah rotasi ini, kinerja kepala sekolah membaik? Apakah ada penurunan capaian pendidikan? Ini harus terukur, bukan asumsi," ujarnya.
Menurutnya, reformasi birokrasi di sektor pendidikan harus dilandasi semangat profesionalisme dan pemerataan.
"Bila kebijakan ini mampu membuat distribusi kepala sekolah dan guru lebih merata secara geografis tanpa menurunkan kualitas, tentu itu prestasi," katanya.
Terkait potensi ketimpangan mutu antar daerah, Iwan menyarankan agar Pemprov Jabar menyiapkan mekanisme pelatihan lanjutan bagi kepala sekolah yang dipindahkan ke sekolah baru, terutama di wilayah yang memiliki tantangan lebih berat.
Ia juga mengusulkan agar ada insentif khusus untuk kepala sekolah yang bersedia ditempatkan di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), jika kebijakan domisili ini membuat kekurangan tenaga di wilayah-wilayah tersebut.
"Kebijakan ini harus fleksibel. Tidak semua kepala sekolah bisa dipindah ke dekat rumahnya. Jadi perlu ada mekanisme insentif untuk menjamin pemerataan dan keberlanjutan," tambahnya.