Sensasi Makan Serangga Putul Khas Gunungkidul, Pecinta Kuliner Ekstrem Wajib Coba

9 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta Ketika hujan pertama turun di Gunungkidul, sebagian orang bersiap dengan payung dan mantel. Namun bagi warga pedesaan di sekitar hutan Wanagama, turunnya hujan pertama justru menjadi tanda dimulainya tradisi lama yang selalu dinanti yaitu berburu Putul, serangga kecil yang menjadi lambang ketahanan hidup, rasa syukur dan kearifan lokal yang tak lekang oleh zaman.

“Kalau sudah turun hujan pertama, pasti keluar. Tanda musimnya sudah ganti,” ujar Rusdiyanto, salah satu warga Banaran, Playen, Gunungkidul.

Menjelang magrib, ia tidak sendiri. Puluhan warga lain, baik orang tua, anak muda, hingga anak-anak, tampak menyebar di antara batang pohon dan semak-semak. Ada yang membawa ember, toples, hingga tong sampah kecil. Mereka menyusuri area hutan yang dipenuhi pohon mahoni dan kleresede, dua jenis tanaman yang menjadi tempat favorit putul menempel dan bertelur.

“Putul itu gampang dicari kalau tahu tempatnya. Biasanya nempel di daun muda yang agak pendek. Kalau malam, nyarinya lebih gampang karena kelihatan dari pantulan senter,” jelas Rusdi.

Bagi masyarakat Gunungkidul, Putul bukan serangga biasa. Ia adalah simbol pergantian musim dan berkah alam. Kemunculannya selalu menjadi penanda bahwa musim hujan telah tiba, sekaligus momen untuk berkumpul, berbagi cerita dan berburu bersama.

“Mencari Putul itu rasanya seperti panen. Bedanya bukan padi, tapi rejeki dari alam,” kata Sukinem, warga lainnya.

Proses pencarian tidak memerlukan alat khusus. Dengan tangan kosong, warga menangkap putul-putul yang bergelantungan di daun, memasukkannya ke botol atau wadah seadanya. Dalam waktu kurang dari setengah jam, Rusdi sudah berhasil mengisi satu botol ukuran 1,5 liter penuh dengan serangga tersebut. “Kalau lagi banyak, bisa dapat dua atau tiga botol,” ujarnya.

Serangga ini tidak hanya dikonsumsi sendiri, tapi juga dijual. Harganya terbilang tinggi untuk ukuran makanan musiman antara Rp 50 ribu hingga Rp 70 ribu per botol.

“Kalau musimnya pas, bisa jadi tambahan penghasilan. Banyak juga yang datang dari luar desa buat beli,” tambahnya.

Dari Hutan ke Dapur: Rahasia Dapur Bacem Putul

Malam itu, Rusdi pulang dengan wajah puas. Sesampainya di rumah, ia langsung menyiapkan air hangat di baskom besar. Satu per satu putul dimasukkan ke dalamnya. “Biar mati dan gampang dibersihkan,” ujarnya.

Setelah itu, sayap dan bulu halus serangga tersebut dilepaskan perlahan. “Kalau enggak dibersihin, rasanya gatal di tenggorokan,” katanya sambil tertawa.

Di dapurnya yang sederhana, aroma bumbu mulai tercium. Campuran bawang merah, bawang putih, garam, micin, dan gula merah diulek halus di cobek batu. Bumbu itu kemudian ditumis bersama putul yang sudah bersih, lalu direbus sebentar hingga airnya menyusut. Setelah itu, ia menggorengnya hingga berwarna cokelat keemasan.

“Namanya putul bacem. Gurih manis, agak mirip ayam goreng,” ujarnya.

Putul bacem biasanya disantap bersama nasi putih hangat dan sambal bawang. Tak jarang, juga disajikan sebagai camilan ringan saat kumpul keluarga.

“Kalau anak-anak saya malah doyan, katanya lebih enak dari ikan asin,” katanya.

Rasa dan Gizi di Balik Serangga Kecil

Meski bagi sebagian orang putul terlihat menjijikkan, kandungan gizinya justru luar biasa. Menurut beberapa penelitian tentang pangan serangga, putul mengandung protein tinggi yang bahkan bisa menyamai kandungan protein dalam daging ayam atau ikan. Dalam bentuk kering, kadar protein ini bisa meningkat hingga dua kali lipat.

Selain itu, putul juga mengandung lemak tak jenuh atau Omega 3, yang bermanfaat untuk menjaga kesehatan jantung dan otak. Kandungan ini menjadikan putul sebagai salah satu sumber protein alternatif yang potensial di masa depan.

Tak berhenti di situ, kulit luar putul diketahui mengandung zat kitin sejenis serat alami yang baik untuk pencernaan karena membantu pertumbuhan mikroba baik di usus manusia. Namun, seperti jenis serangga lainnya, konsumsi putul tetap harus hati-hati.

“Sebagian orang bisa mengalami alergi ringan, biasanya karena sensitif terhadap protein serangga,” jelas seorang ahli gizi dari UGM yang pernah meneliti serangga di Yogyakarta.

Kearifan Lokal yang Bertahan

Tradisi mencari dan mengolah putul telah diwariskan turun-temurun di banyak wilayah Gunungkidul, terutama di kecamatan seperti Playen, Patuk dan Semin. Bagi warga setempat, ini bukan sekadar aktivitas mencari makanan, tapi juga cara mempertahankan hubungan dengan alam.

“Dari dulu, orang tua kami ngajari kalau alam sudah memberi tanda, artinya ada rezeki yang harus disyukuri,” ujar Rusdi.

Ia mengaku, meski zaman semakin modern dan banyak makanan cepat saji bermunculan, rasa putul tetap tak tergantikan. “Enggak setiap hari bisa makan ini, jadi kalau musimnya datang, ya dimanfaatkan sebaiknya.”

Kini, tradisi berburu putul bahkan menarik perhatian wisatawan dan pecinta kuliner ekstrem. Beberapa pengunjung dari luar daerah sengaja datang ke Gunungkidul untuk mencoba langsung sensasi berburu dan mencicipinya. Pemerintah desa pun mulai melihat potensi ini sebagai bagian dari wisata kuliner berbasis tradisi lokal.

Putul: Simbol Ketahanan dan Kemandirian Warga Gunungkidul

Lebih dari sekadar makanan, putul telah menjadi simbol ketahanan warga Gunungkidul dalam menghadapi kerasnya alam. Di wilayah yang dulu dikenal tandus dan miskin sumber pangan, kemampuan masyarakat memanfaatkan sumber daya alam secara bijak menunjukkan bentuk nyata dari kearifan lokal dan ketahanan pangan berbasis tradisi.

“Putul itu bukan sekadar lauk, tapi juga pengingat bahwa dari hal kecil pun bisa jadi sumber kehidupan,” Pusngkas Rusdi.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |