Liputan6.com, Jakarta - Direktur Pembiayaan Syariah DJPPR Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Deni Ridwan mengibaratkan strategi investasi layaknya permainan sepak bola. Menurutnya, instrumen rendah risiko seperti Surat Berharga Negara (SBN) Ritel, reksadana pasar uang, hingga emas bisa berperan sebagai pertahanan (defensif).
Sementara itu, saham dan kripto lebih cocok diposisikan sebagai instrumen agresif (ofensif).
“SBN Ritel memberikan kupon bulanan sehingga bisa diandalkan pebisnis untuk sumber cashflow bulanan. Adapun SBN nonritel kuponnya dibagikan per enam bulan. Tapi ini harus dikembalikan ke tujuan dan profil risiko investor,” ujar Deni, dikutip dari keterangan tertulis, Minggu (27/9/2025).
Strategi investasi ini diungkapkan dalam acara talks show “Business Forum 2025: Build Big, Scale Smart, Outlast the Chaos” yang diselenggarakan Super App Investasi Bareksa.
Ia menambahkan, tren penurunan suku bunga acuan membuat SBN Ritel saat ini lebih menarik untuk diamankan. Pasalnya, Bank Indonesia dan The Fed diperkirakan masih akan memangkas suku bunga hingga 2026. Kondisi ini biasanya diikuti dengan penurunan yield, sehingga kupon SBN Ritel ke depan berpotensi lebih rendah.
“Dalam berinvestasi, ibarat sepak bola, attacks win you games, but defence wins you titles. Menang jangka pendek perlu, tapi fondasi jangka panjang lebih penting,” kata Deni.
Berdasarkan hasil lelang SBN terakhir, tenor panjang kini lebih diminati. Karena itu, Deni menyarankan investor untuk mempertimbangkan SBN dengan jangka waktu panjang.
Inflasi Musuh Utama Investasi
Di sisi lain, emas juga menjadi sorotan. CEO dan Co-founder Treasury Andreas Setiawan Santoso, menyebut emas kini tak hanya jadi instrumen lindung nilai (safe haven), melainkan juga tampak agresif dengan kenaikan harga 14–15% per bulan.
“Sehingga saat ini muncul dua tipe investor emas. Yakni tipe coba saja beli rutin tiap bulan, atau tunggu harga turun baru beli. Ternyata harganya nggak turun-turun, akhirnya nggak jadi beli,” ungkap Andreas.
Ia menekankan, inflasi adalah musuh utama investasi. Karena itu, rata-rata imbal hasil (average return) harus selalu melampaui laju inflasi agar nilai kekayaan tetap terjaga.
Pandangan serupa disampaikan Fajar Wibisono, CEO HUMANIS. Menurutnya, emas fisik terbukti ampuh melindungi aset dari inflasi, pelemahan rupiah, hingga gejolak pasar global.
“Bukan hanya karena sejak ribuan tahun lalu disebut dalam kitab suci Injil dan Al-Qur’an, tetapi juga karena data historis menunjukkan rata-rata imbal hasil 10,28% per tahun selama 40 tahun terakhir, bahkan kenaikan harga rata-ratanya mencapai 12,4% per tahun,” jelasnya.
Perlindungan Sekaligus Likuiditas
Fajar menambahkan, emas memberikan perlindungan sekaligus likuiditas, mulai dari jaminan, modal usaha, hingga kebutuhan besar seperti ongkos naik haji (ONH).
Hasil risetnya menunjukkan, biaya ONH justru lebih murah bila dikonversi ke emas. Pada 2001, ONH setara 285 gram emas, sedangkan pada 2024 turun jadi 53 gram, dan bahkan berpotensi di bawah 50 gram pada 2025.