Liputan6.com, Jakarta - Chief Investment Office (CIO) DBS Wey Fook Hou memandang bahwa reli kenaikan harga telah tiba. Itu diramal bakal terjadi pada saham teknologi, emas dan aset kripto, yang mengalami tren kenaikan luar biasa di sepanjang 2025.
Reli saham, emas dan Kripto tersebut bakal terjadi imbas ketidakpastian moneter di Amerika Serikat (AS), di tengah ancang-ancang pemangkasan suku bunga acuan oleh The Federal Reserve (The Fed).
"Tren kenaikan besar-besaran ini diperkirakan akan berlanjut seiring The Fed memulai pelonggaran kebijakan moneter, dengan pasar berjangka memperkirakan hampir lima kali penurunan suku bunga hingga akhir 2026," ujar Wey, dikutip Selasa (14/10/2025).
Menariknya, ia menambahkan, optimisme investor justru muncul di saat tarif efektif AS mencapai level tertinggi dalam sejarah sejak periode 1930-an. Situasi yang berpotensi menekan keuntungan korporasi dan konsumsi domestik dalam beberapa bulan mendatang.
"Tren kenaikan ini juga terjadi bersamaan dengan diluncurkannya One Big Beautiful Bill oleh pemerintahan Trump, yang kembali memicu kekhawatiran akan pemborosan fiskal AS, mendorong imbal hasil treasury jangka panjang naik dan melemahkan dolar AS," ungkapnya.
Di sisi lain, ia menyoroti utang Pemerintah AS kini melebihi 120 persen dari produk domestik bruto (PDB). Alhasil, Gedung Putih membutuhkan suku bunga yang lebih rendah untuk membiayai biaya pelunasan utang raksasanya.
"Lingkungan ini telah memicu kekhawatiran tentang dominasi fiskal, situasi di mana kebutuhan fiskal mulai mengarahkan kebijakan bank sentral," kata Wey.
Potensi Stagflasi Imbas Tarif Trump
Selain dominasi fiskal, Wey turut menyoroti kemungkinan kembalinya tekanan stagflasi ringan, seiring dengan dampak negatif dari tarif indah Trump yang terus berlanjut. Proyeksi The Fed sendiri dan survei investor swasta menunjukkan risiko stagflasi yang meningkat, namun pasar tetap optimis.
"Hal ini sebagian besar disebabkan oleh optimisme tentang potensi transformatif kecerdasan buatan (AI), dengan investor mengharapkan pertumbuhan laba yang kuat untuk 2025 dan 2026, jauh di atas tahun-tahun sebelumnya," bebernya.
Namun, ia memandang tren kenaikan tersebut. Dilihat dari sejumlah sinyal, seperti:
- Risiko konsentrasi berlebih: 10 perusahaan teratas, terutama di sektor teknologi, kini menyumbang 38 persen dari total nilai S&P 500. Naik dari 20 persen pada 1995. Besarnya investasi mereka di bidang AI mungkin tidak memberikan hasil sesuai ekspektasi, sehingga berpotensi menimbulkan koreksi pasar.
- Risiko valuasi: Rasio P/E forward S&P 500 mendekati level ekstrem secara historis, sementara proyeksi perkiraan laba tetap stagnan.
- Risiko pendapatan: Di luar sektor Big Tech, momentum pertumbuhan laba mulai melambat. Dampak tarif juga diperkirakan akan menekan margin keuntungan dan menyebabkan revisi penurunan di masa mendatang.
Potensi Lonjakan Aset Berisiko Tinggi
Lebih lanjut, Wey melihat kemungkinan terjadinya kenaikan tajam lebih lanjut pada aset berisiko tetap tinggi imbas kombinasi tiga faktor, yakni pelonggaran kebijakan moneter The Fed, kondisi makroekonomi yang ideal (Goldilocks), dan dorongan investasi modal terkait AI.
"Namun, kami menyadari bahwa reli ini terjadi di tengah ketidakpastian kebijakan dan kekhawatiran fiskal yang mendominasi," imbuh dia.
Bertolak dari situasi tersebut, Wey menyarankan investor untuk memanfaatkan reli sambil melindungi sisi bawah portofolio melalui diversifikasi. Untuk kuartal IV 2025, DBS menaikkan alokasi saham terhadap perusahaan teknologi AS menjadi netral.
Di luar pasar saham AS, Wey mendorong investor menambah posisi di saham Asia selain Jepang, untuk memanfaatkan diskon valuasi dibandingkan pasar negara maju, serta memanfaatkan potensi kenaikan dari pelonggaran moneter The Fed dan pelemahan dolar AS.
"Lindungi portofolio dari risiko penurunan dengan menambah eksposur terhadap emas, dana lindung nilai (hedge fund), dan aset privat," pungkas dia.