Liputan6.com, Jakarta - Pegunungan Muria di Kabupaten Kudus menyimpan sejumlah warisan tradisi dan budaya yang kini masih dilestarikan oleh warga desa setempat. Mereka tak ingin kearifan lokal yang telah mengakar beratus tahun itu hilang oleh kemajuan zaman.
Salah satu kearifan lokal itu adalah tradisi Guyang Cekatak. Bertepatan dengan hari Jumat Wage di bulan September, warga Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus kembali menyelenggarakan tradisi membasuh pelana kuda milik Sunan Muria Sayyid Umar Said.
Tradisi ini yang masih dipertahankan oleh masyarakat desa di kaki Pegunungan Muria itu, digelar Jumat (19/9/2025). Rangkaian ritual inti guyang cekathak dilakukan di Sendang Rejoso, sebuah mata air yang konon dipercaya sebagai tempat berwudu dan membasuh muka oleh Sunan Muria.
Tradisi Guyang Cekathak juga menjadi simbol pengharapan datangnya hujan di saat musim kemarau panjang. Tak heran, setiap pelaksanaan tradisi ini, selalu menyertakan cendol tawar yang diguyang (dilempar) ke atas sebagai simbolis turunnya hujan dari langit.
Tahun ini, warga Desa Colo dari berbagai latar belakang guyub rukun menggelar tradisi guyang cekathak, Jumat (19/9). Ritual dimulai doa dan tahlil bersama yang dipimpin oleh pemangku adat di aula kantor Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria (YM2SM) sejak pukul 06.30 WIB.
Di hadapan para pemimpin doa, tersaji sebuah cekathak (pelana kuda, red) yang tertutup kain putih. Sementara di sampingnya, sebuah wadah kotak berisi kemenyan dan dupa dinyalakan mengepul ke atas.
Rangkaian Tradisi
Selepas doa pembuka, cekathak dikirab menuju Sendang Rejoso. Barisan depan memimpin ritual kirab dengan iringan selawat dan terbang papat.
Ratusan warga mulai dari pedagang, tukang ojek, peziarah, petani dan masyarakat berbagai umur sudah menunggu di lokasi sendang. Masing-masing dari mereka membawa nasi berkat yang siap didoakan untuk ngalap berkah dari Sunan Muria.
Ritual sakral pembasuhan pelana kuda Sunan Muria dilakukan. Cekathak dibasuh dari mata air Sendang Rejoso serta air kembang yang telah disiapkan.
Ritual inti rampung, cekathak diletakkan di pojokan sendang, ditata bersamaan nasi berkat, cendol, dawet muria, bubur ketan dan sesaji berupa puceng oleh pembasuh. Acara disambung dengan doa dan makan bersama (kepungan) dengan alas makan berupa daun jati.
Ritual Pemanggil Hujan
Dewan Pembina Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria (YM2SM) Mastur mengatakan, tradisi ini dilestarikan untuk mengenang jasa Sunan Muria yang telah mensyiarkan agama Islam di Lereng Muria.
Menurutnya, tradisi ini juga sebagai pengingat masyarakat akan keberkahan dari Sunan Muria yang membawa kebaikan untuk masyarakat di Desa Colo dan sekitarnya.
"Sebagai pengingat untuk masyarakat, khususnya garis keturunan dari Kanjeng SUnan supaya tetap melestarikan perjuangan," kata Mbah Mastur, sapaan akrabnya.
Mbah Mastur menjelaskan, tradisi guyang cekathak bermakna ritual pembasuhan pelana kuda peninggalan Sunan Muria. Guyang berarti membasuh, sedangkan cekathak diartikan sebagai pelana kuda.
Tradisi ini juga disebut oleh masyarakat sebagai ritual doa pemanggil hujan. Tak heran, setiap tradisi ini selalu menyertakan dawet cendol khas Muria yang dilempar ke atas sebagai pertanda hujan.
"Ini simbolis, saat kemarau panjang kami berdoa supaya hujan segera turun. Namun ketika sudah musim hujan, tradisi ini tetap digelar untuk ngalap berkah," tambahnya.
Cendol yang dilempar ke atas, kata Mbah Mastur, juga punya makna tersendiri. Selain sebagai simbolis hujan, juga untuk membersihkan air di Sendang Rejoso.
"Makanya cendol yang digunakan itu cendol tawar tanpa campuran gula atau garam. Cendol itu dilempar ke sumber mata air untuk membersihkan sendang," terangnya.
Pemilihan Tanggal Tradisi
Ia menambahkan, tradisi ini digelar setiap Jumat wage di bulan September. Namun ketika September tak ada Jumat Wage, maka akan dicari di bulan terdekatnya.
"Dicari terdekatnya, bisa di akhir Agustus atau awal Oktober, yang pasti di Jumat wage," tandasnya.
Pihaknya berharap tradisi ini tetap dilestarikan oleh masyarakat Desa Colo sebagai upaya ngalap berkah dan melestarikan warisan budaya yang ditinggalkan Sunan Muria.
Salah satu peziarah asal Sumatera, Muhammad Ade Sofwan (38) mengaku terkesan dengan tradisi yang digelar untuk mengenang jasa Sunan Muria ini.
"Setelah berziarah tadi diajak mengikuti acara ini, ternyata setahun sekali dan banyak pengetahuan yang baru saya tahu," ujar Ade.
Menurutnya, tradisi ini juga unik lantaran digelar di Sendang Rejoso dan memakai dawet yang dilempar-lempar ke atas.
"Masyarakatnya juga rukun, berbagi makanan dan slametan bersama, mudah-mudahan tahun depan bisa ikut lagi," pungkasnya.