Akademisi UII Beberkan Lima Alasan Kasus Tom Lembong Termasuk Kesalahan Keadilan

3 days ago 12

Liputan6.com, Jakarta Akademisi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menilai keputusan pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong merupakan salah satu bentuk miscarriage of justice. Majelis Hakim dalam kasus ini disebut telah mengabaikan adanya asas Lex Specialis Sistematis.

Kesimpulan ini disampaikan enam dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta saat memimpin ‘Sidang Eksaminasi Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi Nomor; 34/PID.SUS-TPK/2025/PNJK.PST di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Thomas Trikasih Lembong (Thomas Lembong)’, Sabtu (11/10/2025).

Enam ahli hukum tersebut terdiri dari Rusdi Muhammad, Ridwan, Hanafi Amrani, M Arif Setiawan, Marisa Kurnianingsih, Ari Wibowo dan Wahyu Priyaka.

“Berbagai uraian dan penjelasan membuktikan Putusan Nomor 34/Pid.SusTPK/2025/PN Jkt Pst kepada Thomas Lembong, merupakan satu bentuk miscarriage of justice. Pasalnya putusan tersebut sama sekali tidak menciptakan keadilan karena keputusan tersebut tidak didasarkan pada fakta hukum yang terungkap di persidangan, dan tidak didasarkan pada pertimbangan hukum yang objektif,” kata M Arif Setiawan yang menjadi juru bicara bagi kelima rekannya saat jumpa pers.

Arif melanjutkan, kesimpulan ini diambil para hakim sidang eksaminasi dengan berbagai alasan. Pertama, seluruh proses peradilan mulai dari proses penyidikan hingga putusan dalam perkara ini, sebenarnya penggunaan pelanggaran hukum administrasi yang diangkat menjadi tindak pidana korupsi. Sepenuhnya bertentangan dengan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

“Bahwa Majelis Hakim telah mengabaikan adanya asas asas Lex Specialis Sistematis,” katanya.

Kedua, Majelis Hakim dinilai mengabaikan Undang-Undang nomor 1 tentang perubahan atas Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara ketika mempertimbangkan kerugian yang dialami PT PPI yang pada dasarnya merupakan badan usaha milik negara.

Karena menurut Pasal 4B dalam Undang-Undang tersebut, telah terjadi pergeseran makna kerugian BUMN, yang tidak lagi dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara.

“Dengan demikian, kerugian yang dialami PT PPI sebagai BUMN sebenarnya bukan merupakan kerugian keuangan negara. Sehingga unsur kerugian keuangan negara dalam perkara ini jelas tidak terbukti. Ditambah lagi, terjadinya kesalahan di dalam mempertimbangkan, memperhitungkan besaran kerugian atau kejadian terjadinya kerugiannya,” terangnya.

Kerugian akibat adanya perbedaan antara harga HPP di tingkat petani sebagai pedoman untuk pembelian gula di tingkat petani untuk menjaga harga supaya petani tidak dirugikan, itu tentu saja berbeda dengan harga yang dilakukan dalam proses bisnis oleh PT PPI.

Jadi dengan demikian terjadinya kerugian keuangan negara yang dianggap sebagai selisih perhitungan itu adalah sesuatu yang tidak tepat ditentukan.

Kemudian ketiga, bahwa baik jaksa penuntut umum maupun majelis hakim dalam putusannya tidak mempertimbangkan sama sekali adanya mens rea dalam diri terdakwa dengan alasan sebenarnya tidak ada niat jahat saat membuat keputusan izin impor.

“Terdakwa tidak mendapatkan keuntungan dari keputusannya yang diambil dan juga tidak ada fakta hukum pernah meminta pula bagian keuntungan dari perusahaan swasta maupun dari perusahaan yang BUMN yang melaksanakan impor gula tersebut,” lanjut Arif.

Tidak ada bukti atau fakta hukum oleh para hakim eksaminasi dinyatakan telah memenuhi pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP tentang penyertaan karena tidak terdapat fakta hukum adanya meeting of men dan double intention. Di mana fakta hukumnya terdakwa pernah bertemu dan bersepakat dengan pelaku.

Kelima, terdapat kesalahan pertimbangan Majelis Hakim Tipikor yang membuktikan adanya kesalahan dalam bentuk kesengajaan yang tidak perlu pembuktian hubungan sifilis pelaku dengan perbuatan yang dilakukan. Hakim eksaminator menilai semestinya harus dibuktikan mengingat dalam pandangan memori fantolektik syarat adanya kesengajaan ada dua, yaitu terdakwa mengetahui dan memahami weapon and villain.

Terkait dengan keputusan abusili dalam kasus ini, Arif menjawab seharusnya perkara ini sudah dihentikan proses hukumnya. Meskipun terdakwa sempat mengajukan banding, namun adanya abusili ini sudah selesai perkara ini.

“Kalau tanggapan saya tidak perlu ada upaya hukum lagi dan tidak ada upaya hukum lagi. Ya dianggap tidak pernah ada perkara, kan sudah ada putusan. Itu artinya keputusan Tom Lembong bersalah belum ada kepastian,” pungkas Arif.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |