Malam Tirakatan HUT ke-80 RI, Tradisi Prajurit Kostrad Bersama Warga Hidupkan Jiwa Merdeka

1 month ago 35

Liputan6.com, Jakarta Diawali pada 16 Agustus 2025 malam, sehari jelang perayaan HUT ke-80 RI. Langit malam di Salatiga sangat cerah. Lorong-lorong perumahan di sekitar asrama Yonif 411/Pandawa/6/2 Kostrad memancarkan kehangatan. 

Di sela lampu dan tumpeng seadanya, tentara dan warga menyatu. Bersama-sama menghidupkan tradisi Jawa. Tirakat. Ini berbeda dengan malam tirakatan umumnya yang menghadirkan panggung untuk mengekspresikan kegembiraan warga. Di lokasi itu, hanya ada warga dan tentara yang melingkar untuk merefleksikan semangat perjuangan kemerdekaan.

Komandan Yonif 411/Pandawa/Kostrad, Letkol Inf Ilham Datu Ramang, bersama sang istri, menyusuri lorong-lorong itu untuk menyapa warga kemudian bergabung duduk bersama dalam lingkaran sederhana. 

“Malam ini bukan cuma soal mengenang pahlawan, tapi tentang bagaimana kita menjaga api harapan dan persaudaraan tetap menyala," kata Dan Yonif Letkol Inf Ilham Datu Ramang.

Upacara detik-detik Proklamasi dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia digelar di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (17/8/2025). Momen sakral terjadi saat Presiden Prabowo mencium Bendera Merah Putih.

Tradisi Tirakatan

Tirakat dalam budaya Jawa sesungguhnya bukan sekadar ritual. Laku itu manifestasi perjalanan batin. Tirakat adalah menahan diri, merenung, dan mendekatkan jiwa pada esensi kehidupan. 

"Tradisi kita, biasanya orang-orang tua dulu malam sebelum hari besar, duduk di bawah lampu minyak, dikelilingi keluarga dan tetangga. Mereka berdoa, berbagi cerita, dan menyantap hidangan sederhana," Ilham bercerita.

Kehangatan itu dilengkapi dengan tumpeng yang diperlakukan penuh hormat. Itu adalah sikap syukur kepada Tuhan dan penghormatan kepada leluhur. 

"Ada keheningan yang disengaja yang menjadi sebuah jeda untuk merenungi perjuangan, pengorbanan, dan harapan," katanya.

Ditambahkan bahwa di Salatiga, tradisi itu dihidupkan dan dihidupkan para prajurit dan warga. 

Dalam lingkaran dan suasana sangat sederhana, mereka berdoa. Bukan sekadar doa dan terima kasih bagi pahlawan, namun juga mendoakan Indonesia tetap bertumbuh dengan warganya yang berproses menjadi manusia yang utuh.

Salah satu warga menyebut bahwa kegiatan sederhana ini benar-benar membawa kepada suasana keseharian. Tak ada status sosial. Tak ada warga, tak ada tentara. Tak ada komandan, tak ada anggota. 

"Yang hadir adalah manusia. Warga negara yang menyatukan harapan agar Indonesia semakin sehat," katanya.

Menghidupkan Kemanusiaan

Letkol Inf Ilham Datu Ramang menyampaikan, sebagai tentara harus menganut falsafah di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Itu adalah panggilan moral untuk menghormati tempat berpijak, budaya, nilai, dan orang-orang di sekitar.

“Kita bukan cuma tentara, tapi bagian dari masyarakat ini. Nguri-uri budaya itu artinya menghidupkan kemanusiaan kita," kata Ilham. 

Semua hening, menundukkan kepala. Mereka mendengarkan renungan perjalanan Indonesia menjadi sebuah bangsa.

“Semua kehidupan sejati adalah pertemuan. Malam ini kita dipertemukan, bersama dengan para pahlawan yang saya yakin ikut menyaksikan. Kemerdekaan yang kita rayakan bukan cuma soal bebas dari penjajah, tapi tentang bertemu. Pertemuan tentara dengan warga, masa lalu dengan masa depan, kita dengan kemanusiaan kita sendiri," kata Ilham.

Bagi prajurit Yonif 411/Pandawa, esensi ini tetap dihidupkan dan dihidupi. Prajurit tak lagi sangar, namun melebur. Berbagi tawa dengan anak-anak warga, mendengar cerita tetua, dan ikut menunduk dalam doa. 

Ini adalah humanisme dalam wujud paling nyata. Inilah ketika batas antara barak dan lorong perumahan hilang, ketika seragam tidak lagi menjadi pembeda, melainkan bagian dari mozaik kebersamaan.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |