Liputan6.com, Semarang - Tengkes atau stunting adalah kondisi ketika anak di bawah lima tahun memiliki tinggi badan di bawah rata-rata akibat kekurangan gizi kronis. Data UNICEF dan WHO 2020, ada 149,2 juta anak di dunia mengalami stunting, dengan 6,3 juta di antaranya berada di Indonesia.
Sementara itu Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 mencatat prevalensi stunting nasional turun menjadi 19,8% dari 21,5% pada 2023, setara dengan 4,48 juta balita. Angka ini menunjukkan kemajuan, namun masih di atas standar WHO (<20%). Target nasional 18,8% pada 2025 dan 14,2% pada 2029.
Untuk Provinsi dengan angka stunting tertinggi adalah Jawa Barat (638.000 balita), Jawa Tengah (485.893 balita), dan Jawa Timur (430.780 balita).
Sebuah kajian psikologi internasional menegaskan bahwa stunting tidak hanya berdampak pada pertumbuhan fisik, tetapi juga perkembangan kognitif dan emosional. Misalnya penelitian dari The Lancet (2017) menunjukkan anak stunting berisiko mengalami penurunan kemampuan belajar, keterlambatan perkembangan otak, dan masalah perilaku seperti kecemasan atau agresivitas.
Dukungan psikologis dari keluarga dan lingkungan menjadi krusial untuk meminimalkan dampak ini. “Keluarga yang suportif dapat meningkatkan kepercayaan diri orang tua dalam mengasuh dan membantu anak mencapai potensi maksimalnya,” demikian ditulis Journal of Child Psychology and Psychiatry.
Sistem Dukungan atau Support Sistem
Situasi ini mencoba direspon kelompok 3 Tim 144 KKN Tematik Undip dengan berkunjung dari rumah ke rumah di wilayah RW 003, Tlogosari Wetan, Pedurungan, Semarang. Mereka fokus membangun sistem pendukung untuk keluarga dengan anak stunting.
Menurut Nofiatun, ketua Si Bening (Semua Ikut Bergerak Bersama Menangani Stunting), sebuah program untuk penanganan stunting di Pemkot Semarang, ada 4 dari 6 kasus di kelurahan ini. Bersama Zubaedah, Ketua RT 04 tim KKN menugaskan Khansa Anindyaputri, Farhan Agung Santoso, Rozwa Azhar Afifah (Psikologi), dan Valencia Agatha Jasmine (Hukum). “Kami ingin keluarga merasa didampingi, ditemani, dan mendapat dukungan bukan cuma mendapat informasi,” kata Agung.
Para mahasiswa KKN ini kemudian berbagi pengetahuan tentang pola asuh, manajemen stres, dan dukungan sosial. "Tentu berdasarkan riset dan ilmu yang kami dapat selama kuliah dan juga konsultasi dengan dosen pembimbing," kata Khansa Anindya Putri.
Valencia sebagai mahasiswa dari Fakultas Hukum juga menjelaskan hak-hak anak, seperti akses kesehatan dan pendidikan. Alat peraga seperti poster dan leaflet praktis dinilai membantu memudahkan orang tua menerapkan ilmu di rumah. Salah satu ibu dengan anak stunting mengaku baru paham penanganan anak stunting dan juga hak-haknya. “Saya jadi tahu cara mendukung anak saya jadi lebih baik dan merasa nyaman,” kata seorang ibu.
Para mahasiswa ini berupaya menghadirkan senyum dari anak-anak stunting itu. Jika berhasil mereka makin termotivasi. "Pendekatan humanis ini semoga bisa menjadi virus kebaikan yang menyebar. Ada perubahan di komunitas. Sekecil apapun itu," kata Khansa.