Kisah Tiga Bocah Kota Pontianak Torehkan Prestasi di Pertandingan Judo Internasional

18 hours ago 8

Liputan6.com, Jakarta Di tengah lantai tatami yang dingin di Johor Bahru Malaysia, tiga nama kecil dari tepian Sungai Kapuas berdiri tegak, Ibnu Haifham, Fadhila Putri dan Sri Hafshah Kamilatunnisa.

Mereka bukan sekadar anak-anak. Mereka adalah secarik harapan yang menolak padam, meski kadang negeri sendiri terlalu sibuk menatap langit, lupa menunduk melihat perjuangan kecil di bawahnya.

Di Johor International Judo Championship 2025, kompetisi bergengsi yang mempertemukan ratusan atlet Asia Tenggara, tiga bocah Pontianak itu menorehkan kisah tak sekadar soal medali, tapi tentang nyala kecil menyala dari keringat, bukan sorot kamera.

Ibnu menggenggam perak di kelas B8 22 kilogram Putra, sementara Fadhila, gadis mungil bertekad baja, ikut membawa perak dari kelas B13 40 kilogram Putri.

Lalu, Hafshah, gadis kecil berusia lima tahun, menutup babak dengan perunggu kemenangan yang jauh lebih besar dari warnanya.

Karena di balik medali itu, ada air mata pertama seorang anak yang belajar jatuh, bangkit, dan menunduk hormat pada dunia.

“Prestasi ini menunjukkan kerja keras dan semangat belajar yang tinggi bisa membuahkan hasil luar biasa,” ujar pelatih sekaligus Ketua Umum PJSI Kota Pontianak, Hajon Mahdy Mahmudin. Suaranya tenang, tapi matanya menyimpan bangga tak sempat disembunyikan.

Peluh dan Pelukan

Mereka datang bukan dengan sponsor gemerlap, bukan pula dengan fasilitas serba mewah. Mereka datang dengan bekal tekad dan cinta orang tua sederhana menabung dari sisa belanja dapur, demi tiket ke Johor Malaysia.

Setiap kali kaki kecil mereka menapak di atas tatami, setiap napas seolah membawa doa yang dikirim dari tepi rumah di Kota Pontianak “Jangan takut, Nak. Jatuh itu bagian dari belajar.”

Di ruang latihan yang sempit dan panas di Kota Pontianak, Hajon Mahdy Mahmudin melatih mereka bukan sekadar teknik.

Ia melatih kepercayaan diri, keteguhan dan kesabaran tiga hal yang jarang dimiliki bahkan oleh orang dewasa di dunia olahraga.

“Kami berharap semakin banyak anak-anak yang tertarik pada judo. Olahraga ini tidak hanya melatih fisik, tapi juga karakter dan rasa percaya diri,” kata Hajon.

Fadhila bercerita, dirinya dulu takut berhadapan dengan lawan yang lebih besar. Tapi judo mengajarkannya hal lain bahwa kekuatan tak selalu diukur dari otot, tapi dari keberanian untuk tidak menyerah.

“Setiap jatuh, aku ingat kata pelatih yang hebat bukan yang tak jatuh, tapi yang mau bangkit,” ucapnya polos, senyumnya serupa pagi yang baru saja menyalakan hari.

Di negeri yang sering gaduh karena skor sepak bola, kadang prestasi kecil dari cabang-cabang minor justru lewat tanpa suara. Padahal, di situlah nilai olahraga menemukan rumah sejatinya di hati anak-anak masih jujur bermimpi.

Keikutsertaan tiga atlet cilik ini bukan sekadar catatan di papan skor. Ia adalah pengingat bahwa pembinaan usia dini tak boleh sekadar seremoni, melainkan investasi masa depan yang nyata.

Karena dari ruang latihan kecil di Kota Pontianak, dari peluh yang menetes di seragam putih sederhana itu, Indonesia sedang dibangun perlahan oleh tangan-tangan mungil yang belum tahu apa itu “politik anggaran”, tapi paham arti kerja keras.

Hafshah, si bungsu lima tahun, mungkin belum tahu arti “internasional”. Tapi ketika ia menunduk memberi hormat setelah pertandingan, dunia tahu di balik tubuh kecil itu, ada jiwa besar yang tumbuh dengan cinta.

Hajon Mahdy Mahmudin menyebut prestasi ini sebagai “langkah awal pembinaan judo usia dini”, tapi sejatinya ia lebih dari itu.

Ia adalah langkah kecil menuju kesadaran besar bahwa setiap anak punya hak untuk berjuang di atas tatami kehidupan, asalkan diberi ruang dan keyakinan.

Tiga medali dari Johor memang tak akan mengubah peta dunia. Tapi bagi Kota Pontianak, bagi Indonesia, kisah ini adalah sebuah pesan halus dari anak-anak bahwa mimpi tidak perlu megah untuk disebut berharga.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |