Liputan6.com, Padang - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mendesak pengusutan tuntas kasus penyerangan perusakan rumah doa atau tempat pembinaan pendidikan agama Kristen di RT 03 RW 09, Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah Kota Padang Sumatera Barat yang terjadi padaMinggu, 27 Juli 2025. Dalam kejadian tersebut juga terdapat dua anak-anak menjadi korban kekerasan fisik oleh pelaku penyerangan.
Direktur LBH Padang, Diki Rafiki mengatakan kejadian tersebut terjadi saat jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) tengah belajar agama.
"Peristiwa ini menunjukkan bahwa tindakan intoleransi masih menjadi ancaman serius terhadap hak-hak warga negara, khususnya hak atas kebebasan beragama dan beribadah," ujarnya melalui siaran resmi, Selasa (29/7/2025).
Padahal, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Selain itu, Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/UDHR) menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama, termasuk kebebasan untuk berpindah agama dan menyatakan keyakinannya baik secara pribadi maupun bersama-sama, di tempat umum maupun tertutup.
Namun, jemaat GKSI yang sedang melangsungkan ibadah secara damai justru mengalami gangguan serius. Meskipun kemudian, setelah dilakukan mediasi antara jemaat, warga, pemerintah Kota Padang, dan aparat penegak hukum pada hari yang sama, kegiatan ibadah dapat dilanjutkan, kejadian tersebut tetap meninggalkan trauma mendalam, terutama bagi anak-anak.
Korban Anak-anak
Diki menyampaikan, di dalam video yang beredar dan sudah terkonfirmasi anak-anak yang tengah belajar menjadi sangat ketakutan. Mereka berteriak, menangis, dan berhamburan mencari perlindungan.
Dua anak menjadi korban kekerasan fisik. Seorang anak berusia 11 tahun mengalami luka parah dan tidak dapat berjalan setelah dipukul menggunakan kayu.
Anak lainnya, usia 13 tahun, mengalami cedera pada punggung akibat tendangan. Keduanya segera dilarikan ke RS Yos Sudarso untuk mendapatkan perawatan medis.
"Anak-anak lain mengalami trauma berat dan rasa takut yang mendalam. Akibatnya, kegiatan ibadah dan pengajaran harus dihentikan total," jelas Diki.
Selain itu, sejumlah fasilitas rumah ibadah mengalami kerusakan, seperti pecahnya kaca jendela dan pintu, serta rusaknya peralatan ibadah.
Aliran listrik pun diputus secara sepihak, mengganggu kenyamanan dan keamanan para jemaat. Peristiwa ini tak hanya mencerminkan intoleransi, tetapi juga pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara.
Negara Harus Hadir
LBH Padang mengingatkan pihak kepolisian agar segera menindak tegas pelaku persekusi dan kekerasan terhadap kelompok agama. Tindakan tersebut merupakan tindak pidana dan tidak memerlukan laporan korban untuk diproses karena termasuk delik umum. Pasal 156 dan 175 KUHP dapat digunakan sebagai dasar hukum penegakan keadilan.
"Negara harus melindungi kebebasan beragama, tidak memberikan ruang bagi tindakan intoleransi yang mengancam persatuan dan kebhinekaan bangsa. Penegakan hukum atas pembubaran paksa dan penyerangan terhadap aktivitas ibadah yang sah adalah kewajiban konstitusional negara. Negara harus hadir, berpihak pada keadilan, dan menindak tegas pelaku kekerasan berbasis kebencian," ujarnya.
Pemerintah daerah harus segera mengambil langkah rekonsiliasi, dengan menempatkan prinsip kesetaraan, perlindungan kelompok minoritas, dan mendorong peran aktif kelompok mayoritas yang toleran.
Tuntutan LBH Padang
1. Kepolisian mengusut tuntas dan memproses secara hukum seluruh pihak yang terlibat dalam kekerasan dan pengrusakan rumah ibadah.
2. Pemerintah Kota Padang untuk menjamin perlindungan hak beribadah bagi seluruh warga tanpa diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan.
3. Kementerian Agama dan Komnas HAM untuk melakukan pemantauan aktif serta memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas beragama, dan mencegah pembiaran atas tindakan intoleransi.
4. Masyarakat untuk menjaga kerukunan antarumat beragama dan tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang dapat memecah belah persatuan.
“Peristiwa ini bukan hanya persoalan hukum, melainkan menyangkut nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan persatuan bangsa,” tambahnya.
Tanggapan Polisi dan Pemkot Padang
Sementara Wakapolda Sumbar Brigjen Pol Solihin mengatakan saat ini sebanyak 9 orang sudah ditangkap atas insiden tersebut yang ditangani oleh Polres Kota Padang.
Waka Polda Sumbar Brigjen Pol Solihin menyampaikan mengenai pentingnya menjaga kehidupan bertoleransi antar umat beragama. Sumatera Barat dikenal sebagai daerah yang menjunjung tinggi toleransi, nilai-nilai kearifan lokal, dan kehidupan antar umat beragama yang damai. Oleh karena itu, ia mengimbau masyarakat untuk tidak main hakim sendiri ketika menghadapi permasalahan.
"Siapa pun yang melanggar hukum akan ditindak tegas oleh Polri, Kami juga mendorong masyarakat untuk memanfaatkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai wadah untuk menyelesaikan permasalahan secara damai," ujar Brigjen Pol Solihin.
Sementara itu, Kapolresta Padang Kombes Pol Apri Wibowo mengatakanpenyelidikan intensif juga dilakukan, termasuk olah TKP dan mengamankan 9 orang yang diduga terlibat untuk dimintai keterangan, baik sebagai saksi maupun pihak yang melakukan perusakan.
Pihaknya terus melakukan rencana tindak lanjut terus dilakukan koordinasi dengan Forkopimda dan FKUB untuk menuntaskan masalah hingga akar-akarnya.
"Pengamanan dan pemantauan lokasi akan terus ditingkatkan, diiringi dengan penggalangan dan pemantauan di lokasi untuk mencegah kejadian serupa terulang. Yang tak kalah penting, penegakan hukum akan dijalankan tegas bagi siapa pun yang terbukti melanggar, memastikan keadilan dan kondusifitas wilayah tetap terjaga," katanya.
Menurutnya situasi di Padang Sarai saat ini telah terkendali, dan Polda Sumbar terus melakukan langkah-langkah preventif serta penegakan hukum untuk memastikan stabilitas wilayah dalam keadaan kondusif.
Wali Kota Padang mengatakan penyesalannya atas peristiwa yang terjadi di Kelurahan Padang Sarai. Ia mengklaim bahwa kejadian itu bukan perselisihan agama, tetapi murni insiden kesalahpahaman.
"Pertama, kita harus memahami lukanya perasaan saudara-saudara kita yang mengalami tindakan pengerusakan bahkan juga sampai ada korban luka. Untuk kesalahpahaman sudah clear. Bahwa insiden ini tidak terkait SARA, untuk tindakan yang masuk ranah pidana ditindaklanjuti sesuai hukum yang berlaku," ujarnya.
Kronologi Kejadian
Berdasarkan informasi yang dihimpun, insiden terjadi saat jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) sedang melangsungkan ibadah dan kegiatan pendidikan agama bagi anak-anak.
Sekitar pukul 16.00 WIB pada 27 Juni 2025, sekelompok warga mendatangi rumah doa tersebut dan memaksa agar kegiatan dihentikan. Penyerangan pun terjadi, disertai tindakan perusakan, tepat ketika puluhan anak tengah mengikuti pelajaran agama Kristen.
Rumah doa itu sendiri difungsikan sebagai tempat pembelajaran agama Kristen, karena sekolah-sekolah negeri di sekitar lokasi tidak menyediakan pengajaran untuk pemeluk agama Kristen.
Keberadaan tempat ini menjadi penting bagi anak-anak jemaat dalam mendapatkan pendidikan agama yang sesuai keyakinan mereka.
Akibat penyerangan tersebut, dua anak mengalami luka yang diduga akibat pukulan dari massa. Sementara itu, puluhan anak lainnya dan para jemaat panik, berhamburan keluar dari rumah doa sambil menangis dan histeris karena ketakutan.
Pendeta Dachi, perwakilan dari jemaat GKSI, menjelaskan bahwa insiden ini berawal dari kesalahpahaman sebagian warga mengenai fungsi bangunan tersebut.
Ia menegaskan bahwa bangunan itu bukan gereja, melainkan tempat pendidikan agama untuk anak-anak Kristen.
"Sebagian warga keliru menganggap rumah pendidikan agama anak-anak Kristen ini sebagai gereja, padahal bukan," jelasnya.