Liputan6.com, Gorontalo - Di sepanjang trotoar Jalan Jenderal Sudirman, Kota Gorontalo, deretan bendera merah putih bergoyang pelan tertiup angin. Ornamen kemerdekaan, umbul-umbul, kain dekorasi hingga miniatur garuda, tersusun rapi di atas tikar seadanya.
Di balik tumpukan itu, duduk seorang pria, matanya awas memperhatikan kendaraan yang lalu-lalang, berharap ada yang berhenti.
Namanya Ansar, usia 32 tahun. Dia bukan warga Gorontalo. Dia datang jauh-jauh dari Garut, Jawa Barat, membawa harapan dan barang dagangan yang ia sebut sebagai 'musim panen tahunan'.
“Sudah sejak 2007 saya ke sini tiap Agustus. Kalau sudah masuk pertengahan Juli, saya tinggalin ladang, ganti jadi pedagang,” kata Ansar dengan logat Sunda yang kental, Selasa (29/7).
Di kampung halamannya, Ansar adalah petani. Tapi sejak 18 tahun lalu, ia memilih menjadikan bulan kemerdekaan sebagai momen berkeliling kota-kota, menjual simbol kebangsaan demi menghidupi keluarganya. Tahun ini, langkahnya terasa lebih berat.
Biasanya, menjelang akhir Juli, pembeli mulai ramai berdatangan, mulai dari instansi pemerintah, sekolah, hingga warga biasa yang ingin menghias rumah mereka.
Tapi kini, jalanan lengang. Penjualan turun drastis. Bendera dan ornamen yang dia harap bisa laku, masih menumpuk di atas tikar.
“Dulu pertengahan bulan sudah ramai. Sekarang sudah akhir bulan, belum ada setengahnya terjual,” keluhnya pelan.
Bukan Sekadar Mencari Nafkah
Ansar menjajakan barang dagangannya dengan harga bervariasi, bendera kecil Rp5.000, dekorasi gedung hingga Rp450.000. Setiap pagi, ia susun ulang lapaknya. Setiap sore, ia kemas kembali dengan rapi, berharap esok akan lebih ramai.
“Kalau lagi bagus, saya bisa bawa pulang untung lima juta sebulan. Tapi tahun ini, baru balik modal saja belum tentu,” ujarnya, matanya menerawang.
Namun meski untung merosot, Ansar enggan mengeluh terlalu dalam. Baginya, berdagang ornamen kemerdekaan bukan sekadar mencari nafkah.
Ini adalah bentuk kecil dari kecintaan terhadap Tanah Air, kontribusi sederhana dari seorang petani yang tak banyak dikenal orang, tapi setia menjaga semangat merah putih tetap hidup di ruang publik.
“Saya cuma jual bendera. Tapi kalau masih ada yang mau beli, masih ada yang mau pasang di rumah, berarti semangat itu belum hilang,” ucapnya sambil tersenyum yang tampak tulus meski letih.
Di tengah ingar-bingar perayaan nasional yang kadang terasa formal dan seremonial, kisah Ansar menghadirkan sisi lain dari semangat kemerdekaan: perjuangan sunyi di pinggir jalan, di antara tumpukan bendera, di antara harapan yang tak pernah padam.