Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali bersama Kejaksaan Negeri (Kejari) se-Bali melaporkan kinerjanya dalam penanganan tindak pidana korupsi. Sepanjang tahun 2025, tercatat 63 perkara korupsi ditangani, terdiri dari 41 perkara tahap penyelidikan dan 22 perkara tahap penyidikan.
Klarifikasi ini disampaikan setelah pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam kunjungannya ke Bali pada Selasa (16/9/2025) yang menyebut bidang pidana khusus (pidsus) di Bali hanya menangani tiga perkara korupsi.
Dalam siaran pers tertanggal 19 September 2025, Kejati Bali memaparkan rincian perkara yang sedang berjalan, baik di tingkat kejati maupun kejari se-Bali. Di Kejati Bali sendiri, terdapat 12 penyelidikan dan 4 penyidikan. Sementara di daerah, perkara yang tersebar antara lain:
Kejari Denpasar: 5 penyelidikan, 1 penyidikan
Kejari Buleleng: 5 penyelidikan, 3 penyidikan
Kejari Badung: 3 penyelidikan, 2 penyidikan
Kejari Tabanan: 2 penyelidikan, 3 penyidikan
Kejari Jembrana: 2 penyelidikan, 1 penyidikan
Kejari Klungkung: 3 penyelidikan, 2 penyidikan
Kejari Karangasem: 3 penyelidikan, 1 penyidikan
Kejari Bangli: 4 penyelidikan, 3 penyidikan
Kejari Gianyar: 2 penyelidikan, 2 penyidikan
Jenis Kasus Korupsi
Jenis perkara yang ditangani beragam, mulai dari kasus perizinan rumah bersubsidi, dugaan penyalahgunaan dana LPD, penyelewengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI, hingga dugaan penyalahgunaan dana Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
“Data ini merupakan bentuk transparansi sekaligus klarifikasi atas persepsi publik bahwa penanganan kasus korupsi di Bali terbilang minim,” tulis Kejati Bali dalam siaran pers yang ditandatangani Kasi Penkum Putu Agus Eka Sabana serta diketahui Asintel Chandra Purnama.
Kasi Penkum Kejati Bali Putu Agus Eka Sabana Putra, menegaskan tidak semua penyelidikan berlanjut ke tahap penyidikan. Sejumlah kasus dihentikan karena nilai kerugian negara yang ditemukan tidak besar, terutama pada kasus-kasus pengelolaan keuangan di BUMDes maupun LPD.
“Di saat kerugian negara itu dikembalikan, penyelidikan dihentikan. Ada beberapa penyelidikan itu dihentikan karena nilai kerugian yang tidak signifikan dan kerugian negara sudah dikembalikan oleh terduga pelakunya,” jelasnya saat ditemui di Kejati Bali, Denpasar, Jumat (19/9/2025).
Ia mencontohkan, pada salah satu perkara penyelidikan BUMDes, kerugian hanya Rp5 juta hingga Rp10 juta. Setelah terperiksa mengembalikan uang tersebut ke kas desa. Proses penyelidikan dihentikan.
Pembuktian Korupsi Sulit
Lebih lanjut, Agus menjelaskan bahwa pembuktian perkara korupsi tidaklah mudah. Modus para pelaku kerap disembunyikan sehingga membutuhkan teknik dan waktu dalam pengumpulan bukti.
“Namun dalam pembuktian tindak pidana korupsi, tindak pidana korupsi ini tidak seperti pembuktian tindak pidana umum. Sebagian besar tindak pidana korupsi itu para pelaku ini menyembunyikan modus dan cara atau bukti-bukti sehingga penyidikan memerlukan waktu atau cara, teknik mendapatkan, mengumpulkan alat bukti yang dijadikan dasar nanti penuntutan di persidangan,” jelasnya.
Ia menegaskan, penanganan perkara dilakukan secara profesional tanpa intervensi. “Kita juga tetap berusaha bekerja secara optimal maksimal secara profesional sehingga kita juga menangani perkara tidak berdasarkan tebang pilih atau berdasarkan pesanan, tapi benar-benar murni dari alat bukti yang terkumpul,” tegasnya.
Menurut Agus, laporan masyarakat tetap menjadi bagian penting dalam pengungkapan kasus. Namun, laporan yang masuk perlu diverifikasi agar jelas dan didukung bukti.
“Makanya setiap laporan masyarakat itu akan diklarifikasi dulu, diverifikasi. Nanti ada tim yang memverifikasi, ini laporan pengaduan masyarakat ini perlu ditindaklanjuti dengan penyelidikan kah? Kalau pelaporannya lengkap, ada beberapa itu kayak yang kemarin yang di Buleleng ada lengkap, langsung penyidikkan gitu, nggak harus ke penyelidikan,” jelasnya.
Kinerja Pencegahan Korupsi
Selain itu, pencegahan juga dilakukan lewat pendampingan hukum oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) terhadap proyek-proyek pemerintah.
“Tujuannya fungsi pendampingan dari Jaksa Pengacara Negara terhadap proyek-proyek pemerintah tentunya itu sangat berperan, signifikan, sehingga di saat didampingi penjaksa pengacara negara ini memberikan batasan-batasan oh ini yang boleh dilakukan keputusan ini yang tidak boleh dilakukan,” ujarnya.
Meski sebagian kasus bernilai kecil, ada pula perkara yang cukup besar dampaknya. “Kalau yang kemarin itu, investasi itu yang kemarin, yang Bendesa (Kasus Bendesa Adat Berawa) itu. Memang yang diterima itu tidak signifikan, tetapi kalau itu tidak diambil tindakan kan istilahnya yang dirugikan oleh investor itu kan dalam jumlah yang signifikan, yang besar,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pola korupsi sistematis seperti di dinas perizinan. “Kemarin yang dinas perizinan itu pun kalau diambil cuma satu, satu orang atau satu tempat memang tidak signifikan tetapi kan ini dibikin sistematis gitu kan setiap developer atau perumahan itu untuk dapat izin persekian, dikalikan sekian kan signifikan juga, kalau berbicara dunia investasi kan itu tidak baik juga untuk masyarakat,” pungkasnya.
Ancaman Jaksa Agung
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin menekankan bahwa bidang pidsus menjadi ukuran utama kinerja kejaksaan. Ia meminta kepada para kejati dan kejari untuk meningkatkan penanganan perkara pidsus, terutama korupsi hingga di atas tiga kasus.
“Kajari yang tidak punya perkara atau perkaranya kurang dari tiga, saya akan geser. Jujur saja, saya akan keras, karena persaingan kita semakin betul-betul meruncing,” cetusnya.
Menurutnya, Indonesia memiliki lebih dari 1.300 jaksa berpangkat 4A yang siap bersaing mengisi jabatan strategis. Karena itu, setiap kelengahan akan membuka peluang bagi jaksa lain yang lebih berprestasi.