Hudoq Pekayang, Napas Leluhur dari Tanah Mahakam

5 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta Di tengah embusan angin hutan Kalimantan yang membawa aroma tanah basah dan daun segar, Kampung Liu Mulang di Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur berubah menjadi panggung hidup budaya Dayak Bahau.

Pada Selasa, 21 Oktober 2025, ritual sakral Hudoq Pekayang dimulai, sebuah pagelaran budaya yang bukan sekadar parade adat, melainkan napas kolektif masyarakat Mahakam Ulu untuk merayakan panen syukur, dan ikatan leluhur dengan alam.

Di sebuah lapangan terbuka yang menjadi saksi bisu generasi, ratusan warga berkumpul, menyaksikan tarian hudoq, penari bertopeng kayu yang melambangkan roh penjaga tanah, berkecamuk dalam irama gendang dan gong. Bukan hanya hiburan, ini adalah doa hidup yaitu agar tanah subur, sungai deras, dan hati manusia tetap teguh seperti akar beringin.

Hudoq Pekayang adalah ritual sakral masyarakat Dayak Bahau di Mahakam Ulu yang berfokus pada siklus tanam padi gunung. Ritual ini dimulai setelah upacara Menugal atau penanaman padi selesai, biasanya antara September hingga November.

Dalam upacara tersebut, para pawang memimpin pembacaan mantra untuk memanggil roh leluhur dan dewa, yang kemudian menjelma melalui penari Hudoq. Para penari mengenakan topeng kayu yang unik dan kostum dari daun pisang untuk melambangkan kesuburan dan menyembunyikan kemuliaan roh.

Mereka menari diiringi tabuhan gong dan gendang dengan gerakan yang memiliki makna simbolis, seperti mengusir hama dan memohon berkah. Ritual ini bertujuan untuk meminta perlindungan dan hasil panen yang melimpah dari roh leluhur dan alam.

Setelah ritual berakhir, diadakan syukuran sebagai ucapan terima kasih atas berkat yang diberikan. Ritual Hudoq Pekayang menjadi cara bagi masyarakat Dayak untuk menjaga harmoni dengan alam dan leluhur mereka.

Pagelaran ini, yang berlangsung selama tiga hari penuh, menghidupkan kembali tradisi yang telah pudar di banyak sudut Kalimantan. Seni pahat kayu, kerajinan manik, dan ragam ritual, menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan.

Di tengah hiruk-pikuknya, Bupati Mahakam Ulu Angela Idang Belawan dan Wakil Bupati Suhuk, hadir bukan sebagai tamu kehormatan semata, melainkan sebagai bagian dari keluarga adat. Kehadiran mereka menambah lapisan makna yakni pemimpin baru yang datang untuk mendengar, bukan hanya memerintah.

"Ini adalah momen di mana budaya bukan lagi kenangan, tapi denyut nadi pembangunan kita," kata Angela dalam sambutannya.

Puncak emosional datang saat prosesi pemberian nama kehormatan dari Lembaga Adat Kampung Liu Mulang dalam ritual Amin Lalii Umaq Lekwai. Di hadapan para tetua berbalut pakaian adat, Bupati Angela dianugerahi "Livang Urip Jayaa", yang berarti "Merindukan Kehidupan yang Sejahtera".

Nama ini, seperti bisikan angin dari zaman leluhur, mencerminkan kerinduan warga Mahulu akan masa di mana sungai Mahakam bukan hanya urat nadi ekonomi, tapi juga sumber kedamaian.

Sementara itu, Wakil Bupati Suhuk menerima "Tegelung Ubung Do", atau "Pilar Penyangga Kehidupan yang Tegak Lurus seperti Matahari yang Tak Pernah Padam".

Perwakilan Lembaga Adat, Livenius Ling, menjelaskan lebih dalam. Arti dari Livang itu adalah merindukan sesuatu yang sudah lalu. Sementara Urip adalah kehidupan, Jayaa adalah kemakmuran, kedamaian, ketentraman. Dan Tegelung Ubung Do bermakna matahari yang menjadi simbol kehidupan yang besar, menyala, memberi semangat. Ia menekankan, nama-nama ini sakral, tak boleh disandang sembarangan.

"Diberikan karena Ibu Bupati dan Bapak Wabup layak. supaya kita hidup damai dan sejahtera serta jaya,” ujarnya.

Penjelasan Livenius seolah menyulam benang makna dari akar tradisi. Kedua nama itu memang nama besar dan sangat sakral.

“Sehingga dibuat nama itu karena beliau berdoa memegang kita sekarang di Mahakam Ulu ini. Biar kita sesuai dengan nama mereka, kita hidup damai, tenteram, mendadak jaya,” paparnya.

Kamis, 23 Oktober 2025, rombongan Angela melangkah ke Kecamatan Long Apari, wilayah terpencil di ujung Mahakam yang berbatasan dengan hutan belantara Kalimantan dan Malaysia.

Kunjungan perdana ini disambut hangat oleh masyarakat Kampung Tiong Bu’u melalui ritual adat penuh makna, menegaskan ikatan erat antara pemerintah dan budaya lokal.

Setibanya di dermaga Tiong Bu’u, rombongan disambut dengan ritual Purli Beruon, dipimpin Lembaga Adat Noha Buan dan Long Kerioq. Ritual ini, simbol doa keselamatan, menjadi pembuka penyambutan yang sarat nilai budaya.

Tarian Tunggal Putra dari Kampung Noha Buan mengiringi langkah rombongan, diikuti prosesi Seruang, simbol kehormatan, menuju Lamin Adat. Puncaknya, prosesi pemasangan Usut (gelang manik) oleh Lembaga Adat Long Kerioq dan Tiong Bu’u, menandakan penerimaan resmi dan restu masyarakat adat.

Makna ritual tersebut adalah segala kebaikan, tanpa pahit bagi pemberi dan penerima, semuanya aman, damai, dan sejahtera. Sebagai wujud persaudaraan, Camat Long Apari menyerahkan cinderamata berupa topi, kalung manik, dan pasuk, simbol perlindungan dan ikatan keluarga.

“Topi untuk perlindungan, kalung tanda kita sudah bersaudara, dan gelang menunjukkan tamu telah menjadi bagian dari warga kampung,” kata anggota Dewan Adat Mahakam Ulu, Livenius Ling.

Di Lamin Adat, ritual Kesik Uwat Dawan, pemasangan gelang berpasangan disertai persembahan makanan, mengukuhkan ikatan keluarga antara pemimpin dan masyarakat.

“Ini tanda kita satu keluarga. Mereka yang memimpin kita di sini,” ujar Livenius, menegaskan kedalaman makna budaya dalam setiap prosesi.

Angela menyapa warga dan membeberkan program 100 hari kerja, termasuk Gerakan Pangan Murah dan Bakti Sosial Kesehatan Gratis yang langsung diluncurkan di Long Apari.

“Kami ingin meringankan beban pangan yang mahal di sini. Program ini akan terus berjalan, termasuk pelayanan kesehatan gratis, agar pemerintah hadir langsung di tengah warga,” tegasnya.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |