Jelang Hasil Negosiasi Dagang AS, Saham-Saham Ini Bisa Diperhatikan pada Juli 2025

7 hours ago 6

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah data ekonomi akan mewarnai perdagangan 7-11 Juli 2025 pekan ini. Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) Imam Gunadi menjelaskan, dari global ada China Consumer Price Index. Tingkat inflasi China merupakan salah satu komponen penting untuk melihat bagaimana prospek ekonomi Indonesia kedepan, karena China merupakan partner dagang no 1 Indonesia.

"Dengan meredanya ketegangan antara AS dan China hal ini berpotensi akan meningkatkan daya beli di China yang pada akhirnya akan membuat inflasi keluar dari zona deflasi," kata Imam dalam keterangan resmi, Senin (7/7/2025).

Sementara itu dari domestik ada tiga sentimen yang wajib dicermati yakni: Pertama, Indonesia Consumer Confidence.Sentimen konsumen merupakan leading indicator bagi arah belanja rumah tangga, komponen terbesar dalam struktur PDB Indonesia. Proyeksi mengindikasikan indeks bertahan di level optimisnya tepatnya pada 123.

Kedua, Indonesia Retail Sales. Data ini juga akan merupakan data yang sangat penting khususnya bagi industri ritel. Kenaikan retail sales berarti masyarakat lebih percaya diri untuk membelanjakan uang (biasanya karena pendapatan meningkat atau inflasi terkendali).

"Sebaliknya, penurunan menunjukkan pelemahan daya beli. Bank Indonesia dan pemerintah juga memantau data ini untuk menilai apakah stimulus atau pengetatan kebijakan diperlukan,” ulas Imam.

Ketiga, Indonesia Car Sales & Motorbike Sales. Data penjualan mobil dan sepeda motor di Indonesia merupakan indikator penting dalam membaca kekuatan konsumsi masyarakat, khususnya kelas menengah.

Tidak seperti barang konsumsi harian, pembelian kendaraan bermotor adalah keputusan ekonomi jangka panjang yang mencerminkan keyakinan terhadap pendapatan masa depan dan kondisi keuangan saat ini.

Peluang Menarik dan Rekomendasi IPOT

Meskipun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terkoreksi dan kondisi global masih dibayangi ketidakpastian, terdapat sejumlah peluang menarik yang patut dicermati para investor. Berikut rekomendasi IPOT:

1. Buy INCO (Entry: 3560, Target: 3750, SL <3470).

Permintaan nikel diperkirakan terus meningkat seiring akselerasi produksi kendaraan listrik (EV) global, di mana nikel merupakan bahan utama dalam baterai lithium-ion.

Dari sisi industri, Indonesia memegang posisi strategis sebagai produsen nikel terbesar di dunia, dan INCO merupakan salah satu pemain utama yang memiliki cadangan besar serta rekam jejak produksi yang solid.

Ada dukungan kebijakan pemerintah untuk hilirisasi nikel dan peningkatan nilai tambah mineral juga menjadi katalis positif bagi kinerja jangka panjang INCO.

2. Buy on breakout TOBA (Entry: 825, Target: 875, SL <800).

Di tengah tren global dekarbonisasi dan transisi energi, emiten dengan strategi diversifikasi ke energi hijau mendapat sentimen positif, terutama di tengah volatilitas harga batu bara.

3. Buy on breakout WIFI (Entry: 2020, Target 2120: SL <1965).

WIFI berada di tengah tren digitalisasi nasional yang terus berkembang pesat, terutama dengan meningkatnya penetrasi internet di wilayah luar Jawa. Pemerintah melalui berbagai program seperti pembangunan BTS 4G dan jaringan fiber optik nasional membuka peluang besar bagi perusahaan infrastruktur digital seperti WIFI.

Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.

Sentimen IHSG

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan bergerak bervariasi cenderung menguat pada pekan ini dengan support 6815 dan resistance 6970 di tengah penantian rilis hasil negosiasi AS dengan negara mitra dagang di tanggal 9 Juli nanti yang kemungkinan akan memberikan hasil positif.  

Imam menegaskan, IHSG diprediksi menguat setelah satu pekan terakhir mengalami koreksi sebesar -0,47% dengan outflow sebesar Rp2 triliun. Menurut dia, saat ini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada optimisme dari potensi meredanya perang dagang. Di sisi lain, ada risiko dari kebijakan utang dan suku bunga AS.  

"Bagi investor yang cermat, kondisi seperti inilah yang justru melahirkan peluang terbaik, terutama jika fokus pada sektor yang memiliki fundamental kuat dan katalis positif jangka panjang,” kata Imam.  

Penurunan kinerja IHSG dipengaruhi oleh sentimen global dan juga domestik, seperti data PMI Manufaktur dari Tiongkok, AS dan Indonesia. Tiongkok NBS Manufacturing PMI tercatat membaik dari bulan sebelumnya di level 47,5 ke level 49,7 di Juni 2025. Variabel yang membuat PMI Manufaktur Tiongkok membaik adalah naiknya “new order” ke 50,2 dari level kontraksinya di level 49,8.  

Selain itu, output juga naik ke 51 dari dibanding bulan sebelumnya 50,7 poin. Aktivitas pembelian naik untuk pertama kalinya dari bulan Maret bahkan kembali ke level ekspansif-nya. Variable lainnya, mayoritas masih berada di area kontraksi. Meski begitu dapat dilihat bahwa ada perbaikan aktivitas manufaktur setelah diadakannya pertemuan di London.  

Sentimen IHSG Lainnya

Imam menambahkan, aktivitas manufaktur AS yang dicerminkan pada data ISM Manufacturing PMI juga mengalami perbaikan di beberapa komponen atau variabel, misalnya produksi naik signifikan ke 50,3 dari 45,4 di Mei, inventory membaik 46,7 ke 49,2.

Kedua variable ini menggambarkan bahwa ada kemungkinan aktivitas import dari Tiongkok mulai membaik setelah negosiasi di London. Meski begitu, komponen lain misalnya dari demand atau new orders semakin terkontraksi ke level 46,4.  

"Di tengah aktivitas manufaktur membaik baik dari AS maupun Tiongkok, PMI Manufaktur Indonesia justru turun ke 46,9 dari 47,4 di Mei. Permintaan baru turun tajam, terutama dari pasar domestik, menyebabkan penurunan output, pembelian bahan baku, dan ketenagakerjaan, dengan penurunan tenaga kerja terdalam dalam hampir empat tahun."  

Turunnya aktivitas manufaktur di Indonesia tentunya tidak terlepas dari kondisi ekonomi global yang masih dibayangi oleh ketidakpastian khususnya terkait kebijakan tarif Trump.

"Para eksekutif juga kemungkinan masih menunggu hasil negosiasi di tanggal 9 Juli nanti sebelum bertindak apakah harus ekspansif atau harus defensif,” ujar Imam.

Melihat data lainnya, dalam hal ini inflasi, terlihat bahwa adanya perbaikan daya beli, inflasi naik ke level 1,87% (yoy) dari Mei 2025 yang berada di angka 1,6%, serta berada di atas konsensus 1,83%.

"Naiknya inflasi ini dipengaruhi oleh kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya dengan andil inflasi 0,59%. Komoditas penyumbang utama inflasi pada kelompok ini adalah emas perhiasan,” jelas dia.

Dampak Kebijakan

Pada pekan lalu juga Senat AS baru saja mengesahkan RUU rancangan terkait dengan pajak dan belanja yang diusulkan oleh Donald Trump. Objective pada RUU ini adalah efisiensi pada program bantuan sosial, perpanjangan pemotongan pajak, peningkatan belanja militer dan imigrasi, serta menambah utang nasional sebesar USD 3,3 triliun atau sekitar Rp53.000 triliun.

Apa dampak dari kebijakan ini?

Tambahan utang nasional sebesar USD 3,3 triliun akan meningkatkan penerbitan surat utang AS (US Treasury). Ini bisa mendorong yield US Treasury naik, karena investor meminta imbal hasil lebih tinggi untuk membiayai defisit besar. Terdapat potensi investor asing cenderung tarik dana dari pasar negara berkembang (outflow).

Masih dari AS, beberapa data tenaga kerja AS tetap solid, seperti data Unemployment Rate yang turun ke 4.1% di Juni 2025, lebih rendah dari Mei yang ada di 4,2%. NPF juga naik 147 ribu pada Juni 2025, lebih tinggi dari bulan sebelumnya di 144 ribu serta lebih tinggi dari konsensus 110ribu. Dengan solidnya data tenaga kerja AS, hal ini membuat probability pemangkasan suku bunga di bulan Juli 2025 turun tajam ke 4,7%, padahal di akhir Juni lalu masih berada di level 18,6%.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |