Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan tidak pernah memberikan persetujuan kegiatan operasional PT Investindo Public Optima termasuk izin penggunaan logo OJK dalam pamflet atau bentuk komunikasi lain yang diterbitkan oleh perusahaan ini terkait penawaran jasa persiapan, konsultasi, atau layanan lainnya kepada perusahaan yang hendak melakukan Penawaran Umum Perdana Saham (Initial Public Offering/IPO).
Plt. Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi menuturkan, penggunaan nama dan/atau logo OJK oleh PT Investindo Public Optima dalam pamflet, iklan, atau media komunikasi lainnya tanpa izin merupakan tindakan yang tidak sah dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"OJK mengingatkan bahwa pihak yang melakukan pelanggaran tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” ujar dia seperti dikutip dari keterangan resmi, Sabtu (5/7/2025).
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, OJK memiliki kewenangan dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan, pihak, dan produk yang dilakukan di pasar modal demi menjaga keteraturan, transparansi, dan perlindungan konsumen serta masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, OJK mengimbau masyarakat, pelaku usaha, dan calon emiten untuk berhati-hati serta tidak menanggapi penawaran jasa dari pihak-pihak yang tidak terdaftar atau tidak memiliki izin dari OJK.
OJK Bakal Tempuh Langkah Hukum
"Pastikan hanya menggunakan jasa dari lembaga dan/atau profesi penunjang pasar modal yang telah memperoleh izin usaha dan terdaftar di OJK, yang informasinya dapat diakses melalui situs resmi OJK di www.ojk.go.id,” kata dia.
Ismail juga mengingatkan, apabila masyarakat menemukan informasi atau penawaran yang mencurigakan, diharapkan segera melaporkannya melalui kanal resmi pengaduan OJK atau kepada aparat penegak hukum.
OJK akan menempuh langkah hukum yang tegas untuk menjaga integritas pasar modal dan melindungi kepentingan publik dari praktik menyesatkan.
OJK juga menegaskan tidak ada pengenaan tarif atau pungutan dalam proses perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan penelaahan atas rencana aksi korporasi, selain yang telah diatur secara resmi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2024 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Otoritas Jasa Keuangan dan Pungutan di Sektor Jasa Keuangan.
OJK Jatuhkan Sanksi 218 Pelaku Usaha Pasar Modal Sepanjang 2025
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan, Derivatif, dan Bursa Karbon (KE PMDK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Inarno Djajadi, menyampaikan bahwa OJK terus memperkuat pengawasan dan penegakan hukum di sektor Pasar Modal, Derivatif Keuangan, dan Bursa Karbon.
Sepanjang bulan Mei 2025, OJK telah menjatuhkan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 kepada satu Akuntan Publik. Selain itu, satu Manajer Investasi juga dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis atas pelanggaran ketentuan yang berlaku.
"Pada bulan Mei 2025, OJK telah mengenakan Sanksi Administratif berupa Denda kepada 1 Akuntan Publik sebesar Rp50.000.000,00 serta Sanksi Administratif berupa Peringatan Tertulis kepada 1 Manajer Investasi atas pelanggaran ketentuan di Bidang Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon," kata Inarno dalam konferensi pers RDKB OJK, ditulis Selasa (3/6/2025).
Sanksi Administratif
Secara kumulatif hingga tahun 2025, OJK telah menjatuhkan sanksi administratif atas hasil pemeriksaan di sektor Pasar Modal kepada 13 pihak.
Rinciannya antara lain, denda sebesar Rp6,85 miliar kepada 6 pihak, pencabutan izin perseorangan kepada 1 pihak, pencabutan izin usaha kepada 2 perusahaan efek, dan peringatan tertulis kepada 8 pihak.
Selain itu, OJK juga menjatuhkan sanksi administratif atas keterlambatan pelaporan kepada 218 pelaku usaha jasa keuangan di pasar modal, dengan total nilai denda mencapai Rp15,87 miliar.
Terdapat pula 62 peringatan tertulis atas keterlambatan penyampaian laporan. Tak hanya itu, OJK menjatuhkan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100 juta dan 25 peringatan tertulis atas pelanggaran lain yang tidak terkait dengan keterlambatan atau non-kasus.