Geger Komisioner Bawaslu Wajo Diduga Lecehkan Staf 5 Kali Sejak 2023, Ini Kata Polisi

2 months ago 50

Liputan6.com, Jakarta Kepolisian Resor (Polres) Wajo tengah menyelidiki kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan seorang komisioner Bawaslu Kabupaten Wajo berinisial HR terhadap stafnya, seorang perempuan berinisial SH (36). Ironisnya, aksi tersebut dilakukan pelaku secara berulang kali.

"Iya, masih dalam tahap penyelidikan," kata Kasat Reskrim Polres Wajo, Iptu Fahrul kepada Liputan6.com, Kamis (31/7/2025).

Informasi yang diterima Liputan6.com, dugaan tindak pidana kekerasan seksual ini terjadi sebanyak lima kali. Dua kali di hotel yang berada di Wajo, dua kali di hotel yang berada di Makassar, dan satu kali di Kantor Bawaslu Wajo.

Alasan Polisi Belum Olah TKP di Kantor Bawaslu Wajo

Kejadian ini telah dilaporkan SH sejak Juni 2025 lalu. Selain memeriksa SH sebagai pelapor, Fahrul mengaku saat ini pihaknya juga telah memeriksa FR sebagai terlapor.

"Kita sekarang juga tengah menunggu hasil dari saksi ahli untuk memastikan unsur pidananya," sebutnya.

Fahrul mengatakan, pihaknya telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di beberapa lokasi, khususnya di hotel tempat dugaan pelecehan pertama terjadi. Namun, hingga saat ini, olah TKP di kantor Bawaslu Wajo belum dilakukan.

"Masih menunggu waktu untuk olah TKP di kantor Bawaslu. Kami tetap obyektif, ingin menyusun kronologi kejadian secara utuh dan menyeluruh," akunya.

Jadi Korban Pelecehan Seksual Sejak 2023

Dalam keterangannya, SH mengaku mengalami pelecehan seksual oleh HR sebanyak lima kali dalam kurun waktu 2023 hingga awal 2025. Pelecehan tersebut, terjadi di lima lokasi berbeda. Dua kali di sebuah hotel di Kabupaten Wajo, satu kali di ruang kerja HR di kantor Bawaslu Wajo, dan dua kali lagi di hotel lain di Makassar.

"Total ada lima kali kejadian. Dua kali di hotel di Wajo, sekali di ruang kerja HR di kantor Bawaslu, dan dua kali di hotel di Makassar," beber SH dalam keterangan yang diterima Liputan6.com terpisah.

Akibat kejadian itu, SH mengaku tak sanggup lagi menjalani aktivitas kerja seperti biasa. Ia memilih berhenti masuk kantor sejak kejadian berlangsung karena merasa terguncang secara psikologis.

“Saya tidak pernah lagi masuk kantor sejak kejadian itu. Saya sangat trauma,” ungkapnya.

SH juga mengaku heran mengapa polisi belum menyusuri seluruh lokasi kejadian, khususnya kantor Bawaslu yang menurutnya merupakan TKP ketiga. Ia menilai, proses olah TKP yang belum lengkap bisa memengaruhi hasil penyelidikan.

"Sudah dua TKP di hotel dilakukan olah TKP, tapi kenapa kantor Bawaslu belum? Padahal itu tempat ketiga yang saya laporkan," ujarnya.

Korban Mengaku Tertekan

Dalam perjalanannya sebagai pelapor, SH mengungkap bahwa ia merasa seperti ditekan secara psikologis oleh petugas saat menjalani pemeriksaan lanjutan. Ia merasa beberapa pertanyaan dari penyidik justru menyudutkan dirinya sebagai korban.

"Beberapa kali saya ditanya tentang ancaman. Padahal saya tidak pernah menyebut ada ancaman. Yang saya rasakan adalah tekanan mental akibat perbuatannya (HR), bukan karena ancaman verbal atau tertulis," katanya.

Ia juga menyebut, dalam salah satu pemeriksaan, penyidik menyebut kesaksiannya lemah karena tidak memiliki visum fisik akibat kejadian yang sudah lama berlalu. Namun demikian, visum psikiatri sempat dibahas, dan SH mengaku telah menyerahkan bukti percakapan (chat) dirinya dengan pelaku yang dilakukan setelah ia melapor.

"Saya juga heran, polisi bilang bukti dan saksi saya lemah. Tapi saya sudah serahkan chat saya dengan pelaku. Saya merasa seperti dipatahkan semangatnya," tuturnya.

Korban Tak akan Berdamai

SH mengaku sempat ditanya oleh penyidik apakah dirinya memiliki perasaan terhadap pelaku. Pertanyaan itu, menurutnya, sangat menyakitkan dan mengesankan bahwa perbuatan pelaku bisa dianggap atas dasar suka sama suka.

"Saya jawab langsung, kalau saya suka sama dia, untuk apa saya melapor? Saya hanya ingin keadilan," tegasnya.

SH menegaskan tidak akan menempuh jalan damai. Ia berharap proses hukum tetap berlanjut agar pelaku mendapat efek jera dan menjadi pelajaran bagi pejabat publik lainnya.

"Saya ingin keadilan. Bukan perdamaian. Ini bukan masalah pribadi, ini soal martabat saya sebagai perempuan dan staf," ucapnya dengan tegas.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |