Geger Beras Oplosan, di Cirebon Pengusaha Penggilingan Padi Malah Menjerit

2 months ago 43

Liputan6.com, Cirebon Kepolisian Republik Indonesia (Polri) membongkar praktik beras premium oplosan yang dijual kepada masyarakat. Hal ini semakin menambah daftar panjang persoalan di sekor pangan. Di Kabupaten Cirebon, perusahaan penggilingan padi mengeluh lantaran pasokan gabah di tingkat lokal semakin langka. Bahkan, mereka menilai kualitas gabah yang ada di tingkat lokal menurun. Kondisi tersebut membuat biaya produksi membengkak bahkan membuat sebagian usaha penggilingan memilih berhenti beroperasi.

Seperti dirasakan salah satu pengusaha penggilingan padi Desa Gegesik Kidul Kecamatan Gegesik Kabupaten Cirebon Arjo. Ia mengaku kerap membeli gabah dari luar Cirebon

Di tengah kesibukannya membongkar muatan habah basah yang baru dipesan dari Purwodadi dan Demak Jawa Tengah, ia mengaku mengambil gabah dari luar Cirebon menjadi solusi.

"Kami anggap solusi di tengah sulitnya memperoleh bahan baku berkualitas dari wilayah sendiri," kata Arjo, Jumat (25/7/2025).

Menurutnya, gabah dari wilayah Cirebon belakangan ini sedang sulit didapat. Jika ada, kualitas gabah yang diperoleh dinilai sangat buruk.

Sehingga, katanya, tidak sesuai dengan kebutuhan pasar dan harga jual gabah kering berpotensi naik drastis.

"Kalau dari Cirebon itu gabahnya jenis IR 32 atau kebo borang itu kurang enak nasinya, jadi pasaran juga kurang bagus, kita nyari padi yang IR biar enak dimakannya, terus kualitasnya juga bagus," ucapnya.

Harga Melonjak

Ia mengungkapkan bahwa dalam dua bulan terakhir, harga gabah terus melonjak. Gabah basah kini bisa dibeli hingga Rp 7.750 per kilogram, belum termasuk ongkos angkut yang mencapai Rp 2,2 juta per muatan.

"Biasanya harga gabah basah itu Rp 5.600 sampai Rp 6.000 per kilo, sekarang bisa sampai Rp 8.000-an kalau sama ongkosnya. Ya pasti ngeluh dengan kondisi kaya gini," keluh dia.

Arjo juga menyoroti ketatnya persaingan di lapangan, yang membuat penggilingan kecil seperti miliknya makin sulit bersaing.

"Barang juga sekarang susah, berebut. Berebutnya dengan siapa kita enggak tahu, mungkin sama perusahaan besar. Yang jelas kami di lapangan kesulitan barang," katanya.

Dalam sehari, penggilingan miliknya bisa memproduksi 10 ton beras, namun kenaikan biaya bahan baku menekan margin keuntungan.

Dia juga membantah adanya praktik pengoplosan beras yang kerap dikaitkan dengan penggilingan.

"Kalau soal beras oplosan, kami tidak pernah dan tidak akan lakukan itu. Isu-isu begitu malah merugikan penggilingan, Imbasnya kita dituding macam-macam, padahal kita apa adanya," ujarnya.

Sementara itu, berbeda dengan Arjo yang memilih bertahan dengan mendatangkan gabah dari luar daerah, penggilingan lainnya di Desa Gegesik Lor justru memilih menghentikan produksi karena tidak sanggup bersaing dalam membeli gabah dengan harga tinggi.

Pemilik penggilingan, Surnita Sandi Wiranata menyampaikan, bahwa pabriknya sudah tidak beroperasi selama hampir tiga minggu terakhir.

"Ya, saat ini memang penggilingan tidak jalan, karena memang kita kekurangan bahan baku, terutama gabah," ucap Sandi.

Ia menjelaskan, kelangkaan gabah disebabkan oleh gagal panen di wilayah Gegesik akibat serangan hama seperti beluk dan tikus.

"Panennya tidak menghasilkan gabah, itu yang jadi bahan baku kita, Sekarang kita enggak dapat barang sama sekali". kata Sandi 

Tak hanya soal pasokan, persaingan harga di lapangan pun disebut semakin ketat, Banyak pembeli besar yang mengincar gabah tanpa memperhatikan kualitas, membuat harga melonjak hingga Rp 6.500 per kilogram.

"Kalau kita ikut beli dengan harga segitu, kita rugi. Karena pas beras jadi, harga jualnya tidak menutup biaya produksi mending kami stop dulu daripada memaksakan produksi tapi merugi,"tandasnya.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |