Dinkes Gunungkidul Ungkap Penyebab 695 Siswa Keracunan MBG: Makanan Masih Panas Langsung Ditutup

11 hours ago 6

Liputan6.com, Jakarta Kepala Dinas Kesehatan Gunungkidul, Ismono menjelaskan, fenomena keracunan makanan seperti yang menimpa 695 Siswa di Saptosari dipicu beberapa hal. Menurut hasil kajian dan literatur yang disampaikan, terdapat beberapa bakteri penyebab utama keracunan makanan. 

Dia menyebut beberapa Jenis bakteri seperti Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, dan Clostridium perfringens. Ketiga bakteri ini memiliki masa inkubasi yang berbeda-beda, rata-rata antara 2 hingga 12 jam setelah makanan dikonsumsi. Bakteri ini bereaksi setelah 12 jam. 

“Artinya, meskipun makanan terlihat aman dan baru saja disiapkan, proses kontaminasi bisa saja sudah terjadi. Kasus di Saptosari misalnya, makanan dikonsumsi pukul 9 pagi, dan gejala baru muncul dini hari,” papar Ismono.

Salah satu penyebab umum kontaminasi adalah makanan panas yang langsung ditutup plastik. Sehingga menimbulkan uap lembab yang memicu tumbuhnya jamur dan bakteri. Kondisi inilah yang sering menjadi penyebab muntah dan diare pada anak-anak. Selain faktor makanan, Ismono juga menyoroti sistem sanitasi dan air bersih di dapur SPPG. 

Dinas Kesehatan juga telah melakukan pelatihan khusus bagi para penjamah makanan di seluruh dapur sehat. Pelatihan tersebut bertujuan meningkatkan kesadaran higienitas dan penerapan prinsip keamanan pangan. 

“Kami ingin memastikan seluruh petugas dapur memahami cara penanganan bahan pangan yang aman, mulai dari penyimpanan, pengolahan, hingga distribusi. Targetnya, makanan tidak boleh berada di perjalanan lebih dari empat jam agar tetap aman dikonsumsi,” tegasnya.

Pengujuan Sampel Makanan yang Diduga Beracun

Dalam setiap kejadian keracunan makanan, Dinkes langsung mengaktifkan Tim Gerak Cepat (TGC) untuk melakukan verifikasi lapangan. Tim tersebut bertugas mengumpulkan sampel makanan, air, muntahan, hingga feses pasien untuk kemudian dikirim ke laboratorium. 

“Kami memastikan proses penanganan dilakukan berjenjang. TGC akan memeriksa kondisi di lokasi, mengambil sampel, dan mengamankan bukti untuk diperiksa di laboratorium. Hasilnya nanti menjadi dasar untuk evaluasi dan pelaporan resmi,” jelasnya.

Dia juga memaparkan secara rinci langkah-langkah penanganan kasus keracunan massal program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menimpa ratusan siswa di Saptosari, serta upaya memperkuat sistem sanitasi dan keamanan pangan di seluruh dapur sehat (SPPG) di wilayah tersebut.

Dalam forum resmi yang dihadiri Bupati Gunungkidul Endah Subekti Kuntariningsih, pimpinan DPRD, jajaran Forkopimda, dan para pelaku Stakeholder Makan Bergizi Gratis, Ismono menjelaskan bahwa peristiwa di Saptosari menjadi pelajaran penting untuk memperketat pengawasan dan meningkatkan kesiapan sistem kesehatan masyarakat.

“Berdasarkan hasil Zoom meeting dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan, setiap SPPG wajib memiliki sertifikat laik sanitasi serta dilakukan monitoring secara berkala terhadap aspek kebersihan dan keamanan pangan,” ujar Ismono.

Hasil Evaluasi SPPG

Dari hasil evaluasi Dinas Kesehatan, hingga akhir Oktober terdapat 29 dapur sehat (SPPG) yang dinyatakan siap operasional dengan nilai inspeksi di atas 30 persen, memenuhi standar air minum, dan memiliki sertifikat pelatihan. Namun, sebagian lainnya masih perlu pembenahan, terutama pada aspek pengelolaan limbah, penataan dapur, dan suplai air bersih.

Ismono juga mengungkapkan beberapa kendala teknis di lapangan, seperti masih adanya air minum yang belum memenuhi syarat baku mutu, sistem pembuangan limbah yang kurang tertata, hingga tata letak dapur yang berpotensi menyebabkan kontaminasi silang.

Pemeriksaan kualitas air minum membutuhkan waktu antara tiga hingga tujuh hari karena proses uji bakteri E. coli harus dilakukan dengan penanaman bakteri di laboratorium. Untuk pemeriksaan makanan, bahkan dibutuhkan waktu hingga sepuluh hari karena harus dikirim ke Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) DIY.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |