Liputan6.com, Jakarta - Aktivitas merger dan akuisisi secara global melonjak pada kuartal ketiga 2025. Hal itu didorong sejumlah sentimen termasuk Donald Trump yang kembali menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) sehingga pasar berharap deregulasi peraturan dan ramah pajak.
Namun, kekhawatiran resesi, kondisi geopolitik hingga tarif turut membayangi aktivitas merger dan akusisi.Saat ini aktivitas merger dan akuisisi yang dilakukan oleh Perseroan mengabaikan kekhawatiran tersebut. Hal ini didorong harapan penurunan suku bunga dan peningkatan pendanaan yang “kering” dari private equity. Demikian mengutip dari CNBC, Rabu (8/10/2025).
Berdasarkan data platform Dealogic, aktivitas merger dan akuisisi mencapai USD 1,29 triliun atau Rp 21.380 triliun (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 16.573) hingga kuartal ketiga. Aktivitas merger dan akuisisi ini naik dibandingkan kuartal kedua sebesar USD 1,06 triliun dan kuartal pertama sebesar USD 1,1 triliun.
Pada enam bulan pertama terlihat lebih sedikit dengan kesepakatan pasar menengah. Sementara itu, kuartal ketiga terlihat aktivitas transaksi yang besar.
"Setelah turbulensi pada musim semi, lonjakan kesepakatan besar dan keinginan bertumbuh dengan strategi reposisi mendorong aktivitas merger dan akuisisi pada kuartal ketiga, memberikan harapan kepada pembuat kesepakatan harapan untuk menyelesaikan pada 2025,” demikian disebutkan dalam laporan perusahaan Mergermarket.
Ada 49 Transaksi
Kesepakatan merger dan akuisisi secara global mencapai USD 3,4 triliun atau Rp 56.393 triliun. Kesepakatan merger dan akuisisi itu naik 32% year on year (YoY), dan terkuat sejak 2021, menurut Mergermarket.
Kesepakatan jumbo senilai USD 10 miliar telah berkontribusi terhadap kesepakatan merger dan akuisisi. Adapun ada 49 transaksi yang diumumkan sepanjang tahun ini, termasuk tertinggi dalam sembilan bulan.
Pada kuartal ketiga juga menunjukan momen penting bagi lanskap merger dan akusisi global yakni akuisisi Norfolk Southern senilai USD 85 miliar atau Rp 1.409 triliun oleh Union Pacific yang diumumkan pada Juli dan kesepakatan pengambilalihan saham Electronics Arts senilai USD 55 miliar atau Rp 911,38 triliun oleh Dana Investasi Publik Arab Saudi, Silver Lake dan Affinitu partners, yang termasuk akuisisi terbesar.
“Perbedaan utama saat ini adalah pemimpin telah beralih dari mode tunggu dan lihat menjadi mode tindakan,” ujar EY-Parthenon America’s Vice Chair Mitch Berlin.
“Mereka telah menerima ketidakpastian geopolitik dan perdagangan yang tinggi adalah hal yang normal, dan mereka sedang menantikan siklus pertumbuhan berikutnya,” ujar dia kepada CNBC.
Berkaca dari Seven & I, Aksi Merger dan Akusisi di Jepang Masih Sulit
Sebelumnya, akuisisi besar-besaran tampaknya masih sulit di Jepang. Hal ini setelah peritel Kanada Alimentation Couche-Tard pada Kamis, 17 Juli 2025 menarik tawaran senilai USD 46 miliar untuk membeli pemilik 7-Eleven yakni Seven & I Holdings, peritel asal Jepang. Nilai pembelian itu setara atau sekitar Rp 751,15 triliun (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 16.329).
Peritel Kanada menyatakan penarikan tawaran itu karena kurangnya keterlibatan konstruktif dari raksasa ritel Jepang itu yang dituduhnya melakukan kampanye yang disengaja untuk mengaburkan dan menunda.
Mengutip CNBC, Jumat (18/7/2025), seiring Couche-Tard menarik tawaran akuisisi, saham Seven & I turun 7,38% setelah turun lebih dari 9%, berdasarkan data dari LSEG.
Perusahaan Jepang Kini Berada di Bawah Tekanan
Seven & I menyatakan kekecewaannya atas keputusan Couche-Tard. Seven & I juga tidak setuju dengan apa yang disebutnya “banyak kesalahan penafsiran”. Akuisisi oleh pemilik toko swalayan Circle-K akan menandai pengambilalihan asing terbesar oleh perusahaan Jepang dalam sejarah dan menciptakan kekuatan ritel global.
Perusahaan-perusahaan Jepang kini berada di bawah tekanan untuk meningkatkan laba pemegang saham dan mempertimbangkan tawaran akuisisi yang kredibel berkat perombahan regulasi yang telah memicu minat investor asing dan membantu mendorong pasar Tokyo ke serangkaian rekor tertinggi.
Namun, akuisisi beberapa perusahaan terbesar dan paling konservatif di Jepang masih menjadi tantangan berat bagi perusahaan-perusahaan asing, terutama yang manajemennya didukung oleh keluarga pendiri yang berpengaruh.
"Sejak awal, Seven & I bersikap obstruktif,” ujar ahli strategi veteran Jepang CLSA Securities, Nicholas Smith.
“Seluruh kisah ini tampaknya lebih berfokus pada perlindungan gaya hidup manajemen daripada menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham, yang selama ini buruk,” kata Smith.
"Saya menganggapnya sebagai isu khusus Seven & I, alih-alih mewakilii tren umum di Jepang,” ia menambahkan.