Liputan6.com, Jakarta - Di tengah lanskap hijau nan subur di Tanah Minahasa, Sulawesi Utara, berdirilah peninggalan megah masa lalu yang diam-diam menyimpan kisah panjang peradaban nenek moyang yakni Waruga.
Monumen batu ini bukan sekadar kuburan tua yang terabaikan waktu, melainkan simbol kepercayaan, pengetahuan, dan penghormatan terhadap leluhur Minahasa yang telah hidup jauh sebelum kita mengenal sistem pemakaman modern.
Waruga adalah sarkofagus batu berbentuk kubus dengan penutup menyerupai atap rumah adat yang khas Minahasa. Setiap bagian dari waruga memiliki makna, mulai dari ukiran di permukaannya hingga posisi jenazah yang ditempatkan di dalamnya.
Masyarakat Minahasa percaya bahwa jasad para leluhur tidak boleh dikubur dalam posisi terlentang seperti tidur abadi, tetapi harus dilipat menyerupai posisi janin dalam rahim ibu. Konsep ini mengandung filosofi siklus kehidupan dari rahim kembali ke tanah, dari alam kembali ke asalnya.
Posisi tubuh yang menghadap utara, arah asal-usul nenek moyang orang Minahasa menurut kepercayaan mereka, juga menunjukkan penghormatan mendalam terhadap sejarah dan garis keturunan.
Waruga bukan hanya sekadar tempat pemakaman, tetapi juga artefak budaya yang mencerminkan kompleksitas spiritual dan sosial masyarakat Minahasa kuno. Di masa lalu, setiap waruga dibuat secara khusus untuk satu orang, dan pembuatannya tidak dilakukan sembarangan.
Batu-batu besar diukir dengan teknik tradisional tanpa bantuan alat modern, hanya menggunakan alat sederhana namun penuh ketelitian dan ketekunan. Beberapa waruga dihiasi dengan relief yang menggambarkan kehidupan orang yang dimakamkan pekerjaannya, status sosialnya, atau kisah hidup yang dianggap penting untuk dikenang.
Relief-relief ini menjadi semacam biografi visual yang dapat dibaca oleh generasi penerus, sekaligus menjadi catatan sejarah non-tekstual yang sangat berharga bagi peneliti arkeologi dan antropologi.
Leluhur
Selain itu, keberadaan waruga juga menunjukkan tingginya rasa hormat masyarakat Minahasa terhadap leluhur mereka. Ritual-ritual penyucian dan penghormatan masih sering dilakukan di sekitar lokasi waruga, membuktikan bahwa hubungan antara dunia yang terlihat dan yang tak kasat mata masih erat dalam kehidupan masyarakat lokal.
Namun, di balik kemegahan dan nilai budaya tinggi yang dimiliki waruga, peninggalan ini juga sempat menghadapi masa-masa penuh tantangan. Pada masa kolonial dan setelah masuknya ajaran Kristen ke Minahasa, praktik pemakaman dengan waruga dianggap bertentangan dengan ajaran agama baru.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda bahkan mengeluarkan larangan penggunaan waruga sebagai tempat penguburan pada awal abad ke-19, karena dianggap tidak higienis dan berpotensi menyebarkan penyakit.
Akibatnya, banyak waruga yang ditinggalkan, dirusak, atau dipindahkan dari lokasi aslinya. Meski begitu, semangat masyarakat Minahasa dalam melestarikan warisan leluhur mereka tidak pernah padam.
Kini, waruga-waruga yang tersisa menjadi situs sejarah yang dilindungi dan menjadi daya tarik budaya yang mengundang wisatawan, peneliti, hingga spiritualis dari berbagai penjuru dunia untuk menyaksikan langsung jejak peradaban kuno Minahasa yang tak ternilai harganya.
Keberadaan waruga yang tersebar di beberapa daerah seperti Sawangan, Airmadidi, dan Rap-Rap bukan hanya memperkaya narasi sejarah Indonesia, tetapi juga menegaskan bahwa setiap budaya lokal memiliki cara unik dan penuh makna dalam memaknai kehidupan dan kematian.
Dalam dunia yang semakin modern dan serba cepat ini, waruga hadir sebagai pengingat akan pentingnya menjaga warisan budaya dan mengenang akar sejarah yang membentuk jati diri bangsa. Karena pada akhirnya, sebagaimana jenazah dalam waruga yang kembali dalam posisi janin, manusia akan selalu kembali ke asalnya dan budaya adalah benang yang menyatukan perjalanan tersebut.
Penulis: Belvana Fasya Saad