Liputan6.com, Jakarta Di tengah ketenangan Kampung Cicohak, Desa Padaasih, Cisaat, Sukabumi, denyut kehidupan tradisi terdengar jelas melalui irama "jedag-jedug" Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).
Di balik bunyi ritmis ini, bersembunyi kisah dedikasi seorang anak bangsa, Wignyo Rahadi (54), yang memilih menenun jalan hidupnya melalui keindahan wastra Indonesia.
Sejak mendirikan Tenun Gaya pada tahun 2000, kecintaan Wignyo pada tenun tradisional telah menjadi panggilan jiwa untuk menjaga identitas bangsa.
Tempat ini juga berfungsi sebagai laboratorium kreatif, mengubah kain-kain warisan Nusantara menjadi busana modern yang kaya makna.
Baginya, Tenun Gaya lebih dari sekadar merek. Kini menjadi sebuah gerakan yang membawa benang-benang tradisi dari Cisaat, Kabupaten Sukabumi, hingga ke panggung mode dunia.
"Menjadi desainer fesyen, bagi saya, bukan hanya membuat pakaian. Ini adalah perjalanan tanpa henti untuk terus mengenal dan menghidupkan budaya," ungkap Founder dan CEO Tenun Gaya, Wignyo Rahadi, Jumat (17/10/2025).
Tenun Khas Sentuhan Tangan Wignyo
Berbeda dengan banyak perancang busana yang sekadar membeli kain jadi, Wignyo memilih jalur yang lebih otentik dan rumit. Ia terlibat penuh dalam segala proses, mulai dari pewarnaan benang, penentuan motif, hingga menenunnya menjadi lembaran kain utuh.
Baginya, setiap helai kain memuat cerita, filosofi, dan kearifan lokal yang harus diperkuat melalui busana.
"Saya ingin busana Tenun Gaya tidak hanya indah secara visual, tetapi juga mampu bercerita dan kaya makna," imbuhnya.
Konsistensi inilah yang membuat karyanya memiliki identitas budaya yang sangat kuat
Suka Duka Bisnis Tenun
Perjalanan 25 tahun Tenun Gaya tak selalu mulus. Badai pandemi sempat mengharuskan pengurangan karyawan dari 250 menjadi 150 orang.
Namun, semangat berkarya tak pernah padam. Produksi di workshop Cisaat tidak berorientasi pada kuantitas pabrik tekstil. Bahkan, ada kain yang hanya bertambah 5-6 sentimeter dalam sehari. "Nilai seni dan kualitas jauh lebih utama daripada kuantitas," tegas Wignyo.
Kini, karya Tenun Gaya telah melintasi batas, dikenal di pasar utama Jakarta, hingga ke Tokyo, Singapura, dan bahkan tampil di panggung Paris pada tahun 2024.
Walaupun membidik pasar menengah ke atas di kota-kota besar, Sukabumi tetap menjadi 'rumah' dan pusat inspirasi. Workshop di Cisaat pun kini sering menjadi tujuan studi banding dari berbagai daerah.
Langganan Presiden ke-6 RI SBY
Untuk memenuhi tingginya permintaan, termasuk dari masyarakat lokal, butik Tenun Gaya juga telah dibuka di Sukabumi.
Dedikasi Wignyo dalam melestarikan wastra membuatnya dipercaya oleh kalangan elit nasional.
Sejak 2004, ia menjadi desainer langganan bagi Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan seluruh keluarga besar, sebuah kepercayaan yang terus berlanjut hingga kini.
"Bahkan tahun ini, keluarga besar Pak SBY masih menggunakan busana rancangan saya. Selain itu, sejumlah istri menteri dan pejabat negara juga merupakan pelanggan setia," ungkapnya.
Bagi Wignyo, tenun telah menjadi misi kebudayaan, bukan sekadar bisnis. Ia bertekad agar wastra Indonesia tidak hanya lestari, tetapi juga berevolusi selaras perkembangan zaman tanpa kehilangan akar budayanya.
Dedikasi ini membuatnya sering dipercaya sebagai narasumber, dan karya-karyanya telah meraih banyak penghargaan.
"Lewat wastra, saya semakin memahami tradisi. Saya ingin identitas budaya kita terus hidup di tengah derasnya arus globalisasi," ungkapnya.