Sekilas Taman Nasional Tesso Nilo, Habitat Gajah yang Dihabisi Perambah

9 hours ago 7

Liputan6.com, Pekanbaru - Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Provinsi Riau dalam beberapa hari terakhir menyita perhatian. Apalagi setelah Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) bentukan Presiden Prabowo Subianto datang ke lokasi pada 10 Juni 2025.

Satgas yang berisi instansi dari TNI, Polri hingga Kejaksaan Agung meminta masyarakat yang bermukim di habitat gajah dan harimau serta beruang madu itu mengosongkan TNTN paling lambat akhir Agustus 2025. Masyarakat dinilai berkebun dan bermukim secara ilegal karena lokasi berada di kawasan hutan.

Selama ini, TNTN memang menjadi sasaran perambahan hutan. Kayu alam dibabat lalu diganti dengan pohon sawit, baik dilakukan perorangan, gerombolan, dimodali cukong yang rata-rata diduga tidak berasal dari Riau.

Berdasarkan data, kawasan yang luasannya mencapai 81 ribu hektare saat ditetapkan sebagai taman nasional kini tinggal 12 ribu hektare tutupan hutannya. Selebihnya menjadi perkebunan sawit, pemukiman bahkan sudah berdiri dusun dan pedesaan yang diakui pemerintah daerah setempat.

Terlepas dari itu, TNTN dulunya merupakan kawasan hutan produksi terbatas yang masuk dalam areal konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Inhutani IV. 

Data dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, ketika itu tutupan hutan alamnya dalam kondisi baik. Di dalamnya diketahui ada sekitar 360 jenis flora tergolong dalam 165 marga dan 57 satwa untuk setiap hektarenya.

TNTN juga dikenal sebagai habitat bagi beraneka ragam jenis satwa liar langka, seperti gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), berbagai jenis primata, 114 jenis burung, 50 jenis ikan, 33 jenis herpetofauna dan 644 jenis kumbang.  

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Pengukuhan TNTN

Secara kebijakan, awalnya areal yang disiapkan menjadi kawasan konservasi TNTN berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor: SK.255/Menhut II/2004 tanggal 19 Juli 2004 dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK 663/Menhut-II/2009 tanggal 15 Oktober 2009 adalah seluas ±83.068 hektare.

Selanjutnya, luas ini diperbaharui secara definitif menjadi ±81.793 hektare melalui Keputusan Menhut Nomor: Sk.6588/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Taman Nasional Tesso Nilo. 

Olah citra satelit WaIhi Riau menunjukkan kondisi areal tersebut pada 1997 dan 2004 mempunyai kerapatan hutan lebih kurang 78.274 hektare. Kondisi ini jauh berbeda dengan saat ini, dimana tutupan hutan alam di kawasan TNTN hanya menyisakan 12.561 hektare atau 15,36% hutan alam dari total luas arealnya.

Secara administrasi, TNTN berada di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu. Berdasarkan data Eyes on The Forest (EoF) dalam laporan Kondisi Usulan dan Strategi Penanganan Perambahan di Taman Nasional Tesso Nilo tahun 2010, penggunaan lahan di lokasi TNTN oleh masyarakat sejatinya telah berlangsung sejak 1999, sebelum perubahan fungsi areal ini menjadi kawasan konservasi.

Aktivitas masyarakat dipicu oleh tiadanya aktivitas PT Inhutani IV yang izinnya kemudian dicabut pada 2002. Aktivitas yang dilakukan masyarakat adalah berupa persiapan lahan perkebunan kelapa sawit dan karet.

Namun hasil dari usaha perkebunan kerap gagal karena gangguan gajah sehingga masyarakat mulai menjual lahan tersebut kepada pihak luar. Jual beli ini mulai dilakukan masyarakat sejak tahun 2005.

Hal inilah yang kemudian menjadi pintu gerbang perambahan hutan secara masif baik dari perorangan hingga cukong dalam kawasan TNTN. 

Sejumlah Desa

Berdasarkan laporan EoF yang sama, Kawasan Hutan Tesso Nilo merupakan wilayah kelola bagi 19 kelompok hak ulayat. Perlu diketahui, pada saat penetapan kawasan konservasi TNTN, telah ada 6 desa terbangun di lokasi tersebut.

Keenam desa itu yakni: Desa Air Hitam, Desa Lubuk Batu Tinggal, Desa Simpang Kota Medan, Desa Lubuk Kembang Bunga, Desa Kesuma, dan Desa Segati. Barulah pada 2007, terjadi pemekaran satu desa bernama Desa Bagan Limau.

Perambahan pasca penetapan TNTN berlanjut pada areal kerja dua izin HPH yaitu PT Siak Raya Timber (SRT) dan PT Hutani Sola Lestari yang tidak aktif dan kemudian dicabut.

Selain itu, pasca tahun 2004 juga tercatat satu aktivitas perusahaan perkebunan kelapa sawit (PT Inti Indosawit Subur) dan lima perusahaan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di area zona buffer (penyanggah) atau sekitar TNTN yang kemungkinan besar turut berkontribusi pada terjadinya perambahan.

Selain soal terbuka akses TNTN karena adanya perizinan kehutanan, hal lain yang membuat laju alih fungsi hutan alam menjadi kelapa sawit diakibatkan dua hal.

Pertama, peran penegak hukum yang tidak tegas menindak praktik ilegal ini. Bahkan masifnya alih fungsi dengan pendirian pemukiman malah diakui secara administratif oleh negara.

Kedua, rencana pemulihan TNTN dengan program revitalisasi Tesso Nilo dirusak oleh ketentuan UU Cipta Kerja. Ketentuan Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja.

Aturan di atas menghapus pertanggungjawaban pidana aktivitas perkebunan di kawasan hutan yang sudah dimulai sebelum November 2020.

Hal ini memperparah penguasaan kawasan hutan untuk kebun sawit dan memberikan kebebasan pada para pelaku kejahatan kehutanan dalam melanjutkan aktivitas ilegalnya. 

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |