Liputan6.com, Jakarta - Pasar keuangan global kembali diliputi ketidakpastian setelah Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan terhadap tiga fasilitas nuklir utama milik Iran.
Presiden AS Donald Trump mengklaim serangan tersebut telah menyebabkan "kerusakan besar" di fasilitas bawah tanah Iran, meskipun hingga kini belum ada bukti dari citra satelit atau analisis independen yang mendukung klaim tersebut.
Ketegangan geopolitik ini langsung memicu volatilitas di pasar saham AS. Indeks S&P 500 futures bersama indeks utama lainnya mengalami tekanan karena para investor khawatir konflik ini bisa berkembang menjadi krisis yang lebih luas, terutama terkait potensi gangguan terhadap pasokan minyak dunia. Kekhawatiran ini terlihat dari lonjakan harga minyak dan menguatnya dolar AS.
Sektor energi dan pertahanan menjadi sorotan, dengan saham perusahaan besar seperti Chevron, Exxon Mobil, Lockheed Martin, dan Northrop Grumman menunjukkan kinerja positif. Namun, analis memperingatkan potensi koreksi, terutama pada sektor energi, jika pasokan minyak ternyata tetap stabil dan tidak terganggu oleh konflik.
Pasar Masih Bersikap Hati-Hati
Menanggapi kondisi tersebut, Analis Reku Fahmi Almuttaqin menyatakan pasar saham AS saat ini cenderung bergerak secara defensif dan sangat sensitif terhadap perkembangan terbaru di Timur Tengah.
Pasar Mulai Menyesuaikan Diri
"Sementara itu, indeks saham AS masih cenderung bergerak datar dan harga emas naik tipis, menandakan pelaku pasar yang saat ini kembali mengambil sikap wait and see terhadap risiko geopolitik, pasca koreksi yang terjadi akhir pekan kemarin," jelas Fahmi dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (24/6/2025).
Sementara itu harga minyak mentah tetap tinggi sekitar USD 76 per barel setelah streaming hampir 4%, terpicu kekhawatiran potensi Iran memblokir Selat Hormuz.
Dia menuturkan, meskipun kekhawatiran sempat memuncak setelah serangan awal, pasar kini mulai menyesuaikan diri dengan situasi. Bahkan, prediksi di platform seperti Polymarket menunjukkan bahwa probabilitas aksi militer lanjutan dari AS ke Iran mulai menurun.
“Secara keseluruhan, baik pasar saham saat ini masih cenderung defensif namun mulai menemukan kembali keseimbangan baru setelah reaksi awal atas risiko geopolitik akhir pekan, sambil menunggu perkembangan selanjutnya,” imbuh Fahmi.
Inflasi dan Ketidakpastian Ekonomi Global Jadi Sorotan
Fahmi juga menyoroti kekhawatiran investor tidak hanya terbatas pada konflik AS-Iran. Ketegangan ini terjadi di saat AS masih terlibat dalam konflik Rusia-Ukraina, yang menyedot banyak anggaran militer, dan di tengah hubungan Iran dengan Rusia serta Korea Utara yang berpotensi memperumit situasi.
Dengan masih berlangsungnya konflik Rusia-Ukraina yang juga menyerap anggaran militer AS, meluasnya konflik Iran-Israel berpotensi meningkatkan kebutuhan anggaran perang pemerintah AS.
Pada saat yang sama, negosiasi dagang AS dengan China belum terjadi menemukan titik terang serta ancaman Trump untuk menaikkan tarif kepada negara-negara mitra dagangnya bulan depan semakin menimbulkan polusi bagi para investor terhadap prospek inflasi.
"Kondisi ini menambah tekanan terhadap prospek inflasi yang sebelumnya mulai melandai. Investor kini menanti kejelasan lebih lanjut tentang arah kebijakan ekonomi AS di tengah situasi geopolitik yang terus berkembang,” pungkasnya.