Liputan6.com, Jakarta Ketegangan geopolitik global yang meningkat pasca serangan Amerika Serikat terhadap tiga situs nuklir di Iran turut memberi tekanan pada pasar saham global, termasuk Indonesia.
Terkait kondisi ini, Strategy & Planning Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, VP Marketing menilai eskalasi konflik ini dapat memicu volatilitas di pasar saham, terutama jika terjadi balasan dari sekutu Iran yang berujung pada penutupan Selat Hormuz jalur penting distribusi minyak dunia.
“Kami berpandangan seiring dengan tensi yang meningkat paska penyerangan AS terhadap 3 situs nuklir di Iran dan juga penutupan Selat Hormuz cenderung mendorong volatilitas pasar saham,” ujar Oktavianus kepada Liputan6.com, Selasa (24/6/2025).
Hal ini seiring dengan kekhawatiran dampak keberlanjutan, khususnya terhadap kenaikan inflasi global disebabkan kenaikan harga minyak mentah dan berujung pada perlambatan ekonomi global jika terjadi eskalasi balasan dari sekutu Iran.
IHSG akan Bergerak Moderat
Dalam situasi tersebut, Oktavianus memperkirakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan bergerak moderat pada rentang 6.650 hingga 7.000 dalam jangka pendek hingga menengah.
Kinerja indeks akan sangat bergantung pada arah lanjutan dari tensi geopolitik dan dampaknya terhadap harga komoditas energi, terutama minyak mentah.
Oktavianus juga menambahkan sektor energi dan barang baku menjadi dua sektor yang potensial untuk dilirik investor dalam jangka pendek, seiring kenaikan harga minyak dan emas sebagai aset safe haven.
“Kami berpandangan dalam jangka pendek hingga menengah, emiten dari sektor energi (oil & gas) akan terdampak positif pada kenaikan harga global. Kami memperkirakan jika eskalasi berlanjut maka minyak mentah dapat meningkat 30% dan emas berpotensi membentuk new all time dengan target $3.500 per toz,” jelasnya.
Strategi Investasi
Untuk strategi investasi, Kiwoom Sekuritas merekomendasikan investor memanfaatkan momentum jangka pendek dengan melakukan trading buy pada saham-saham tematik yang terdampak positif, seperti MEDC dengan target harga Rp1.590 dan PTRO dengan target harga Rp3.200.
Meski begitu, Oktavianus juga mengingatkan jika eskalasi berlanjut dalam jangka panjang, kenaikan harga minyak justru bisa memperburuk prospek ekonomi global. Ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM dan beban subsidi dapat mendorong inflasi, menahan suku bunga tinggi, dan menekan daya beli masyarakat.