Pemprov Jabar Siasati Kendala BIJB Kertajati dan Bandara Husein Sastranegara

13 hours ago 6

Liputan6.com, Bandung - Pemerintah Jawa Barat terus mencari solusi kendala yang menghambat operasional Bandara Innternasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati dan Bandara Husein Sastranegara.

Menurut Asisten Daerah 2 Sekertariat Daerah (Setda) Jawa Barat Bidang Perekonomian dan Pembangunan Sumasna, otoritasnya urun rembug dalam hal ini usai Wali Kota Bandung Muhammad Farhan mengusulkan untuk membuka kembali penerbangan komersial di Bandara Husein Sastranegara.

"Kita tunggu kebijakan pemerintah pusat. Semoga ada solusi yang menguntungkan kedua daerah," ujar Sumasna dalam siaran medianya ditulis Bandung, Kamis (19/6/2025).

Sumasna mengatakan otoritasnya sangat berkepentingan untuk meramaikan operasional BIJB Kertajati, Kabupaten Majapengka, untuk warga Jawa Barat bagian timur dan warga Jawa Tengah bagian Barat.

Namun demikian Sumasna juga memahami kepentingan Kota Bandung sebagai Ibu Kota Provinsi Jabar, bandara adalah faktor pendukung utama pereokonomian, terutama sektor pariwisata.

"Faktor itu juga harus menjadi pertimbangan, terutama setiap musim haji karena pasarnya jelas. Ya, saya paham kepentingan Kota Bandung. Oleh karena itu, mari kita berharap bersama ada solusi yang menguntungkan kedua daerah," ucap Sumasna.

Desakan Wali Kota Bandung

Dilansir laman resmi Pemerintah Kota Bandung, Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan mengusulkan agar Bandara Husein Sastranegara kembali dibuka untuk penerbangan komersial.

Ia menilai kebijakan pemindahan penerbangan ke Bandara Kertajati, Majalengka, tidak efektif dan berdampak negatif terhadap sektor pariwisata serta perekonomian Kota Bandung.

Menurut Farhan, masyarakat Jawa Barat selama ini dipaksa menggunakan Kertajati yang letaknya jauh dari pusat kegiatan ekonomi. Akibatnya, justru banyak warga memilih terbang melalui Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta.

"Jadi yang perlu dilakukan sekarang adalah buka segera Bandara Husein. Karena dengan segera membuka Husein, maka sektor pariwisata Kota Bandung akan bergerak," kata Farhan di Balai Kota Bandung, Kamis, 12 Juni 2025.

Ia mengungkapkan, selama ini terbukti bahwa pasar penerbangan terbesar di Jawa Barat berada di Kota Bandung. Oleh karena itu, menutup bandara yang melayani kebutuhan warga Bandung dan sekitarnya dinilai sebagai keputusan yang tidak masuk akal.

"Dengan ditutupnya Husein dan dipaksa semua orang pindah ke Kertajati untuk terbang, terbukti bahwa market terbesar untuk penerbangan itu ada di Kota Bandung. Jadi nggak masuk akal kalau bandara Kota Bandung itu ditutup," tegasnya.

Farhan juga menyoroti beban anggaran yang harus ditanggung Pemerintah Provinsi Jawa Barat akibat kerugian operasional Kertajati yang mencapai lebih dari Rp60 miliar setiap tahun. Bahkan, menurutnya, angka kerugian itu bisa lebih besar dari yang dilaporkan.

"Saya dengar malah sebetulnya lebih dari Rp60 miliar setahun. Saya sangat menghargai Pak Gubernur yang sejak Februari kami diskusi intensif, ada upaya serius mengoptimalkan Kertajati. Tapi kelihatannya sekarang mulai kepepet," ungkapnya.

Kondisi ini, menurut Farhan, juga menimbulkan ketimpangan manfaat ekonomi antarwilayah. Karena banyak warga yang justru lebih memilih terbang dari Jakarta, maka pendapatan dari sektor penerbangan tidak dinikmati oleh Jawa Barat.

"Akibatnya apa? Akibatnya sekarang orang-orang Bandung dan orang luar Bandung yang mau ke Bandung, terbangnya bukan di Bandung. Yang dapat untung siapa? Jakarta, bukan Jawa Barat. Halim di Jakarta Timur," pungkasnya.

Sejak dipindahkannya penerbangan komersial ke Bandara Kertajati pada 2023, Bandara Husein hanya melayani penerbangan militer dan beberapa penerbangan khusus. Sedangkan Kertajati terus menghadapi tantangan okupansi, aksesibilitas, dan operasional yang belum optimal.

Optimalisasi BIJB Kertajati Lewat Embarkasi Haji dan Umrah

Sedangkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyoroti peran strategis Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati yang menurutnya masih membutuhkan perhatian khusus agar lebih optimal.

"Bandara ini harus hidup karena merupakan investasi besar. Saat ini pengelolaannya menjadi beban kita, dan mitra kerja seperti Bank Jateng juga ikut terlibat. Maka harus ada upaya konkret agar BIJB berkembang," tegasnya pada acara Regional Summit Jawa Barat bertema Investasi dan Pengembangan Berkelanjutan di Jantung Jawa Barat di Kompleks BIJB Kertajati, Kabupaten Majalengka, Senin (19/5/2025).

Dedi melihat peluang besar dari tingginya arus keberangkatan haji dan umrah dari Jawa Barat dan Jawa Tengah yang dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan BIJB.

"Salah satu peluang yang bisa dimanfaatkan adalah keberangkatan jemaah haji dan umrah. Jawa Barat selalu mencatat jumlah jemaah tinggi setiap tahun," katanya.

Ia mendorong pembangunan infrastruktur pendukung seperti penginapan bagi jemaah di sekitar bandara, serta pengembangan ekosistem ekonomi berbasis haji dan umrah.

"Harus dibangun kenyamanan. Salah satunya dengan menghadirkan penginapan jemaah haji dan umrah di sekitar bandara. Juga perlu ada pasar oleh-oleh, pusat suvenir, dan produk khas haji di kawasan ini," ujarnya.

Lokasi BIJB Kertajati sendiri berada di Kawasan Rebana yang digadang-gadang menjadi jantung ekonomi baru Jawa Barat, yang dianggap Dedi belum mampu menarik investor secara signifikan.

Kawasan Rebana yang mencakup Kabupaten dan Kota Cirebon, Majalengka, Subang, Sumedang, Indramayu, serta Kuningan, diharapkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di Jawa Barat.

Namun hingga kini, nilai investasi yang masuk masih tertinggal dibandingkan kawasan industri lama seperti Bekasi, Karawang, dan Purwakarta.

"Fokus perhatian kita saat ini adalah Kawasan Rebana, dengan harapan bisa mengalami lonjakan investasi," ujar Dedi.

Total Investasi Triwulan I

Dedi menyebutkan, dari total investasi yang masuk ke Jawa Barat pada triwulan I 2025 sebesar Rp68 triliun, sebagian besar masih terserap di Kabupaten Bekasi sebesar Rp21,4 triliun, Karawang Rp15,3 triliun, Kota Bekasi Rp3,5 triliun, dan Purwakarta Rp4,97 triliun.

Sementara itu, investasi di kawasan Rebana masih relatif kecil. Kabupaten Subang tercatat menerima Rp2,39 triliun, Kabupaten Cirebon Rp878,31 miliar, Kabupaten Majalengka Rp699,57 miliar, Kabupaten Indramayu Rp362,33 miliar, Kota Cirebon Rp252,46 miliar, dan Kabupaten Kuningan Rp67,54 miliar.

Dedi mengungkapkan sejumlah penyebab belum optimalnya investasi di Kawasan Rebana. Mulai dari konektivitas infrastruktur yang belum terbangun secara merata hingga kesiapan sumber daya manusia yang masih kurang.

"Pertama, konektivitas infrastruktur belum memadai. Kedua, sarana dan prasarana seperti jaringan air bersih juga masih terbatas," jelasnya.

Ia menambahkan, penting bagi pemerintah untuk memastikan masyarakat benar-benar merasakan dampak positif dari investasi yang masuk.

Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia perlu diselaraskan dengan kebutuhan industri.

"Harus ada link and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Jangan sampai anak SMK belajar tiga tahun, tapi saat lulus masih harus kursus lagi agar bisa diterima industri," katanya.

Dedi juga mengimbau agar daerah di Kawasan Rebana yang memiliki potensi kawasan hijau tidak terburu-buru mengembangkan kawasan industri.

Menurutnya, investasi tidak selalu harus berbentuk industri manufaktur. Sektor pariwisata, industri kreatif, dan pertanian juga memiliki potensi besar.

"Hotel dan rumah makan memberikan manfaat langsung lewat pajak daerah. Industri pariwisata juga mendukung ekosistem ekonomi lokal. Saat akhir pekan, para pekerja butuh hiburan, kuliner, dan itu semua bisa menjadi penggerak ekonomi," ujarnya.

Di sektor pertanian, Dedi menyebut Jawa Barat relatif stabil berkat dukungan cuaca dan kebijakan pemerintah, seperti penyaluran pupuk dan penguatan ekosistem pertanian.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |