Liputan6.com, Jakarta - Di balik keramaian Yogyakarta yang kini dikenal sebagai kota budaya dan destinasi wisata ternama, tersembunyi sebuah kawasan tua yang seolah mampu menghentikan waktu dengan atmosfer historisnya yang pekat itulah Kotagede.
Wilayah ini bukan sekadar permukiman biasa, melainkan sebuah kota kecil yang pernah berdiri sebagai pusat pemerintahan dari Kesultanan Mataram Islam pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17.
Melangkahkan kaki di Kotagede ibarat menembus portal waktu, masuk ke dalam labirin sejarah yang masih hidup dalam tiap sudut jalan, tiap batu tembok, dan tiap senyap yang berembus dari lorong-lorong sempitnya.
Bangunan-bangunan kuno dengan tembok tinggi, pagar tembok batu, jendela kayu berukir, dan langgam arsitektur Jawa-Islam masih setia berdiri, membawa kenangan tentang zaman ketika Sultan Agung dan para leluhur Mataram menjadikan tempat ini sebagai pusat kekuasaan, spiritualitas, dan kebudayaan.
Kotagede tidak hanya memikat karena riwayatnya sebagai bekas ibukota kerajaan, namun juga karena ia tetap mempertahankan struktur ruang kota klasik khas Mataram dan keraton sebagai pusat, diapit oleh pasar, masjid, dan alun-alun sebagai pusat aktivitas publik.
Pasar Kotagede hingga kini tetap ramai, bukan hanya menjadi tempat jual beli kebutuhan sehari-hari, tetapi juga sebagai ruang hidup yang menyatu erat dengan denyut tradisi masyarakat lokal. Di dekat pasar, Masjid Agung Kotagede berdiri anggun sebagai salah satu masjid tertua di Yogyakarta, dibangun pada masa Sultan Agung dengan gaya arsitektur perpaduan antara Islam, Hindu, dan Jawa.
Masjid ini memiliki atap tumpang bersusun dan gapura paduraksa yang mengingatkan kita pada candi-candi klasik Jawa Tengah, memperlihatkan bagaimana akulturasi budaya telah berlangsung harmonis sejak masa lampau.
Dinding batanya yang tebal dan suasana teduhnya menciptakan ruang kontemplatif yang tidak hanya mengajak kita sembahyang, namun juga merenungi jejak panjang perjalanan peradaban.
Jejak Leluhur
Bila menyusuri gang-gang sempit Kotagede, kita akan disambut oleh rumah-rumah tradisional Kalang bangunan rumah para saudagar kaya keturunan bangsawan dan pedagang Tionghoa pada masa kolonial. Arsitekturnya unik, mencampurkan gaya Eropa dengan sentuhan lokal tembok tinggi melindungi rumah dari dunia luar, sementara di dalamnya tersimpan ukiran-ukiran rumit dan ruang-ruang yang luas.
Rumah-rumah ini bukan sekadar saksi bisu sejarah ekonomi dan sosial masa lalu, tetapi juga warisan budaya yang terus dijaga oleh keturunannya. Selain itu, keberadaan makam para raja pendiri Mataram seperti Panembahan Senopati dan Sultan Agung juga menjadikan Kotagede sebagai tempat ziarah penting.
Kompleks makam yang dikelilingi oleh tembok batu tebal dan gerbang paduraksa ini masih mempertahankan suasana sakral. Pengunjung yang ingin masuk wajib mengenakan pakaian adat Jawa, seperti jarik dan surjan bagi laki-laki, serta kemben atau kain panjang bagi perempuan.
Ini bukan hanya soal tata krama, melainkan penghormatan terhadap tempat yang diyakini menyimpan energi spiritual tinggi dan menjadi bagian penting dari sejarah Jawa.
Selain jejak kerajaannya, Kotagede juga dikenal sebagai pusat kerajinan perak yang telah berlangsung sejak abad ke-17. Di sinilah seni tempa perak berkembang bukan hanya sebagai penghasilan warga, namun juga sebagai warisan teknik dan estetika yang diwariskan turun-temurun.
Bengkel-bengkel kecil bisa dengan mudah ditemukan di sepanjang jalanan Kotagede, di mana para pengrajin dengan telaten mengukir motif-motif tradisional ke dalam perhiasan, kotak perak, hingga miniatur arsitektur. Suara palu-palu kecil yang beradu dengan logam menjadi alunan musik keseharian yang menyatu dengan aroma dupa dan kayu tua.
Kerajinan ini bukan sekadar produk ekonomi, tetapi juga narasi budaya yang mencerminkan cita rasa, nilai spiritual, dan kekayaan simbolik dari masyarakat Jawa. Melihat seorang pengrajin tua bekerja di bawah cahaya temaram lampu minyak seakan mengajak kita menyelami keheningan masa lalu yang masih berdetak di Kotagede.
Kotagede bukan hanya warisan arsitektural atau etalase sejarah semata, melainkan lanskap hidup yang menyatukan masa lalu dan masa kini dalam sebuah harmoni yang langka. Di tengah modernisasi dan tekanan pembangunan kota, Kotagede masih berjuang mempertahankan identitasnya.
Pemerintah dan komunitas lokal bahu-membahu menjaga keberlanjutan kawasan ini melalui pelestarian bangunan cagar budaya, revitalisasi kawasan, serta pengembangan wisata sejarah yang tetap menghormati nilai-nilai lokal.
Tak berlebihan bila dikatakan bahwa Kotagede adalah ruang meditatif di tengah keramaian zaman, tempat di mana kita bisa mengingat kembali siapa kita, dari mana kita berasal, dan nilai-nilai apa yang patut kita pertahankan dalam menghadapi masa depan.
Sebab di antara batu bata tua, jejak langkah para leluhur, dan harum dupa dari kompleks makam, Kotagede terus berbisik tentang kekuasaan, keagungan, dan kesederhanaan yang telah membentuk wajah budaya Jawa hingga hari ini.
Penulis: Belvana Fasya Saad