OPINI: Sertifikat Laut: Ketika Laut Disulap Jadi Tanah

1 day ago 9

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia adalah negara maritim dengan lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai sepanjang lebih dari 108.000 km. Kekayaan laut ini bukan hanya soal potensi sumber daya, tetapi juga soal kedaulatan dan keadilan akses ruang hidup bagi masyarakat pesisir.

Namun, belakangan masyarakat dikejutkan oleh praktik kontroversial: penerbitan sertifikat tanah di atas laut. Sebuah ironi dalam tata kelola ruang dan hukum agraria di negeri ini.

Tanah Musnah, Laut Tersertifikasi

Di pesisir Kabupaten Tangerang, terdapat pagar laut sepanjang lebih dari 30 kilometer yang menutup akses publik ke laut. Di balik pagar ini, tanah yang diduga hilang karena abrasi disebut "tanah musnah" dijadikan dasar untuk penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (SHM).

Secara hukum, tanah musnah adalah tanah yang berubah bentuk akibat peristiwa alam, tidak bisa diidentifikasi lagi, dan tidak bisa dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Menurut Permen ATR/BPN No. 17 Tahun 2021 jo. No. 3 Tahun 2024, tanah seperti ini tidak bisa lagi memiliki status hukum sebagai hak atas tanah—kecuali jika dilakukan rekonstruksi atau reklamasi.

Inilah celah hukum yang digunakan. Reklamasi dijadikan dalih untuk "menghidupkan kembali" tanah yang telah berubah menjadi laut, lalu dimohonkan sertifikatnya. Hal ini membuka peluang penyalahgunaan—mulai dari pemalsuan girik hingga manipulasi data abrasi.

Kawasan Publik yang Terprivatisasi

Terdapat ancaman pidana bagi setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak  Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Yang menjadi persoalan bukan hanya ancaman hukuman yang ringan, tapi juga manipulasi hukum yang melanggar prinsip dasar konstitusi. Laut, pesisir, dan zona pantai adalah kawasan milik umum, yang menurut Pasal 61 huruf d UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tidak boleh ditutup aksesnya oleh siapapun.

Ketika Negara Turun Tangan

Menyikapi tekanan publik dan penyelidikan hukum, pada Februari 2025 Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyatakan bahwa semua SHM dan SHGB yang berada di luar garis pantai akan dibatalkan. Dari 280 bidang yang diterbitkan, 209 sudah dibatalkan dan sisanya masih dalam telaah. Keputusan ini mempertegas bahwa laut tidak bisa disertifikasi sebagai tanah.

Garis pantai, sebagaimana didefinisikan dalam UU No. 32 Tahun 2004, adalah batas antara daratan dan laut yang menjadi rujukan hukum tata ruang wilayah. Namun karena garis pantai dapat berubah secara alami, diperlukan kejelasan data geospasial dan dasar hukum yang kuat agar tidak menjadi objek spekulasi tanah.

Tumpang Tindih Aturan

Terbitnya SHM dan SHGB atas wilayah perairan termasuk dalam Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) mengancam hak masyarakat pesisir dan mengarah pada privatisasi ruang laut.  Hak ini memberikan bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Namun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 telah membatalkan Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3), dan menyatakan bertentangan dengan UUD Indonesia tahun 1945;  dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Sertifikat Hak atas Tanah tidak bisa diterbitkan di atas laut atau perairan, dasar hukum lainnya mengacu pada PP No.18/2021 jo Permen ATR No.18/2021, hak atas tanah berupa bangunan (HGB) hanya bisa terbit di wilayah pesisir pantai, bukan di atas laut.  SHGB dan SHM di atas laut tersebut telah jelas bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.    

Alih-alih menerbitkan sertifikat tanah di laut, pemerintah kini mengandalkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Skema ini adalah bentuk legalisasi pemanfaatan ruang laut untuk kegiatan tertentu seperti reklamasi, pelabuhan, atau wisata tanpa menjadikan laut sebagai objek hak milik.

PKKPRL diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta memuat analisis ekosistem, sosial ekonomi, dan akses publik. Izin ini memberikan kepastian hukum sekaligus menjaga prinsip keterbukaan dan keberlanjutan ruang laut.

Refleksi: Jangan Sampai Laut Jadi Milik Segelintir Orang

Kasus "sertifikat laut" menunjukkan bahwa regulasi bisa saja dibelokkan, tetapi prinsip keadilan ruang tak boleh dikompromikan. Ketika laut yang seharusnya menjadi milik bersama dipagari dan disertifikasi, maka ruang hidup masyarakat pesisir ikut terancam.

Penting bagi kita untuk terus mengawal tata kelola ruang laut agar tidak jatuh ke tangan oligarki tanah yang selama ini mendominasi daratan. Reformasi agraria harus menyentuh laut dan pesisir, bukan hanya sawah dan perkebunan.

Penulis: 

Herlinawati Sucipto dan Jeneffer Joy Hoesin Mahasiswa Magister Kenotariatan, Universitas Pancasila

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan PT Taman Harapan Indah tentang pencabutan izin reklamasi pulau H.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |