Liputan6.com, Jakarta - Ketika bulan Dzulhijjah tiba, geliat di kampung dan kota berubah. Suara kambing dan sapi mengisi pagi hari, sementara panitia masjid mulai sibuk mencatat nama pekurban dan mempersiapkan prosesi penyembelihan. Bagi sebagian masyarakat, inilah satu-satunya waktu dalam setahun mereka bisa mencicipi daging. Bagi yang lain, ini adalah wujud ibadah, pengorbanan, dan cinta yang ditujukan kepada Sang Pencipta.
Namun, kurban bukan hanya soal daging dan ritual. Di balik prosesi penyembelihan hewan ternak itu, tersimpan potensi besar untuk memperkuat sistem ketahanan pangan kita—potensi yang hingga kini belum dimaksimalkan.
Menurut data Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), lebih dari 2,3 juta hewan kurban disembelih pada Iduladha 2024, dengan estimasi perputaran dana mencapai Rp34,3 triliun. Ini bukan angka kecil. Tapi setelah daging dibagi-bagikan dan acara selesai, sulit melacak pengaruh nyata kurban terhadap perbaikan gizi masyarakat atau pemberdayaan peternak kecil secara berkelanjutan.
Kurban seringkali berakhir pada distribusi bungkusan daging. Tidak salah, karena memang seperti itulah implementasi secara konvensional. Namun menurut hemat saya, alangkah eloknya manakala kurban menjadi ikhtiar kolektif dalam mengatasi ketimpangan akses pangan, bukan sekadar kegiatan seremonial tahunan.
Kurban dan Keadilan Distribusi Pangan
Organisasi pangan dunia (FAO) mendefinisikan ketahanan pangan bukan hanya sebagai ketersediaan bahan pangan, tetapi juga akses yang merata, berkelanjutan, dan stabil. Kurban, yang pada dasarnya menekankan solidaritas dan keikhlasan, selaras dengan nilai-nilai itu.
Namun dalam praktiknya, banyak wilayah miskin dan rawan pangan yang justru tidak tersentuh distribusi daging kurban. Ironisnya, daerah perkotaan yang sebenarnya tidak terlalu membutuhkan, justru kerap kebanjiran daging pada hari-hari itu. Di sinilah letak tantangannya: bagaimana menjadikan qurban sebagai jembatan keadilan pangan?Tentunya, harus dilakukan perubahan pola pelaksanaan qurban dengan target untuk menanam manfaat jangka panjang.
Hal ini bisa dilakukan mulai dengan memikirkan ulang sistem kurban sebagai bagian dari ekosistem pangan dan ekonomi lokal. Misalnya, mengolah daging menjadi produk tahan lama seperti rendang kaleng, abon, atau makanan beku. Dengan begitu, distribusi bisa diperluas, bahkan menjangkau daerah terpencil atau digunakan sebagai cadangan pangan saat bencana.
Lebih dari itu, pendekatan kurban berbasis pemberdayaan—melalui koperasi peternak, pesantren peternakan, atau BUMDes—dapat membuka peluang ekonomi. Jika hewan qurban dibeli langsung dari peternak kecil, mereka akan mendapat manfaat ekonomi yang lebih adil.
Pemerintah daerah juga dapat berperan aktif, melalui usaha pemetaan wilayah prioritas distribusi daging; memberikan insentif kepada pengolah pangan berbasis qurban; dan memfasilitasi sistem distribusi berbasis kebutuhan nyata, bukan sekadar kedekatan geografis.
Mewarisi Semangat Ibrahim secara Kontekstual
Qurban adalah simbol ketundukan Nabi Ibrahim. Tapi dalam konteks hari ini, pengorbanan itu bisa dimaknai sebagai kesediaan untuk berpikir dan bertindak lebih luas: mengorbankan kenyamanan rutinitas demi sistem sosial yang lebih adil. Bukan hanya menyembelih hewan, tapi juga menyembelih ego, kebiasaan lama, dan pola pikir sempit tentang ibadah yang selesai dalam satu hari.
Langkah konkretnya, bagaimana menjadikan qurban sebagai jalan penebar kebaikan secara berkelanjutan (sustainable) yang merata dan berkeadilan.Ketika qurban diatur secara lebih strategis, tentunya manfaatnya tak lagi berumur pendek. Ia menjadi sarana membangun solidaritas, mendekatkan yang jauh, dan mengangkat martabat hidup masyarakat miskin yang selama ini hanya jadi penerima pasif.
Iduladha tidak hanya mengajarkan ketulusan memberi, tetapi juga mengingatkan kita untuk mengelola kebaikan dengan bijaksana. Qurban bisa menjadi lebih dari sekadar penyembelihan: ia bisa menjadi sistem. Sebuah jalan sunyi menuju ketahanan pangan, yang mulai ditempuh dengan keikhlasan.
Hindun AnisahAnggota Komisi IV DPR RI Fraksi PKB