Liputan6.com, Lahat - Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumsel Herdi Apriansyah mengatakan, sejauh ini mereka belum pernah melakukan menguji kualitas air Sungai Pule dan Sungai Pendian yang diduga tercemar. Dia tidak mau berspekulasi soal itu, meski sudah banyak keluhan dari warga desa.
“Saya harus buktikan dengan membawa tim laboratorium, mengukur kadar sungai, unsur dan materialnya. Ada batas baku mutu sesuai PP. Kalau melebihi baku mutu, belum juga bisa dikatakan tercemar. Karena kita mau lihat, di mana sumber pencemarannya, akan diukur lagi dari variabel yang ada. Seperti mengukur sampel air di tiap titik kan, akan berbeda-beda hasilnya. Jadi harus kita pastikan dulu sesuai titik lokasi pencemarannya, apalagi ada kolam pembuangan limbah di PLTU,” katanya.
Meski terdapat cara sederhana untuk menilai terjadi atau tidaknya pencemaran air, seperti bau yang tidak sedap, rasa yang pahit (dari asalnya tawar) hingga warna yang berubah, hal itu tidak menjamin bahwa air telah tercemar. Menurut Herdi, titik pengambilan sampel air juga menentukan apakah ada pencemaran air seperti yang diduga atau sebaliknya.
“Jadi saya belum bisa menyimpulkan. Bisa jadi sampel air yang diambil dari hasil insenarator pembakaran batu bara PLTU Keban Agung itu, berjauhan dari KPL dan pencemaran mungkin tidak ada. Jika kita ambil sampel dari titik lokasi KPL, mungkin terlihat ada pencemarannya, tergantung dari titik pengambilan sampel. Jadi, saya belum bisa membocorkan hasil laporan mereka, karena sampel harus juga diuji dari titik lokasi yang berbeda,” katanya.
Sebelumnya, di tahun 2018, PT Priamanaya Energi tercatat pernah mendapat sanksi karena pengelolaan FABA yang tidak sesuai AMDAL. Berkat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021, sehingga DLH Sumsel mencabut sanksi tersebut di tahun 2022.
“Dulu pengelolaan FABA PLTU Keban Agung masih lambat. Mereka mendapatkan sanksi administrasi karena melakukan kegiatan yang melanggar, seperti pembuangan yang tidak sesuai. Tapi sejak peraturan itu keluar, kami cabut sanksinya di tahun 2022 karena FABA bukan lagi kategori lombah B3. Jadi kita hanya meminta perusahaan untuk memanfaatkan FABA yang dijual ke perusahaan semen dan membuangnya di KPL,” ucapnya.
Untuk anak Sungai Lematang, memang belum melakukan uji baku mutu Sungai Pule dan Sungai Pendian. DLH Sumsel hanya mengantongi uji laboratorium Sungai Lematang, yang diukur dari Februari 2024 dan Juli 2024. Sampel diambil dari dua titik, yakni Lawai (berdekatan dengan Kecamatan Merapi Barat) dan bendungan (jalur ke arah Kota Pagar Alam Sumsel). Jarak keduanya sekitar 30 Km.
Beberapa parameter yang diuji seperti temperature, residu terlarut, residu tersuspensi atau Total Suspended Solids (TSS), pH air, kandungan amoniak, nitrit dan lainnya. Dari hasil uji laboratorium tersebut, hanya kadar residu tersuspensi yang sangat tinggi dari standar baku mutu.
Hasil uji laboratorium memperlihatkan tingginya angka TSS yakni 187 mg/L (bendungan) dan 244 (lawai) atau empat dan enam kali lipat standar baku mutu yang hanya 40 mg/l. Hal tersebut diduga terjadi karena saat pengambilan sampel tersebut di saat musim penghujan.
“Di Februari itu masih musim hujan, jadi ada banyak residu yang bisa terbawa air hujan ke sungai, sehingga TSS jadi tinggi. Resudinya bisa dari batu bara di aktivitas pertambangan di lokasi lawai. Kalau di lokasi bendungan, bisa jadi dari aktivitas perkebunan dan pertanian. Namun angkanya akan di bawah standar baku mutu jika sudah masuk musim kemarau di Juli. Dengan angka 17,2 (lawai) dan 15,9 (bendungan),” kata Kepala Seksi Pengendalian Pencemaran DLH Sumsel Reza Wahya.
Jika TSS terlalu tinggi, pasokan oksigen yang berkurang di dalam sungai, yang akan berpengaruh besar pada sulitnya biota sungai bertahan hidup. Apalagi ikan dan tumbuhan yang membutuhkan banyak pasokan oksigen di dalam air, tidak akan bertahan hidup dalam kondisi TSS tinggi.
Sementara, soal dugaan pencemaran udara akibat aktivitas PLTU Keban Agung, DLH Sumsel mengakui tidak bisa berbuat banyak. Untuk memantau kualitas udara, DLH Sumsel baru mempunyai alat pemantau kualitas udara yang berada di Kecamatan Bandar Agung Lahat, atau sekitar 30 Km dari Kecamatan Merapi Barat. Alatnya yakni Sistem Pemantauan Kualitas Udara Ambien (SPKUA) bisa memantau kualitas udara hanya dalam radius 10 Km saja, yang baru juga dipasang per Januari 2024 lalu.
“Kita tidak bisa menjangkau hingga ke Kecamatan Merapi Barat, karena keterbatasan alatnya,” ujar Reza.
Data Puskesmas Merapi II di Lahat Sumsel, jumlah penderita ISPA dan Pneunomia dari Januari-Juli 2025 sudah mencapai 501 orang. Terbanyak berasal dari dua desa yang lokasinya berdekatan dengan pembangkit, yakni Desa Muara Maung dan Desa Telatang Lahat. Meski begitu, Kepala Bidang (Kabid) Kesehatan Masyarakat Dinkes Lahat Agustianingsih, didampingi Fungsional Ahli Muda Sanitatian Danang Sugiantoro, menyebut, mereka tidak menemukan korelasi yang memadai antara ISPA yang dialami warga dengan keberadaan PLTU dan pertambangan batu bara di dekat lokasi tempat tinggal warga.
Danang mengatakan, pencemaran tersebut tidak bisa dipatok dari aktivitas perusahaan tambang batu bara dan PLTU saja. “Ada banyak faktor lainnya yang menyumbang pencemaran udara,” ujarnya.
Gubernur Sumsel Herman Deru, ditemui usai menghadiri pengukuhan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sumsel di Griya Agung, Palembang, menyatakan, dia sudah menurunkan tim untuk mengecek laporan dugaan pencemaran air itu.
“Bukan mendengar (dugaan pencemaran Sungai Lematang), tapi sudah memerintahkan orang (tim lingkungan ke Sungai Lematang),” kata Herman Deru, Rabu (6/8/2025).
Bahkan Wakil Gubernur (Wagub) Sumsel Cik Ujang, bersama Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumsel Erdi Kaban, tim Dinas ESDM Sumsel dan anggotanya, sudah berada di kawasan Sungai Lematang Lahat Sumsel. “Kolaborasi bersama, Kepala DLH Sumsel lagi di Sungai Lematang bersama Wagub Sumsel, sama-sama memantau. Ketahuan (dugaan pencemaran sungai) dari (atas) speedboat,” ujarnya.
Herman Deru memastikan, akan menindak tegas perusahaan yang terbukti melakukan pencemaran air di sungai tersebut.“Itu (Sungai Lematang) yang harus dijaga, jangan sampai tercemar, ekosistemnya bisa rusak. Warga akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan air,” ujarnya.
Jika terbukti perusahaan lalai dalam pengelolaan limbah batu bara tersebut, Herman menyatakan pemerintah akan memberikan sanksi berat, baik administrasi hingga denda biaya yang tinggi.
Herman menyatakan, tim juga meneliti dugaan pencemaran Sungai Lematang Lahat. Dugaan itu akan dibuktikan dengan penelitian standar baku mutu yang akan dilakukan ulang, mulai dari pH air, tanah dan menganalisa jenis-jenis pencemaran lainnya. “Saya masih menunggu laporan dari tim,” ujarnya.
Solusi Pencemaran Lingkungan
Boni Bangun, Koordinator LSM Sumsel Bersih mengatakan, ada belasan PLTU di Sumsel yang menggunakan sumber air untuk membantu proses pengelolaan energinya. Perusahaan memang mempunyai AMDAL, tapi kalau pemerintah serius dalam pengesahan AMDAL, pencemaran tersebut tidak akan terjadi. Karena peraturan di AMDAL tersebut, membahas tentang antisipasi dalam pencemaran lingkungan, baik udara, air dan tanah.
“FABA memang diturunkan statusnya jadi limbah non B3, tapi pemerintah dan perusahaan jangan menganggap remeh. Karena FABA itu debu, jika masyarakat menghirup secara terus menerus, akan menjadi potensi penyakit, seperti paru-paru, kulit, iritasi mata, terlebih di kelompok rentan, anak-anak, ibu hamil, menyusui dan lansia,” katanya.
Perusahaan juga harus menyediakan tempat pembuangan FABA yang tertutup, agar debunya tidak terbang dan limbahnya diolah menjadi sebuah produk bermanfaat. Lalu, harus ada juga pengecekan kesehatan secara berkala, sehingga meminimalisir masyarakat terjangkit penyakit akibat tak terpapar FABA.
Pemerintah dan PLTU juga seharusnya rutin memonitoring baku mutu layak di air sungai yang dipakai, terutama keberlangsungan biota airnya. Namun kebanyakan PLTU yang memakai air sungai secara kontinu, tidak memperdulikan efeknya, terutama saat membuang air dalam kondisi panas atau air bahang ke sungai.
Menurutnya, air bahang dan FABA mengandung partikel dan unsur kimia yang berdampak pada kesehatan masyarakat di sekitar perusahaan. Dampak buruknya juga, ada pendangkaan sungai akibat penggunaan air secara membabi buta dan sedimentasi akibat FABA yang tidak dikelola dengan baik.
“Harusnya ini jadi perhatian bersama, sehingga potensi bencana alam akan lebih kecil. Karena kualitas udara dari FABA dan air juga akan mempengaruhi pertanian, pada kesuburan dan panen tanaman petani. Seharusnya pemerintah mempunyai pembanding, berapa hasil panen petani sebelum dan setelah adanya perusahaan. Jika menurun, ada langkah antisipasi terkait penurunan panen tersebut,” ungkapnya.
Lalu untuk gas buang baik asap berwarna putih atau hitam dari PLTU, ada ambang batas karbonnya. Jika kelebihan dalam pembuangan, perusahaan akan didenda pajak karbon yang sudah ditetapkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Pajak karbon sendiri diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2021, tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dari Kemenkeu. Pemerintah sudah menetapkan tarif pajak karbon sebesar Rp 30 ribu per ton CO2e, yang harusnya menjadi trigger bagi pemerintah daerah di Sumsel untuk mengatasi kelebihan gas buang karbon dari PLTU.
“DLH sangat penting untuk menjembati masyarakat dan pemerintah. Kita tidak menolak investasi, tapi harus berdampingan dengan masyarakat, jangan merugikan masyarakat,” ucapnya.
Polusi Air UN-Water
UN-Water (PBB-Air) merincikan bahwa polusi air terus meningkat sepanjang siklus air, akibat pertumbuhan penduduk, percepatan urbanisasi dan pembangunan ekonomi, jumlah air limbah yang dihasilkan dan beban pencemarannya secara keseluruhan.
Bahkan di industri dan pertanian seringkali menjadi pencemar air yang besar. Seperti peningkatan penggunaan pupuk dan peptisida kimia, serta air limbah yang tidak diolah dalam irigasi, mencemari air tanah dan permukaan air. Bahkan industri juga banyak daerah masih membuang limbah langsung ke aliran air. Pengelolaan air limbah kerap kali diabaikan, padahal bisa didaur ulang dengan aman, namun seringkali diremehkan sebagai sumber air, energi, nutrisi dan material lain yang dapat dipulihkan, berpotensi terjangkau dan berkelanjutan.
Sebagai solusinya, pemerintah harus memanfaatkan peluang besar dalam air limbah. Di mana, air limbah yang dikelola dengan aman merupakan sumber air, energi, nutrisi dan material lain yang bisa dipulihkan yang terjangkau dan berkelanjutan. Bahkan air limbah dapat membantu memenuhi permintaan, seperti proses pengolahan dan sistem operasional menggunakan air limbah dalam kegiatan perkotaan, pertanian berkelanjutan, produksi energi dan pembangunan industri.
Dampak positif terhadap kualitas dan pasokan air dengan meningkatkan daur ulang air limbah dan penggunaan kembali yang aman, akan mendorong kemajuan dalam kesejahteraan masyarakat, keberlanjutan lingkungan dan pembangunan ekonomi dengan menyediakan pelyang bisnis baru dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja 'hijau'.
Air limbah juga menjadi sangat penting bagi petani, karena merupakan sumber air dan nutrisi yang berharga bagi tanaman, berkontribusi pada ketahanan air dan pangan, serta peningkatan mata pencaharian. Pengelolaan air limbah yang lebih baik, dapat meningkatkan kesehatan pekerja pertanian dengan mengurangi risiko paparan patogen.
UN-Water juga menekankan manfaat air limbah dalam simbiosis industri. Karena industri merupakan konsumen air dan pembuang air limbah utama. Banyak bisnis kini menggunakan sebagian 'air proses' mereka untuk pendinginan atau pemanasan dan memanfaatkan air hujan untuk menyiram toilet, irigasi atau mencuci kendaraan.
Ada banyak keluhan masyarakat akan dampak dari polusi yang diduga diakibatkan dari aktivitas PLTU Keban Agung Lahat Sumsel, sehingga perusahaan dapat turun langsung ke lapangan untuk mendengarkan langsung aspirasi ke masyarakat di sekitar lingkungan perusahaan. Serta memastikan kegiatan perusahaan tidak melanggar hak-hak masyarakat dan lingkungannya, seperti yang sering dikampanyekan Yayasan Anak Padi Lahat. Hal tersebut bisa dilakukan dengan bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lahat Sumsel dan dinas terkait dan masyarakat sipil, agar bisa memastikan perwakilan suara masyarakat dalam setiap pembangunan proyek.
Dalam hal isu bisnis dan HAM disebutkan bahwa konsultasi langsung secara rutin dijalin perusahaan terhadap warga terdampak yang rentan, seperti anak-anak, ibu hamil dan menyusui, lanjut usia (lansia), petani, nelayan dan warga yang tinggal di ring 1 PLTU Keban Agung Lahat Sumsel. Hal ini menjadi bagian dari corporate responsibility to respect, bukan sekedar sosialisasi saja.
Perusahaan juga bisa melakukan pemeriksaan kesehatan gratis secara berkala, kompensasi dari dampak limbah yang diakibatkan aktivitas PLTU Keban Agung serta pemulihan mata pencaharian warga terdampak.
Seperti para petani yang hasil panennya menurun drastis, perusahaan harusnya bisa memberikan kompensasi khusus, baik pembelian hasil panennya secara berkala dengan harga ganti rugi, kerjasama dalam pasokan sayur mayur untuk konsumsi pekerja, pemberian pupuk gratis hingga merangkul petani untuk melakukan pola tani yang lebih modern. Lalu, para warga yang kesulitan mendapatkan ikan sungai, dengan melakukan rehabilitasi ekosistem sungai agar biota sungai bisa hidup dan berkembang biak, serta airnya bisa dikonsumsi lagi.
Perusahaan juga harus bisa mempublikasikan hasil laboratorium standar baku mutu yang per 3-6 bulan sekali disetor ke DLH Sumsel, insiden-insiden yang terjadi seperti pelaporan penanganan buruk FABA yang dilaporkan LSM Yayasan Anak Padi Lahat pada Juli 2025 ke DLH Sumsel serta rencana perbaikan. Karena DLH Sumsel sudah melakukan pemantauan dari hasil laporan LSM Yayasan Anak Padi dan sudah mendapatkan hasil dari lapangan. Rencana perbaikan yang dilakukan PLTU Keban Agung setelah inspeksi DLH Sumsel juga bisa dipublikasikan ke publik secara transparan, baik dilakukan perusahaan maupun DLH Sumsel.
Publikasi data secara transparan tersebut bisa menjadi langkah untuk pencegahan dan mitigasi dari dampak pencemaran limbah yang diakibatkan dari FABA, air bahang, emisi cerobong serta rantai nilainya (pengangkutan, penimbunan dan pemanfaatan FABA). Karena warga yang terdampak, tidak hanya merasakan kehilangan air sungai yang dulunya jernih, tapi juga kekurangan udara segar karena polusi udara dari FABA dan tanah yang tak lagi subur seperti dulu kala.