Liputan6.com, Jakarta - Atika tak bisa berkata-kata, sambil sesegukan menahan tangis dia hanya bisa bilang, dirinya bersyukur masih diberi kesempatan hidup. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, banjir bandang yang mirip gelombang tsunami itu menerjang rumahnya di Bali, yang dia kenal selama ini sebagai tempat yang teduh, aman, dan nyaman.
"Saya pegangan pohon, saya bergantungan tiga jam," katanya saat ditemui wartawan di tempat pengungsian.
Secuil cerita Atika itu sudah cukup menggambarkan betapa dahsyatnya banjir yang menerjang Bali 9-10 September 2025 silam. Hingga status tanggap darurat bencana banjir Bali resmi dicabut per Rabu, 17 September 2025, dilaporkan 18 orang meninggal dunia dan 4 lainnya masih hilang.
Banjir bandang telah menjadi bencana rutin yang kerap melanda daerah-daerah di Indonesia, baik di kota maupun di desa. Tiap daerah hanya tinggal menunggu giliran. Parahnya dari banjir ke banjir, kita (baca: orang Indonesia), masih terbenam oleh narasi penyebab tunggal banjir: hujan.
Sebagai bukti, belum genap sebulan banjir Bali melanda, sudah ada orang yang menulis untuk Wikipedia soal penyebab banjir Bali. Dengan memasukan kata kunci 'banjir Bali 2025', semua orang yang berselancar di internet akan langsung menemukan narasi berikut ini. Untuk menjadikannya seolah-olah ilmiah, artikel menggunakan catatan kaki dengan mengutip berbagai media mainstream tanah air, termasuk Liputan6.com sendiri.
"Banjir Bali 2025, adalah bencana banjir bandang yang melanda Provinsi Bali, Indonesia. Banjir tersebut disebabkan hujan deras yang terus-menerus turun antara Selasa malam dan Rabu pagi pada 9 dan 10 September. Sedikitnya 18 orang tewas akibat bencana banjir ini.
Pada Selasa malam 9 September dan Rabu pagi 10 September, hujan deras terus menerus turun dan menyebabkan banjir. Curah hujan pada hari tersebut tercatat melebihi 385 mm per hari, mencapai kategori sangat berbahaya. Kondisi ini diperparah oleh kelembaban udara tinggi hingga lapisan 500 milibar, yang mendukung pembentukan awan hujan dengan puncak tinggi sehingga menimbulkan hujan lebat disertai kilat dan angin kencang.”
Dunia maya menjadi pertarungan nyata bagaimana isu banjir digeser, yang seharusnya jadi perhatian serius soal pemanasan global, perubahan iklim, rusaknya tata ruang, dan lain-lain, menjadi sesuatu yang hanya bersifat kodrati, berkutat pada perbincangan hukum alam dan ketentuan Tuhan yang tidak bisa diubah dan ditolak oleh manusia.
Analisa Drone Emprit
Analis Drone Emprit Syifa Nabila kepada Tim Regional Liputan6.com membongkar bagaimana narasi digital di media sosial terkait penyebab banjir di Indonesia memengaruhi kesadaran banyak orang. Misal terkait narasi penyebab tunggal 'hujan deras'. Narasi ini, kata Syifa, secara konsisten dibingkai oleh media massa dan diadopsi luas oleh publik.
"Sebagai penjelasan utama, menutupi faktor penyebab lainnya," ungkapnya.
Simplifikasi ini, menurut Syifa, kemudian dipolitisasi di media sosial untuk menyerang figure politik, dengan membingkai narasi 'hujan deras' sebagai bukti inkompetensi.
Analisis lainnya menunjukkan fokus pada kegagalan lokal dan politisasi isu. Diskusi publik cenderung menyalahkan faktor kasat mata penyebab banjir, seperti drainase buruk, sampah, dan alih fungsi lahan yang mengarah pada kritik terhadap pemerintah daerah.
"Banjir juga dimanfaatkan sebagai proksi untuk menyerang lawan politik, seperti penggunaan tagar #GibranPewarisDNANgibul yang spesifik menargetkan individu," katanya.
Yang mencengangkan, narasi ilmiah BMKG sebagai lembaga negara nondepartemen yang bertugas mengamati, mengolah data, membuat prakiraan, riset, kalibrasi, serta melayani informasi terkait cuaca, iklim, kualitas udara, dan gempa bumi untuk masyarakat, justru menjadi menara gading yang sulit dijangkau masyarakat pada umumnya."
"BMKG secara aktif menyediakan analisis ilmiah tentang pemicu cuaca ekstrem (gelombang ekuatorial, anomali suhu laut), namun penjelasannya kompleks," ungkap Syifa.
Syifa menambahkan, narasi ilmiah ini gagal menembus percakapan publik, menunjukkan adanya kesenjangan literasi iklim yang membuat masyarakat lebih menerima penjelasan sederhana.
Top Narasi Penyebab Banjir
Dari beberapa hasil analisis temuan tersebut, dapat ditarik tiga kesimpulan, yakni pertama, ada kesenjangan narasi antara publik dan ahli terkait penyebab banjir. Diskursus publik dan media didominasi oleh narasi simplistik yang menyalahkan ‘hujan deras’ dan isu lokal (drainase, sampah) sebagai penyebab utama banjir.
"Penjelasan ilmiah mengenai pemicu iklim dari BMKG dan analisis krisis tata ruang dari WALHI termarjinalkan, menunjukkan adanya kesenjangan literasi yang signifikan," ungkapnya.
Kesimpulan kedua adalah, alih-alih membicarakan krisis iklim sebagai penyebab banjir, media sosial kita kerap diramaikan dengan politisasi bencana dan sentimen publik. Menurut Syifa, narasi simplistik secara aktif dimanfaatkan untuk tujuan politik, di mana ketidakmampuan menangani banjir dibingkai sebagai bukti inkompetensi figure tertentu.
"Percakapan publik dipenuhi emosi frustrasi dan kemarahan, yang membuat masyarakat lebih mudah menerima narasi yang menawarkan ‘kambing hitam’ saja," kata Syifa.
Ketiga, dalam kasus penyebab banjir, sebenarnya ada peluang intervensi media untuk edukasi. Terdapat kebutuhan bagi media untuk secara proaktif mengontekstualisasikan setiap kejadian banjir dengan data ilmiah dan analisis kebijakan tata ruang.
"Dengan mengamplifikasi suara para ahli, media dapat berperan penting dalam menjembatani kesenjangan narasi dan meningkatkan literasi iklim publik," ungkap Syifa.
Syifa lebih jauh mengungkap, dari data per tanggal 1-7 Oktober 2025, total post dan interaction dengan keyword 'Penyebab Banjir' berjumlah 3.597. Dari data itu terungkap empat klaster besar di media sosial X (Twitter) yang membicarakan tentang penyebab banjir.
Klaster pertama disebut Kelompok Fenomena Alam dan Cuaca, yang menyebut curah hujan tinggi alias hujan deras sebagai pemicu utama banjir. Kelompok ini juga menyebut, fenomena air pasang besar berpotensi perparah banjir jika terjadi bersamaan dengan hujan lebat, dan cuaca ekstrem dapat sebabkan banjir. Dari kelompok ini top influencer-nya antara lain @501Awani, @infomitigasi, @AboutTNG.
Klaster kedua, Kelompok Infrastruktur dan Tata Ruang, yang menyebut, kualitas drainase buruh menjadi penyebab utama banjir setiap kali hujan turun. Kelompok ini juga menyebut, alihfungsi kawasan resapan air mengurangi daya serap air hujan, dan rekayasa sungai untuk berbagai keperluan sangat signifikan ubah lingkungan. Top influencer dari kelompok ini antara lain akun @syahwillianna_, @pergijauhkealam, dan @BaseBDG.
Sedangkan klaster ketiga disebut Kelompok Kritik Pemerintah. Kelompok ini tidak langsung menyebut penyebab banjir adalah perubahan iklim, namun lebih menjadikannya sebagai medium untuk kritik dan pertanyakan kompetensi pemerintah. Kelompok ini juga kerap bersuara tentang solusi atasi banjir yang ditawarkan pemerintah dinilai tidak efektif. Kerap mengkritik pemerintah bahwa banjir bencana yang bisa diantisipasi, tanpa menyinggung soal perubahan iklim. Top influencer dari klaster ini adalah @Srik4ndiMuslim2, @Faizaljam, dan @putoktv_.
Terakhir klaster keempat, yakni Kelompok Kerusakan Lingkungan. Kelompok ini kerap bersuara tentang aktivitas pertambangan disebut sebagai penyebab banjir di wilayah tertentu seperti Raja Ampat. Kondisi sungai menjadi keruh dan memerah lumpur mengindikasikan adanya kerusakan di bagian hulu yang menyebabkan banjir di hilir. Top influencer klaster ini yakni @SorajimaAnzu dan @projectm_org.
Dari keempat klaster tersebut, top narasi penyebab banjir adalah 'hujan deras'. Media massa secara konsisten membingkai 'hujan deras' sebagai penyebab utama dan seringkali menjadi satu-satunya dalam laporan banjir di berbagai daerah, seperti di Ogan Komering Ulu, Lembang, dan Musi Rawas Utara. Bahkan narasi simplistik ini diadopsi dan dipolitisasi di media sosial untuk menyerang figure politik, seperti menyindir Gibran Rakabuming Raka karena pernah menyalahkan 'curah hujan tinggi'.
Saat banjir Bali misalnya, BMKG merilis informasi soal penyebab banjir, yakni munculnya fenomena Madden Julian Oscillation yang aktif bersamaan dengan gelombang Kelvin dan Rosby, sehingga menyebabkan hujan berkepanjangan yang berimbas pada banjir parah di sejumlah wilayah di Bali.
Mirisnya informasi itu langsung diamplifikasi plek ketiplek oleh media mainstream, bahkan saling berebutan untuk menjadi yang paling pertama menginformasikan. Secara teori mungkin tidak ada yang salah, tapi secara konteks, rilisan berita itu bisa disebut mengandung misinformasi, karena mengklaim hujan sebagai penyebab tunggal banjir, tanpa menyinggung perubahan iklim dan menjawab pertanyaan besar masyarakat mengapa ada hujan berkepanjangan di musim kemarau.
Bola Salju Misinformasi
Menurut The Debunking Handbook (2020), misinformasi sepadan maknanya dengan informasi keliru, tetapi orang dengan sadar menyebarkannya dan percaya bahwa itu benar. Misinformasi disebarkan karena kesalahan atau ketidaktahuan dengan tanpa maksud menyesatkan.
Secara teknis memang benar tapi menyesatkan, karena banyak orang tidak mengetahui fakta yang sebenarnya, fakta terbarunya, dan bahkan keliru menangkap informasi. ‘Misinformasi’ akan menjadi bola salju yang sangat berbahaya jika dikawinkan dengan kata ‘perubahan iklim’ menjadi frasa ‘misinformasi perubahan iklim’, karena dampaknya akan terus berlipat ganda bukan hanya sekadar salah menerima informasi.
Misinformasi perubahan iklim sebenarnya bukan barang baru. Laporan International Panel on the Information Environment (IPIE), bertajuk Facts, Fakes, and Climate Science, Recommendations for Improving Information Integrity about Climate Issues yang baru-baru ini dirilis menyebutkan, taktik penyebaran misinformasi perubahan iklim sekarang telah mengalami perubahan, dari yang sebelumnya sekadar menyangkal, sekarang menjadi berusaha skeptis terhadap adanya perubahan iklim.
Misinformasi perubahan iklim, menurut laporan yang disusun konsorsium global beranggotakan lebih dari 250 ilmuwan dari 55 negara itu, memang sengaja disebarkan oleh pihak-pihak yang sebenarnya berpendidikan dan kreatif dalam menyusun pesan demi mengambil keuntungan kelompoknya. Pihak-pihak tersebut antara lain korporasi besar, lembaga pemerintahan, dan partai politik.
Imbas dari misinformasi perubahan iklim yang berseliweran di media sosial bahkan di media mainstream itu, tentu akan membentuk opini publik yang berujung pada ter-disrupsi-nya upaya-upaya mengatasi perubahan iklim, sehingga apa yang seharusnya dilakukan menjadi ‘kabur’. Dalam konteks persoalan banjir Bali misalnya, upaya itu tergantikan dengan pemikiran pasrah yang kedengarannya ilmiah: banjir disebabkan oleh hujan.
Padahal jika ditelisik lebih dalam, hujan bukan penyebab tunggal banjir parah yang melanda Bali awal September 2025 silam. Faktor pemicu lainnya adalah alih fungsi lahan yang terjadi secara gila-gilaan.
Mari Terlisik Lebih Dalam
Pengamat Tata Kota Universitas Udayana Putu Rumawan Salain, saat dihubungi Tim Regional Liputan6.com mengatakan, banjir awal September silam bisa dibilang sebagai banjir yang terbesar dan terparah yang pernah terjadi di Bali, dengan memakan korban jiwa terbanyak dan hampir seluruh wilayah Bali mengalaminya.
"Ini sebagai dampak dari perencanaan, tapi semua itu kan tingkah polah manusia, yang melakukan kegiatan di atas bumi. Jadi ini adalah sebagai peringatan kepada kita untuk mencermati dan tunduk kepada tata ruang yang sudah dirancang," kata Putu Rumawan.
Putu juga mengungkapkan, banyak pelanggaran yang dilakukan pemerintah soal alih fungsi lahan dan kepemilikanya, yang akhirnya menjadi salah satu pemicu banjir parah di Bali. Putu juga tidak memungkiri bahwa pariwisata Bali yang jadi trigger utama banyaknya perubahan fungsi dan pemanfaatan lahan di Bali.
Pariwisata secara langsung mendorong makin tingginya jumlah penduduk di Bali. Banyak orang mencari kerja di Bali di samping juga angka kelahiran yang tinggi. Sehingga Bali penduduk Bali saat ini sudah mencapai angka 4 juta lebih, dan di Denpasar sudah hampir 1 juta penduduk.
"Bayangkan di kota yang sekecil ini luasnya (Denpasar)," kata Rumawan.
Kepadatan penduduk itu, katanya, akan mendorong banyak orang untuk memanfaatkan lahan sekecil-kecilnya sebagai tempat tinggal. Pada akhirnya sempadan atau daerah-daerah di pinggir sungai 'dirampok' sehingga daerah aliran sungai menyempit.
"Belum lagi akibat pendangkalan, pencurian lahan untuk bangunan dan lain-lain, itu menjadikan semakin susah penyaluran air dari penyaluran primer sampai ke tersier," ungkap Rumawan.
Peralihan daerah sawah menjadi permukiman juga mengubah tata ruang kota sehingga saat terjadi hujan, airnya meluap, air kemudian mencari jalannya sendiri ke tempat yang rendah, seperti Denpasar.
"Di sisi selatan ini kan daerah dataran yang paling rendah, diserbu oleh hujan berbagai daerah di hulu, dari Tabanan, diserbu dari Gianyar," katanya.
Putu Rumawan juga menjelaskan, sebenarnya dalam rencana tata kota dan tata ruang Provinsi Bali, yang sudah direvisi 2023, sudah diatur untuk tidak menambah slot pada titik-titik perkembangan pariwisata.
"Sekarang ini kan banyak sekali tumbuh bahkan membuat konflik di daerah-daerah masyarakat kan ada adat yang dibenturkan, ada politik yang terbenturkan, karena investor bawa uang itu berlindung di balik kekuasaan dan di balik adat, jadi kan yang konflik masyarakat," kata Rumawan.
Dirinya mewanti-wanti pemerintah, dalam hal ini, harus tegas menegakkan peraturan yang ada, karena sekarang bukan hanya kerugian materi sebagai imbasnya, tapi juga memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Menurut Rumawan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah agar banjir parah tidak terulang lagi, antara lain pertama, penegakan aturan tata ruang dan tata kota.
Kedua, di dalam pengurusan izin-izin pembangunan harus tegas. Garis sempadan bangunan samping, belakang, depan, itu harus dipenuhi. Lahan di Bali yang sudah sempit ini karena pembangunan pariwisata, sangat susah dicari lahan yang bisa menyerap air, kalau pun ada presentasenya tidak banyak.
"Banyak lahan sudah ditutup sama beton paving, atau batu sikat bumi tidak meresap air lagi jadi tidak ada kemampuan bumi tidak pernah napas dan tidak minum seolah-olah begitu dan ketika dia tidak kuat dia melempar semua yang dia muntahkan," kata Rumawan.
Rumawan menegaskan, hujan tidak perlu disalahkan dan dicap sebagai pemicu banjir besar. Yang diperlukan saat ini adalah kejernihan berpikir untuk mencegah dan menanggulangi jika sewaktu-waktu hujan turun dengan deras.
"Mungkin turis juga tidak mau datang, kalau kita saja tidak bisa mencegah dan menanggulangi banjir," katanya.
Alihfungsi Lahan Gila-gilaan
Setali tiga uang dengan pandangan Putu Rumawan, Direktur Walhi Bali Made Krisna Dinata kepada Tim Regional Liputan6.com mengatakan, degradasi lingkungan yang ditandai dengan alih fungsi lahan gila-gilaan, khususnya lahan pertanian diubah menjadi bangunan, merupakan pemicu awal dari rentannya Bali terhadap bencana hari ini.
"Terkait penurunan atau perubahan lahan sawah, kami coba mengcapture pada wilayah empat kabupaten di Bali, yakni Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan atau yang dikenal sebagai kawasan Sarbagita," katanya.
Dari rentang waktu 2018 hingga 2023 tergambar, perkembangan wilayah dan pertumbuhan lahan terbangun menjadi salah satu penyebab berkurangnya luasan lahan pertanian khususnya sawah di wilayah Metropolitan Sarbagita.
Persentase penyusutan lahan sawah berkisar antara 3-6% dari luas wilayah masing-masing kabupaten/kota. Kota Denpasar mengalami penurunan lahan sawah sebanyak 784,67 Ha atau 6,23% dari luas wilayah.
Luasan sawah di Kabupaten Badung berkurang sebanyak 1099,67 Ha dan Kabupaten Gianyar berkurang 1276,97 Ha. Penyusutan lahan sawah terbesar berada di Kabupaten Tabanan, yaitu seluas 2676,61 Ha. Konsekuensi dari perkembangan wilayah mengakibatkan kebutuhan lahan dan memicu terjadinya alih fungsi lahan pertanian.
Hilangnya lahan pertanian tentu juga akan menghilangkan fungsi dari Subak (sistem irigasi tradisional Bali), terutama dalam fungsinya sebagai sistem hidrologis alami. Subak memiliki fungsi sebagai saluran irigasi dan mendistribusi air yang turut menjaga dan mengatur sistem hidrologis air. Pakar Subak Profesor Windia pernah mengatakan, setiap 1 hektare sawah mampu menampung 3.000 ton air apabila tinggi airnya 7 cm.
"Jika lahan pertanian dan Subak makin banyak berubah atau beralih fungsi menjadi bangunan, tentu hal itu akan mengganggu sistem hidrologis air alami yang ada, air menjadi tidak tertampung dan teririgasi dengan baik, sehingga timbulah banjir seperti yang kita lihat ini," ungkap Krisna.
Krisna juga tak bisa bohong, penerapan tata ruang di Bali sangat buruk. Banyak kasus rencana pembangunan yang kerap melabrak tata ruang, misal pembangunan akomodasi pariwisata yang mengalih fungsikan lahan sawah dan perkebunan menjadi bangunan, atau pembangunan yang melabrak sempadan pantai dan sempadan sungai. Bahkan pembangunan yang ‘dikebut’ di kawasan rawan bencana.
"Hal ini tentu akan menjadi suatu kombinasi yang sangat krusial yang mengantarkan Bali pada situasi kerentanan terhadap bencana. Salah satunya banjir," katanya.
Krisna hanya bisa berharap, ada upaya nyata dari Pemda dalam memitigasi potensi ancaman bencana di kemudian hari, salah satunya dengan menghentikan segala bentuk pembangunan yang berpotensi menyebabkan alih fungsi lahan.
"Penghentian atau moratorium pembangunan akomodasi pariwisata yang massif di kawasan sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan) semestinya menjadi Langkah yang harus dilakukan,” katanya.
Pemda dan pihak terkait juga harus bisa melakukan penegakan aturan tata ruang terhadap setiap pembangunan yang melabrak sempadan pantai dan sempadan sungai, begitupun dengan proyek yang mengancam kerusakan hutan dan pesisir di Bali.
Melakukan pemulihan dan tindakan nyata di berbagai titik atau lahan kritis di Hulu Bali, serta menghentikan atau paling tidak memikirkan ulang ambisi membangun mega proyek yang mengorbankan lahan pertanian, seperti rencana pembangunan Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi, pengembangan kawasan Pelabuhan Sangsit, serta pembangunan akomodasi pariwisata yang sangat massif dilakukan, baik di Kota Denpasar maupun di Badung.
"Yang paling urgent sekarang tentu meninjau ulang dan memperhatikan bagaimana status drainase serta DAS Badung yang dikatakan menjadi faktor krusial penyebab banjir. Hal ini mesti dibarengi dengan memprioritaskan tata kelola lingkungan hidup yang berasaskan perlindungan dan pemulihan," katanya.
Dari paparan itu, persoalan banjir yang kerap terjadi berulang di berbagai daerah di Indonesia, sudah seharusnya masuk ke perbicangan yang lebih maju tentang pemanasan global, perubahan iklim, rusaknya tata ruang, parahnya industri ekstraktif, dan lain sebagainya. Bukan hanya berkutat pada persoalan yang sifatnya kodrati: banjir disebabkan hujan, atau yang lebih parah banjir disebabkan oleh azab Tuhan. Padahal Tuhan sendiri dalam QS Al-Qaf ayat 9 mengatakan, "Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh keberkahan lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam.”
REFERENSI:
Analisis Narasi Digital Drone Emprit Terkait Penyebab Banjir di Indonesia
The Debunking Handbook (2020)
Wawancara Pengamat Tata Kota Universitas Udayana Putu Rumawan Salain
Wawancara Direktur Walhi Bali Made Krisna Dinata