Liputan6.com, Jakarta Kisah sukses industri rumahan opak singkong asal Sukabumi, Yammy Babeh, menunjukkan potensi besar produk lokal di pasar internasional. UMKM yang dikelola oleh pasangan Ade Sulistiowati (48) dan suaminya, Sahroni (58), ini berhasil mengekspor puluhan ton opak singkong, terbaru ke Brunei Darussalam.
Ade Sulistiowati menceritakan, bisnis yang dimulai dari kebangkrutan sang suami pada 2016 ini berawal dari modal yang sangat minim.
"Awalnya modalnya hanya Rp 50.000. Kalau dulu kita itu satu hari cuma 10 kilogram produksi, hari ini kita sudah 140 kilogram," ujar Ade di Gedung Juang Kota Sukabumi, Kamis (9/10/2025).
Saat ini, produksi opak singkong Yammy Babeh telah mencapai skala ekspor dengan omzet fantastis. Untuk satu kontainer ekspor, nilai jualnya mencapai Rp 228 juta.
"Ekspor itu sudah dimulai sejak 2018. Karena sering banget ikut yang namanya inkubasi, salah satunya ada Ekspor Coaching Program UKM dari Kemenkop tahun lalu, di pameran Trade Expo Indonesia (TEI) saya dapat buyer itu," jelas Ade mengenai pintu masuk ke pasar global.
Selain ke Brunei Darussalam, opak singkong Yammy Babeh juga sudah merambah Kanada, Republik Dominika, Australia, Singapura, Hong Kong dan Malaysia.
Saat ini, mereka sedang memproses ekspor ke Korea Selatan, dengan target ambisius: ekspor ke lima benua.
Untuk memenuhi permintaan pasar, Yammy Babeh melibatkan warga sekitar dan siswa. Total pegawainya saat ini mencapai 20 orang, dibantu oleh 25 siswa SMK Hasinah di Sukaraja sebagai bagian dari praktik kerja industri.
Kendala dan Bahan Baku Unggulan
Meskipun sukses, Ade mengakui ada tantangan besar yang dihadapi, terutama masalah rumah produksi.
"PR terbesar adalah rumah produksi karena saya belum punya. Kalau yang kedua, karena produk saya dijemur, jadi kendalanya adalah matahari," ungkapnya.
Ia juga sempat mengalami kerugian sekitar Rp 15 juta akibat penipuan saat membeli mesin packing.
Ade optimistis karena ketersediaan bahan baku di Sukabumi sangat melimpah, yakni singkong khusus yang dikenal dengan nama Singkong Manggu.
"Singkong itu berlimpah. Kenapa Singkong Manggu? Karena rasanya manis, jadi enak. Kami bilang pulen legit," tambahnya.
Respons Menteri Koperasi dan UKM
Di lokasi yang sama, Menteri Koperasi dan UKM Maman Abdurrahman menanggapi kisah sukses ini, menyebutnya sebagai bukti keberhasilan program pendampingan pemerintah.
Maman menjelaskan, pemerintah meluncurkan program Kemudahan Usaha Mikro Bermitra (Kumitra) untuk mengatasi masalah klasik UMKM.
"Selama ini salah satu yang membuat usaha mikro kita susah sekali untuk tumbuh atau naik kelas karena sering sekali dibiasakan sendirian," kata Maman di Gedung Juang Kota Sukabumi.
Menurutnya, UMKM sering hanya fokus memproduksi tanpa memikirkan aspek penjualan.
"Mau membuat produk sebanyak apapun kalau misalnya tidak ada kepastian yang membeli, yang mengambil, tidak menjadi penjualan," tegasnya.
Program Kumitra bertujuan menyambungkan rantai pasok antara usaha mikro dan usaha besar. Di antara manfaatnya usaha mikro mendapat jaminan pendampingan dan pelatihan untuk peningkatan kualitas produk.
Kemudian usaha mikro mendapat jaminan kepastian offtaker (pembeli), yang memudahkan mereka mencari akses pembiayaan karena ada kepastian pasar.
"Kami sadar pembangunan rantai pasok kemitraan ini memang beberapa waktu lalu masih kurang, itulah yang menyebabkan usaha mikro kita susah sekali untuk tumbuh dan naik," ujar Maman.
Saat ini, Kemenkop UKM juga berkolaborasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan karena sebagian besar usaha mikro dibina oleh ibu-ibu rumah tangga.
Selain itu, ada arahan khusus dari Presiden untuk memberikan perhatian kepada penyandang disabilitas melalui program ini.
Dana Non-KUR Rp 200 Triliun
Saat ditanya mengenai dana non-KUR sebesar Rp 200 triliun, Maman meluruskan bahwa anggaran tersebut bukan berasal dari Kemenkop UKM, melainkan dari Kementerian Keuangan berdasarkan arahan Presiden.
"Anggaran Rp 200 triliun itu yang mengendap di Bank Indonesia dalam rangka untuk memberikan stimulus ekonomi dan menggerakkan ekonomi di bawah dan daerah," jelasnya.
Dana tersebut didistribusikan melalui bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) untuk sektor produksi.
Maman menekankan, dana Rp 200 triliun ini adalah anggaran bisnis ke bisnis (B2B) dan tidak bersubsidi, berbeda dengan skema KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang bersubsidi.
"Kami mendorong agar sektor-sektor ekonomi dan sektor produksi bisa bergerak dan akhirnya akan menggerakkan ekonomi di dalam, baik itu dari yang mikro, kecil, menengah sampai yang besar," tutup Maman.