Investor Ritel Dominasi Pasar, HSBC Tetap Optimistis pada IHSG

1 month ago 31

Liputan6.com, Jakarta - Pasar saham Indonesia menunjukkan kebangkitan signifikan sejak awal kuartal II 2025 didorong oleh saham-saham energi dan teknologi seperti emiten data center.

Head of Equity Strategy Asia Pacific HSBC Investment Global Research, Herald van der Linde menilai kondisi ini masih menyisakan ruang kenaikan, didukung oleh valuasi yang menarik serta potensi arus masuk investor lokal maupun asing.

Dia menilai, pasar saham Indonesia sempat menjadi salah satu yang berkinerja terburuk pada awal tahun akibat kekhawatiran berlebihan terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketidakpastian seputar struktur pasar.

“Pasar saham Indonesia sempat menjadi salah satu yang berkinerja paling buruk sejak awal tahun. Namun itu mulai berubah di awal April dan semakin menguat setelah akhir Juni,” ujarnya dalam media briefing, Jumat (8/8/2025).

Herald menjelaskan reli yang terjadi sejak dua bulan terakhir lebih banyak didorong oleh saham berkapitalisasi menengah (mid-cap), terutama dari sektor energi serta perusahaan yang terkait teknologi kecerdasan buatan (AI), seperti emiten data center PT DCI Indonesia Tbk.

Prospek Menengah IHSG

Dia menuturkan, pemulihan pasar juga dipicu oleh arus dana domestik. Investor ritel tercatat mendominasi sekitar 50% transaksi selama periode tersebut.

Selain faktor teknikal, HSBC juga melihat prospek jangka menengah IHSG masih menjanjikan, terutama karena valuasi yang tergolong rendah dibanding negara kawasan maupun historisnya sendiri. Saat ini, IHSG diperdagangkan di kisaran 12 kali price-to-earnings ratio (PER), sedikit di bawah rata-rata regional.

“Indonesia tetap menjadi pasar dengan nilai yang cukup menarik. Sebagian besar investor asing masih menunggu, tapi ada tingkat kepercayaan yang cukup besar bahwa pertumbuhan sedang pulih,” ia menambahkan.

Perlu Banyak Perusahaan Tercatat di BEI

Herald menyebutkan untuk mendorong pertumbuhan pasar modal lebih lanjut, Indonesia perlu memperbanyak perusahaan yang melantai di bursa. Hal ini penting agar bisa bersaing dengan negara-negara tetangga seperti India, Malaysia, dan Vietnam, yang saat ini aktif mendorong IPO.

Untuk sisa tahun 2025, HSBC tetap optimistis terhadap pasar saham Indonesia. Target indeks yang ditetapkan sebelumnya berada di level 7.620, yang dinilai sudah hampir tercapai mengingat IHSG telah menembus 7.500.

Dalam hal sektoral, HSBC kini menyarankan investor untuk mulai mempertimbangkan saham-saham berkapitalisasi besar, terutama sektor perbankan dan konsumsi, yang sebelumnya tertinggal dalam reli pasar.

HSBC Ramal Aset Berisiko Tetap Menjanjikan pada 2025

Sebelumnya, HSBC Global Private Banking (HSBC GPB) memperkirakan aset berisiko akan tetap menjanjikan di paruh pertama tahun 2025.

Proyeksi itu didukung oleh prospek ekonomi global yang sehat, meluasnya pertumbuhan pendapatan perusahaan dan pemangkasan suku bunga bank sentral di sejumlah negara.

Bank tersebut juga memperkirakan bahwa kinerja saham akan mengungguli obligasi, dan kinerja obligasi akan lebih baik daripada simpanan tunai. 

HSBC GPB memiliki pandangan overweight terhadap saham global dan netral terhadap obligasi global. Meski demikian, bank tersebut tetap melakukan pendekatan secara aktif dan taktis dalam memilih obligasi yang tepat agar tetap menghasilkan keuntungan.

Untuk mengurangi risiko geopolitik dan perdagangan dunia yang masih dibayangi ketidakpastian, HSBC GPB berpandangan overweight secara taktis pada hedge fund dan emas, sebagai sarana lindung nilai dari risiko ekstrem dan untuk diversifikasi portofolio. 

Posisi Dolar AS

Adapun posisi Dolar AS (USD) yang diperkirakan akan tetap kuat dalam waktu dekat.

"Sepanjang tahun 2024, portofolio investasi yang terdiversifikasi terbukti jauh lebih unggul dibandingkan hanya menyimpan uang tunai. Kami perkirakan tren ini akan berlanjut di tahun 2025. Meskipun kebijakan-kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang baru menimbulkan ketidakpastian dalam kebijakan domestik, perdagangan, dan keuangan, kami yakin bahwa pemotongan pajak dan deregulasi akan berdampak positif bagi aset-aset berisiko di Amerika Serikat," kata Fan Cheuk Wan, Chief Investment Officer, Asia, Global Private Banking and Wealth HSBC dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (12/1/2025).

Hal ini memperkuat overweight taktis terbesar pada saham Amerika Serikat dan saham global. 

HSBC juga berpandangan bullish terhadap Dolar AS.

"Selain itu, kami juga overweight pada saham Inggris, Jepang, India, dan Singapura karena potensi pertumbuhan dan profil risiko-imbal balik yang menarik dari aset-aset tersebut," ungkap Fan Cheuk Wan.

Kondisi Risk-on Kurangi Daya Tarik Obligasi Safe-Haven

Fan Cheuk Wan membeberkan, kondisi risk-on mengurangi daya tarik obligasi safe-haven. Selain itu, selisih imbal hasil juga relatif ketat.

"Oleh karena itu, HSBC GPB berpandangan netral terhadap obligasi global dan lebih memilih strategi investasi obligasi yang lebih aktif di tengah peningkatan fluktuasi suku bunga. HSBC GPB memperkirakan bahwa risiko geopolitik dan ketidakpastian perdagangan akan meningkatkan permintaan terhadap investasi lindung nilai terhadap risiko ekstrem dan untuk diversifikasi portofolio, sehingga mendukung overweight kami terhadap emas dan hedge funds, serta alokasi strategis pada pasar privat," tambahnya.

Adapun bank sentral di berbagai negara, kecuali Bank Sentral Jepang, akan menurunkan suku bunga dalam waktu dekat.

"Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) diperkirakan akan terus menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin secara bertahap pada Maret, Juni dan September 2025. Hal ini akan membuat suku bunga acuan di Amerika Serikat berada di kisaran 3,50% - 3,75% pada September 2025," kata Fan.

Pertumbuhan ekonomi di Asia, di luar Jepang, juga diperkirakan tetap tangguh pada kisaran 4,4% pada tahun 2025, di atas rata-rata pertumbuhan global sebesar 2,7%, berkat pertumbuhan domestik yang kuat di India dan negara-negara ASEAN, serta meluasnya stimulus kebijakan China.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |