Liputan6.com, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG melemah tajam pada sesi pertama perdagangan Senin, 23 Juni 2025. IHSG ditutup melemah 117,43 poin atau 1,70% ke level 6.789,71. Tekanan jual terbesar datang dari sektor energi melemah 11,745 poin, non-siklikal turun 8,883 poin, dan material dasar susut 8,169 poin.
Saham-saham big cap atau kapitalisasi besar antara lain BBRI, ANTM, dan BBCA mendominasi nilai transaksi. Sementara GOTO, BUMI, dan ENRG tercatat sebagai saham dengan volume perdagangan tertinggi.
Di sisi lain, saham MKPI, PNSE, dan DNET menjadi jajaran top gainer. Namun, tekanan pasar yang kuat membuat banyak saham mengalami koreksi ekstrem hingga menyentuh batas auto rejection bawah (ARB). Saham-saham tersebut tersebar di berbagai sektor, menandakan tekanan pasar yang luas.
Merujuk saat Stockbit, berikut daftar sementara saham yang sentuh ARB pada perdagangan hari ini:
• MBSS turun 15,00% ke posisi 1.445
• IOTF turun 14,97% ke posisi 125
• SSTM turun 14,91% ke posisi 194
• LABA turun 14,89% ke posisi 160
• CINT turun 14,72% ke posisi 168
• PTBA turun 14,58% ke posisi 2.520
• FUTR turun 14,49% ke posisi 59
• OBAT turun 13,83% ke posisi 324
• TGKA turun 13,57% ke posisi 6.050
• AGAR turun 13,24% ke posisi 236
Kinerja IHSG Sepekan
Sebelumnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 3,61% dalam sepekan di level 6.907 dibandingkan pekan sebelumnya pada penutupan perdagangan, Jumat, 20 Juni 2025. Di masa penurunan IHSG ini investor asing melakukan penjualan (outflow) mencapai Rp 4,6 triliun di pasar reguler.
Di sisi lain, secara teknikal IHSG saat ini sudah menembus area psikologis 7.000 yang menandakan kecemasan pelaku pasar.
"Ada pattern double top pada timeframe daily IHSG dan hal ini di konfirmasi pada perdagangan jumat lalu bahwa area neckline dari double top sudah tertembus dan cenderung mengarah bearish," ulas Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas, David Kurniawan.
David berpendapat pelemahan IHSG dipengaruhi sentimen global dan domestik. Dari global ada political will US yang membuat investor global sedikit lega setelah Presiden AS menunda aksi militer di Timur Tengah dalam dua minggu untuk memberi ruang diplomasi.
Kendati demikian, volatilitas masih tinggi karena ketidakpastian geopolitik dan harga minyak yang fluktuatif di sekitar USD 75–78 per barel. Selanjutnya terkait suku bunga The Fed yang dipertahankan di 4,25–4,50%, pelaku pasar melihat kebijakan ini lebih mengarah hawkish karena inflasi masih tinggi, sedangkan Swiss dan Norwegia justru memotong suku bunga sebagai respons terhadap tekanan mata uang dan ekonomi lokal.
Sementara itu dari domestik, ada suku bunga Bank Indonesia yang ditahan di leveli 5.50. Keputusan ini diambil untuk menjaga stabilitas rupiah, khususnya menyusul penguatan dolar dan tekanan eksternal dari kebijakan suku bunga AS. Terkait potensi energi terbarukan, Indonesia menargetkan 23% bauran energi terbarukan pada 2025, sebuah langkah signifikan menuju transisi energi bersih.
Saham Berjangka AS
Sebelumnya, harga saham berjangka Amerika Serikat (AS) tersungkur menjelang sesi perdagangan pada Senin, (23/6/2025) setelah Amerika Serikat memasuki perang Israel melawan Iran selama akhir pekan. Hal ini setelah AS menyerang tiga lokasi nuklir. Langkah Presiden AS Donald Trump ini menaikkan harga minyak dan berisiko memicu konflik yang lebih besar di Timur Tengah.
Mengutip CNBC, indeks Dow Jones turun 109 poin atau 0,3%. Indeks S&P 500 susut 0,3% dan indeks Nasdaq merosot 0,4%.
Amerika Serikat melancarkan serangan pada Sabtu di lokasi-lokasi Iran di Fordo, Isfahan, dan Natanz mengejutkan investor yang mengharapkan kemungkinan ada diplomasi lebih lanjut. Hal ini setelah Trump mengatakan pada Jumat pekan lalu kalau ia akan membuat keputusan untuk menyerang Iran dalam dua minggu ke depan, menurut Gedung Putih.
Harga minyak telah melonjak dalam beberapa minggu terakhir menyusul meningkatnya ketegangan di Timur Tengah. Pada Minggu malam, harga minyak mentah berjangka AS naik 3,8% lagi menjadi hampir USD 77 per barel.
“Ketika terjadi konflik, Anda akan bereaksi berlebihan, reaksi spontan yang cenderung berlebihan, yang dapat berlangsung dua hingga tiga minggu,” ujar Chief Global Strategist Freedom Capital Markets, Jay Woods.
Pada Sabtu malam setelah serangan itu, Trump menuturkan akan ada perdamaian atau akan ada tragei bagi Iran yang jauh lebih besar daripada yang telah disaksikan selama delapan hari terakhir.
“Sekarang para pelaku pasar bersiap menghadapi pembalasan Iran. Negara itu dapat menargetkan personel AS di pangkalan terdekat atau menutup Selat Hormuz yang akan sangat mengganggu aliran minyak global,” kata dia.
Prediksi Harga Minyak
Pemblokiran selat yang berkepanjangan dapat mendongkrak harga minyak di atas USD 100 per barel.
Dalam wawancara Minggu lalu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio meminta pemerintah China untuk turun tangan dan mencegah Iran menutup rute penerbangan utama.
China tetap menjadi pelanggan minyak terpenting Iran. "Sekarang dengan AS yang terlibat penuh dalam konflik tersebut, harga dasar minyak telah bergeser ke kisaran pertengahan USD 80-an per barel memasuki tahap kedua dari konflik regional satu pihak ke konflik yang dikelola AS," kata Ahmad Assiri dari Pepperstone.
"Bahkan jika Iran tidak secara fisik menutup selat atau menyerang tangki minyak, peningkatan probabilitas dari sekitar 5% menjadi sekitar 15% saja akan menciptakan premi dalam harga minyak mentah,” ia menambahkan.
Indeks S&P 500 turun 0,15% minggu lalu untuk minggu negatif kedua berturut-turut. Meskipun mengalami penurunan, patokan ditutup pada Jumat sekitar 3% dari rekor. Lonjakan harga minyak dan perang yang lebih besar di Timur Tengah menambah ancaman lain bagi pasar saham dan ekonomi, yang sudah berhadapan dengan perubahan perdagangan global yang tergesa-gesa oleh Trump tahun ini.