Liputan6.com, Bandung - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyebut, masyarakat adat adalah manusia kiwari yang paling sejahtera di tanah Jawa Barat. Masyarakat luas dinilai mesti belajar ulang menata peradaban pada mereka yang sepanjang hayat telah menjaga ulayat, di kabuyutan-kabuyutan, di padukuhan-padukuhan, tatar Sunda.
Tak hanya makmur dengan kemandirian pangan, selama ini masyarakat adat konsisten sebagai pelestari alam yang sungguhan, dan penata lingkungan sosial-masyarakat yang lebih adil, rukun dan damai.
“Hari ini, dari literatur yang saya baca menunjukan bahwa di kampung-kampung adat itulah kemakmuran terjadi. Jadi, kalau bicara riset, siapakah manusia yang paling sejahtera di Jawa Barat? Manusia yang tinggal di kampung adat,” kata Dedi Mulyadi di Subang, diikuti lewat unggahan siaran Lembur Pakuan, Rabu, 4 Juni 2025.
“Kehidupannya tenang tentram, bukankah ini yang dikejar oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat?” tanya dia.
Pada kesempatannya, gubernur yang dilandih Bapak Aing itu, menawarkan perspektif soal riwayat Siliwangi. Menurutnya, Prabu Siliwangi bukan ngahiang berubah jadi maung.
Tapi, suatu masa, “melakukan perubahan diri, dari seorang raja kemudian turun tahta, menjadi seorang biasa, bertani membangun kampung-kampung adat yang disebut dengan padukuhan dan kabuyutan”.
Maka, sambung Dedi, lahirlah citra-rasa kabuyutan-kabuyutan seperti kampung adat Sirnaresmi, Ciptagelar, Kanekes, Kampung Naga, Cigugur. “Itu sebetulnya pengembaraan, dia menyampaikan bahwa dia ada pada seluruh relung masyarakat Sunda”.
Dedi Mulyadi memuji kearifan masyarakat adat antara lain mengenai model pengelolaan tanah yang kolektif, dengan sistem kepemilikan yang tidak didasarkan pada penguasaan individual tapi nilai spiritual.
“Tidak ada kepemilikan hak personal, jadi manusia tidak boleh mengklaim itu sawah saya, tapi dia hanya menggarap saja. Ini (tanah) yang punya Hyang Tunggal,” katanya.
Spirit lain yang patut dicontoh adalah sikap mawas diri masyarakat adat sebagai manusia yang terhubung dengan semesta alam. Sikap mereka yang rendah hati dan terbiasa berbagi kepada semua makhluk, jauh dari sikap kemaruk.
“Orang wiwitan itu kalau berdoa nanam padi bukan minta hasilnya melimpah, tapi ‘Hyang Tunggal, kula melak pare, pek bising beurit hayang, pek bising manuk hayang, pek bising careuh hayang, sesakeun weh kengen kula dahar sa-anak incu'. (Hyang Tunggal, aku menanam padi, silakan jika tikus pun mau, silakan jika burung pun mau, silakan jika musang pun mau, maka sisakan saja untuk makan anak cucu kami).”
Pamali Nambang
Sebelumnya, Dedi Mulyadi, menyampaikan, orang Sunda pamali berbisnis tambang. Lebih baik bertani, katanya. Ia mempertanyakan ulang apakah eksploitasi alam lewat pertambangan benar-benar membuat rakyat makmur?
Pernyataan itu disampaikannya pada pidato berbahasa Sunda dalam rangka Hari Jadi Bogor ke-534, saat Rapat Paripurna DPRD Kota Bogor, Selasa, 3 Juni 2025.
Pamali biasa dipahami sebagai larangan dalam tata nilai atau kearifan budaya Sunda. Antara lain, kerap dikaitkan dengan suatu perbuatan yang bisa mengundang marabencana.
“Cik pang damelkeun riset, tunjukeun ka kuring, daerah mana anu terus-terusan ditambang rakyatna subur makmur? Cik tunjukeun ka kuring, di daerah mana nu taneuhna ditambang terus-terusan, taneuhna ditugaran, rakyatna gemah ripah repeh rapih tentrem ayem?
(Coba buatkan riset, tunjukan pada saya, daerah mana yang terus-terus ditambang rakyatnya makmur? Coba tunjukkan pada saya, di daerah mana yang tanahnya terus ditambang, rakyatnya tentram?)” kata Dedi Mulyadi dikutip Liputan6.com lewat siaran daring.
“Di Sunda kunoan batuan mineral disumputkeun dinu halimun? Sabab urang Sunda pahing nambang, teu meunang. Pamali. (Di Sunda, kenapa batuan mineral disembunyikan halimun? Sebab urang Sunda tak boleh nambang. Pamali),” klaimnya.
Bagi orang Sunda, katanya, tanah adalah Sunan Ambu atau Ibu Pertiwi. Karenanya, tanah harus dimuliakan sebagaimana manusia memuliakan ibunya. Dedi pun menyetarakan eksploitasi alam secara kemaruk dengan pemerkosaan.
“Tapi kenapa Sunan Ambu, Ibu Pertiwi, diperkosa wae?” katanya.
Peradaban Gunung dan Laku Tani
Tanah Sunda adalah tanah yang subur. Dedi Mulyadi percaya, kemakmuran di Jawa Barat bisa dicapai lewat pertanian, bukan pertambangan.
Ia mengingatkan, gunung sudah sejak dahulu kala menjadi penopang peradaban Sunda. Bogor beserta Gunung Salaka atau Gunung Salak merupakan bagian dari sejarah kejayaan masyarakat Sunda, rakyat Pakuan Pajajaran yang agraris, pada masanya.
Dengan tanah yang subur, orang Sunda tidak perlu mengeruk tanah dalam-dalam, hanya butuh menggali secukupnya guna menanam aneka benih. Karenanya, kata Dedi, orang Sunda jangan membolongi gunung, membuat galian-galian, mengeksploitasi ragam mineral bumi.
“Kulantaran lapisan taneuhna geus subur, teu kudu digalian taneuhna ujang, dipelakan taleus oge jadi taleus Bogor, dipelakan kadu oge jadi kadu Bogor, dipelakan rambutan oge jadi rambutan Bogor, dipelakkan manggu oge jadi manggu Bogor.
(Sebab lapisan tanahnya sudah subur, tidak perlu digali tanahnya ujang, ditanam talas juga jadi talas Bogor, ditanam pohon durian jadi durian Bogor, ditanam pohon rambutan jadi rambutan Bogor, ditanam manggis jadi manggis Bogor)” katanya.
Laku agraris yang jauh dari pertambangan, sambung Dedi, bukanlah suatu ciri kemunduran. Sebaliknya, pertanian Sunda mesti hudang alias bangkit guna menjelang kemajuan dan kemakmuran seperti Selandia Baru, kiwari.
“Aya nagara nu subur makmur ngaranna Selandia Baru, New Zeland, wargana dilarang nambang, padahal kekayaan mineralna luar biasa, lamun ditanya ‘nanti akan kami gali ketika pada suatu saat seluruh cadangan alam di dunia sudah habis. Kalau kami terpaksa kami akan menggalinya, tapi kami sudah makmur dengan domba, dengan apel, dengan hasil pertanian. Kami memuliakan alam’”.