Cerita Awal Ekskavasi Fosil Gajah Purba Stegodon di Nganjuk

2 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta Tim Museum Geologi Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan kegiatan ekskavasi fosil gajah purba Stegodon trigonocephalus terlengkap di Hutan Tritik, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur selama 10 hari dari tanggal 14 Oktober 2025.

Menurut Ketua Tim Ekskavasi Museum Geologi Badan Geologi Kementerian ESDM, Ahli Fungsional Penyelidik Bumi, Unggul Prasetyo, awal diketahui adanya fosil gajah purba di wilayah tersebut bermula dari laporan dari pemerintah daerah setempat kepada Museum Geologi.

"Kronologi awalnya tahun 2023 Pemda Nganjuk bersurat ke Museum Geologi, melaporkan adanya temuan temuan kegeologian seperti fosil dan batuan di area Tritik Nganjuk," ujar Untung kepada Liputan6, Bandung, Selasa (21/10/2025).

Untung mengatakan selang setahun laporan diterima, pada 2024 dilakukan survei oleh tim dari Museum Geologi Badan Geologi Kementerian ESDM dan menemukan satu titik yang berpotensi mengandung fosil yang masih utuh.

Namun pada waktu itu tidak langsung dilakukan penggalian. Pada 2025, barulah titik atau lokasi tersebut kemudian diekskavasi, dan memang seperti dugaan ditemukan fosil kerangka Stegodon satu individu yang cukup utuh.

"Kalau dari kajian ilmiah di Pegunungan Kendeng Jawa Timur sejak zaman Hindia-Belanda memang dikenal akan temuan temuan fosilnya. Nah, Wilayah Tritik juga bagian dari Pegunungan Kendeng ini," kata Unggul.

Unggul memaparkan Tahun 1930an geologist bernama Van Es dari Dinas Pertambangan di Bandung memetakan Wilayah Kendeng ini dan menyebutkan potensi kandungan fosilnya.

Atas dasar itulah ucap Unggul, kemudian di masa sekarang banyak instansi seperti Museum Geologi, BRIN, Museum Sangiran dan lainnya juga melakukan kajian di daerah tersebut.

"Dan akhirnya 2024-2025 Badan Geologi menemukan kerangka Stegodon ini. Jadi dari hasil analisis temuan temuan fosil yang ditemukan di daerag ini didominasi oleh temuan banteng purba dan gajah, bisa disimpulkan bahwa sekitar 800 ribu tahun lalu daerah ini merupakan savana yang banyak dihuni binatang binatang besar itu," tukas Unggul.

Unggul menegaskan kegiatan ekskavasi masih berlangsung, sampai sekarang sudah ditemukan 1 gading utuh sepanjang 2.5m, rusuk, kaki depan, kaki belakang, rahang bawah, tulang belikat, tulang pinggul, ruas tulang leher, tulang punggung, tulang ekor, dan jari-jarinya.

Untung mengatakan penemuan Stegodon di Nganjuk ini dinilai sebagai salah satu temuan fosil gajah purba paling lengkap di Jawa Timur.

"Selain memiliki nilai ilmiah tinggi, temuan ini juga menegaskan potensi Hutan Tritik sebagai kawasan geologi penting dan aset penelitian prasejarah Pulau Jawa," sebut Unggul.

Tritik Nganjuk Dulunya Sabana

Unggul menerangkan 800 ribu tahun silam, Kawasan Tritik Nganjuk tepatnya Wilayah Pegunungan Kendeng Jawa Timur adalah sabana tempat kelompok gajah purba hidup.

Unggul menyebutkan dari asosiasi faunanya yang dominan dihuni oleh banteng dan gajah sudah menunjukkan karakter lingkungan sabana. Jejak lainnya seperti banyak ditemukan jejak akar rumput di lapisan batuan yang mengandung fosil yang di kerangka gajah.

"Kalau jejak bentang alamnya saat ini sudah tidak terlihat karena yang dahulunya sekitar 800 ribu tahun yang lalu berupa savana luas, sekarang lapisan batuannya sudah terangkat dan terlipat menjadi punggungan dan bukit bukit kecil di Daerah Tritik," jelas Unggul.

Unggul menegaskan di Lokasi Tritik Nganjuk sekitar 800 ribu tahun yang lalu bentang alamnya berupa sabana yang dihuni binatang-binatang besar. Di mana buktinya sekarang bisa dipelajari dari fosil-fosil yang ditemukan di daerah ini.

Mengutip laman Mawatu, Padang sabana adalah hamparan luas rerumputan yang dihiasi oleh beberapa pohon dan semak belukar.

Ekosistem ini biasanya ditemukan di daerah dengan musim kering yang cukup panjang, di mana curah hujan tidak cukup untuk mendukung hutan lebat. Sabana memiliki keindahan tersendiri dengan lanskap terbuka yang menawarkan pemandangan luas dan udara segar.

Di Indonesia, padang sabana sering menjadi tempat favorit untuk wisata alam, fotografi, hingga eksplorasi satwa liar. Padang sabana tidak hanya menjadi destinasi wisata, tetapi juga habitat bagi berbagai flora dan fauna khas.

Sejarah Paleontologi di Indonesia

Dilansir Museum Geologi Bandung, penyidikan paleontologi di Indonesia pada masa awal keberadaan Belanda yakni abad ke-17 dan 18, masih sangat terbatas. Kondisi alam pedalaman yang banyak ditutupi oleh hutan tropis menjadi sandungan tersendiri untuk melakukan eksplorasi, diimbuh lagi pada waktu itu belum terdapat ahli khusus dalam bidang geologi yang notabene merupakan disiplin baru.

Informasi mengenai sejarah alam, batuan, fosil, logam dan mineralogi diperoleh dari para naturalis awal, di mana mereka mencampurkan sejumlah domain sains, tidak hanya menginformasikan aspek geologi saja, melainkan juga vegetasi tumbuhan dan hewan.

Georg Eberhard Rumpf atau lebih dikenal sebagai Rumphius (1627-1702) “si buta yang melihat dari Ambon” merupakan seorang naturalis terkemuka dan pegawai di maskapai dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Rumphius orang Eropa pertama yang memelopori pekerjaan geologis dan penyelidikan fosil di Nusantara.

Kendati demikian, interpretasi geologinya masih kurang memadai, sebab, geologi baru berkembang sebagai sebuah disiplin sekitar setengah abad setelah kematian Rumphius.

Rumphius memulai petualangan ilmiah di Nusantara pada paruh kedua abad ke-17 dan menghabiskan sebagian besar sisa hidupnya di Ambon hingga wafat pada tahun 1702.

Selama bertahun-tahun Rumphius telaten dalam mengoleksi berbagai temuan yang menarik untuk ilmu kebumian dan sejarah alam, meski, di sisi lain, banyak kemalangan yang menerpa, seperti, kehilangan koleksi dan naskah penelitian akibat kebakaran Kota Ambon, kemudian, kapal yang mengirim naskahnya ke Belanda karam di tengah perjalanan, selain itu, bencana gempa bumi menewaskan istri dan salah satu anak perempuannya serta kebutaan yang kemudian ia derita.

Akibatnya, Rumphius tidak dapat membuat lagi sketsa koleksi-koleksi dalam penyelidikannya. Untungnya, VOC memberikan bantuan dengan mengirimkan juru tulis dan gambar yang memudahkan Rumphius dalam menuntaskan lagi naskah-naskahnya, walaupun semua yang dikerjakan Rumphius baru terbit bertahun-tahun setelah kematiannya.

Periode Naturalis Awal

D'Amboinsche Rariteitkamer (1705) berkaitan dengan botani, mineralogi, dan geologi. Rumphius disebut-sebut sebagai penemu endapan mesozoikum di Nusantara oleh karenanya pengamatan terhadap fosil terhitung akurat, berdasarkan indikasi Rumphius fosil fauna laut berumur mesozoikum dapat ditemukan di Maluku.

Deskripsinya tentang “steenen vingers" batu yang memiliki bentuk menyerupai jari dari Pulau Sula, memicu kecurigaan C. E. A. Wichmann yang akhirnya menemukan fosil Belemnite (cumi-cumi purba) dari endapan mesozoikum di daerah bagian Maluku (1888-1889).

Sampai saat ini, penyelidikan paleontologi di daerah Indonesia bagian timur masih berkesinambungan. Deskripsi Rumphius dalam D'Amboinsche Rariteitkamer (1705) dilengkapi dengan sketsa-sketsa fosil yang indah, digambar oleh Maria Sibylla Merian.

Satu abad selepas kematian Rumphius, penyelidikan ilmiah di Nusantara semakin merana, ilmu geologi dan paleontologi tidak menunjukkan perkembangan sekali pun, di masa ini, pekerjaan ilmiah melulu bergantung pada individu.

Sikap kompeni yang lebih mementingkan perdagangan dan perang, ditambah kekacauan administrasi adalah sebab lainnya, dan tidak menguntungkan terhadap penelitian. Baru di abad ke-19, setelah pemerintahan Inggris (1811-1816) perkembangan paleontologi dapat dibicarakan lagi.

Pemerintah Hindia Belanda membentuk Komisi Pengetahuan Alam atau Natuurkundige Commissie, menghidupkan kembali semangat penyelidikan sejarah alam, seorang anggotanya yang produktif dan multibakat, yakni Junghuhn, melakukan penyelidikan di Jawa dan menuliskan kondisi alam Jawa secara komprehensif berdasarkan penyelidikan yang ia lakukan pada 1845-1848, dalam bukunya “Java :deszelfs gedaante, bekleeding en inwendige structuur” yang terdiri dari 4 volume Junghuhn menyertakan laporannya mengenai fosil di sejumlah daerah di Jawa yang ia bagi kedalam lokasi A-Z.

Fosil yang didapat Junghuhn meliputi beberapa spesies dari filum arthropoda dan moluska (yang kemudian diketahui berumur neogen) dan satu jenis fosil vertebrata, gigi hiu megalodon (O. megalodon) di perbatasan Djampang-Tjidamar, Sejumlah fosil yang dihimpun Junghuhn saat ini menjadi koleksi Museum Geologi, namun pada periode pertamanya Junghuhn belum menemukan fosil vertebrata terrestrial.

Ekskavasi Vertebrata Pertama

Memasuki periode ke-2 di pulau Jawa, Junghuhn tidak seaktif masa pertamanya, sebab kondisi kesehatan yang memburuk, dan dia hanya ditugaskan untuk mengembangkan penanaman pohon kina di Priangan. Akan tetapi, Junghuhn masih memiliki ketertarikan terhadap alam Jawa.

Pada 1857 Junghuhn mendapatkan laporan mengenai balung buto atau tulang-tulang raksasa yang berserakan dari daerah Pati Ayam. Junghuhn lalu memeriksa dan melakukan penggalian pada situs tersebut dan menjulukinya sebagai Slagvelden van Reuzen yang berarti tempat bertarung para raksasa atas ketakjubannya pada fosil fauna terestrial yang melimpah di Pati Ayam.

Junghuhn mendeskripsikan dengan tepat fosil-fosil yang ia temukan kedalam tiga spesies, yakni Elephas, Stegodon (ia tulis dengan nama lama Mastodon elephantoides) dan Bos. Junghuhn menyerahkan temuannya kepada Perhimpunan Ilmu Alam Kerajaan atau Koninklijk Natuutkundige Vereenging.

Temuan fosil vertebrata oleh Junghuhn yang juga dipublikasikan oleh Perhimpunan Ilmu Alam Kerajaan menjadi kunci penting sebagai titik awal penelitian dan ekskavasi fosil vertebrata atau mamalia besar di Indonesia, khususnya Jawa.

Setelahnya, penyelidikan dilakukan oleh Baron Anton Sloet van Oldruitenborgh di pegunungan kendang tahun 1859 dan P.E.C Schemulling di Sangiran tahun 1864, hingga Raden Saleh pada tahun 1865-1867, fosil-fosil temuan ini kemudian dideskripsikan oleh Karl Martin.

Keterlibatan Maestro Lukis Raden Saleh

Raden Saleh terkenal sebagai seorang maestro gambar dan lukis yang beraliran naturalisme dan romantisme, terlahir dari keluarga bangsawan Arab-Jawa di Semarang, Jawa Tengah. Raden Saleh juga memelopori ekskavasi paleontologi yang berasal dari bumi putra.

Di antara tahun 1865-1867 Raden Saleh menjadi seorang naturalis amatir dan melakukan beberapa ekskavasi di daerah Pati Ayam, Kedungbrubus, Solo hingga Sentolo, Yogyakarta.

Berdasarkan laporannya kepada Koninklijk Natuutkundige Vereenging (Over fossiele beenderen van den Pandan. Nat. Tijdschr. 1867) Raden Saleh menemukan graham (molar), gading Stegodon di sekitar Gunung Pandan-Kedungbrubus, Madiun.

Fosil-fosil Stegodon tersebut dideskripsikan oleh Karl Martin 1887 sebagai Stegodon trigonocephalus (Martin 1887). Pada 1930an Geologisch Museum merekonstruksi skeleton Stegodon trigonocephalus dan menjadi skeleton pertama di dunia pada genusnya (Stegodon) yang berhasil diperagakan.

Pengumpulan fosil yang dilakukan para naturalis awal ini sangat berpengaruh bagi paleontologi dan peneliti setelahnya, seperti informasi temuan fosil vertebrata oleh Junghuhn dan Raden Saleh yang membuat Eugène Dubois (ahli paleontologi) memindahkan ekskavasi di gua-gua Sumatra ke daerah Jawa pada 1890.

Setahun kemudian membuahkan hasil dengan ditemukan fosil manusia Jawa (Java Man) Pithecanthropus erectus (saat ini Homo erectus) yang dianggap sebagai mata rantai yang hilang (the missing link) dalam teori evolusi manusia, hal ini memperkenalkan Indonesia pada kawah ilmu pengetahuan dunia dan semakin diminati oleh para ahli paleontologi.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |