Status Tanggap Darurat Banjir Bali Dicabut, 4 Orang Masih Hilang

13 hours ago 7

Liputan6.com, Bali - Status tanggap darurat bencana banjir Bali resmi dicabut per Rabu, 17 September 2025. Sebelumnya banjir parah yang menimbulkan banyak korban jiwa melanda Bali 9-10 September 2025.

Kepala Pelaksana BPBD Bali I Gede Agung Teja Bhusana Yadnya dalam keterangannya, Kamis (18/9/2025) mengatakan, sebelumnya disampaikan bahwa status tanggap darurat sepekan bisa diperpanjang, namun Gubernur Bali Wayan Koster mengarahkan BPBD untuk tidak memperpanjang karena kondisi yang sudah membaik.

"Dengan mempertimbangkan perkembangan situasi terkini yang semakin landai, eskalasi penanganan darurat semakin menurun yang didukung juga dengan hasil asesmen tim penanggulangan bencana, maka Gubernur Bali memutuskan status tanggap darurat dinyatakan berakhir," kata Gede Agung.

Dirinya juga menjelaskan, dengan berakhirnya masa tanggap darurat bukan berarti penanganan bencana dihentikan.

Pemprov Bali memastikan layanan kebutuhan dasar tetap berlanjut kepada masyarakat terdampak dan proses pemulihan dipercepat, terutama bantuan bagi pedagang pasar, bantuan perbaikan rumah, pemulihan infrastruktur, dan fasilitas umum lainnya.

"Upaya pemulihan akan dilakukan secara kolaboratif antara pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan pemerintah pusat termasuk partisipasi masyarakat dan dunia usaha," ujarnya.

Meski status tanggap darurat bencana dihentikan, BPBD Bali tetap mengimbau seluruh masyarakat untuk selalu siaga, sebab cuaca ekstrem masih berpotensi terjadi lagi.

"Perhatikan bahaya yang mungkin terjadi di lingkungan masing-masing dan lakukan upaya pengurangan risikonya," ucapnya.

Selama sepekan masa tanggap darurat, diketahui tim SAR gabungan telah mengevakuasi 18 jenazah korban banjir besar di Denpasar, Jembrana, dan Gianyar. Hingga masa tanggap darurat dicabut, masih ada tiga korban hilang di Kabupaten Badung yang dilanjutkan pencariannya dan satu hilang di Denpasar yang sudah dihentikan pencariannya.

Kata Walhi

Direktur Walhi Bali Made Krisna Dinata saat dihubungi Tim Regional Liputan6.com, Kamis (11/9/2025) mengatakan, degradasi lingkungan yang ditandai dengan alih fungsi lahan, khususnya lahan pertanian diubah menjadi bangunan, merupakan pemicu awal dari rentannya Bali terhadap bencana hari ini.

"Terkait penurunan atau perubahan lahan sawah, kami coba mengcapture pada wilayah empat kabupaten di Bali, yakni Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan atau yang dikenal sebagai kawasan Sarbagita," katanya.

Pertumbuhan Lahan Terbangun

Dari rentang waktu 2018 hingga 2023, perkembangan wilayah dan pertumbuhan lahan terbangun menjadi salah satu penyebab berkurangnya luasan lahan pertanian khususnya sawah di wilayah Metropolitan Sarbagita.

Persentase penyusutan lahan sawah berkisar antara 3-6% dari luas wilayah masing-masing kabupaten/kota. Kota Denpasar mengalami penurunan lahan sawah sebanyak 784,67 Ha atau 6,23% dari luas wilayah.

Luasan sawah di Kabupaten Badung berkurang sebanyak 1099,67 Ha dan Kabupaten Gianyar berkurang 1276,97 Ha. Penyusutan lahan sawah terbesar berada di Kabupaten Tabanan yaitu seluas 2676,61 Ha. Konsekuensi dari perkembangan wilayah mengakibatkan kebutuhan lahan dan memicu terjadinya alih fungsi lahan pertanian.

Hilangnya lahan pertanian tentu juga akan menghilangkan fungsi dari Subak (Sistem Irigasi Tradisional Bali) terutama dalam fungsinya pada sistem hidrologis alami. Subak memiliki fungsi sebagai saluran irigasi dan mendistribusi air yang turut menjaga dan mengatur sistem hidrologis air. Bahkan menurut Prof Windia (Pakar Subak) setiap 1 Hektar Sawah mampu menampung 3000 ton air apabila tinggi airnya 7 cm.

"Apabila lahan pertanian dan Subak makin banyak berubah atau beralih fungsi menjadi bangunan, tentu hal tersebut akan mengganggu sistem hidrologis air alami yang ada, air menjadi tidak tertampung dan teririgasi dengan baik, sehingga timbulah banjir seperti yang kita lihat ini," ungkap Krisna.

Rencana Pembangunan Melabrak Tata Ruang

Krisna juga tak bisa bohong, penerapan tata ruang di Bali sangat buruk. Banyak kasus rencana pembangunan yang acapkali melabrak tata ruang, semisal pembangunan akomodasi pariwisata yang mengalih fungsikan lahan sawah dan Perkebunan menjadi bangungan, atau pembangunan yang melabrak sempadan Pantai dan Sempadan Sungai, bahkan pembangunan yang dilakukan di kawasan rawan bencana.

"Hal ini tentu akan menjadi suatu kombinasi yang sangat krusial yang menghantarkan Bali pada situasi kerentanan terhadap bencana. Salah satunya Banjir," katanya.

Krisna hanya bisa berharap, ada upaya nyata dari Pemda dalam memitigasi potensi ancaman bencana di kemudian hari, salah satunya denga menghentikan segala bentuk pembangunan yang berpotensi menyebabkan alih fungsi lahan.

"Penghentian atau Moratorium Pembangunan akomodasi pariwisata yang massif di kawasan sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan) semestinya menjadi Langkah yang harus dilakukan<' katanya.

Pemda dan pihak terkait juga harus bisa melakukan penegakan aturan tata ruang terhadap setiap pembangunan yang melabrak Sempadan Pantai dan Sempadan Sungai, begitupun dengan proyek yang mengancam kerusakan hutan dan pesisir di Bali.

Melakukan pemulihan dan tindakan nyata di berbagai titik atau lahan kritis di Hulu Bali, serta menghentikan ambisius pembangunan mega proyek yang mengorbankan lahan pertanian seperti rencana pembangunan Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi, Pengembangan kawasan Pelabuhan Sangsit serta pembangunan akomodasi Pariwisata yang amat massif dilakukan baik di Kota Denpasar dan Badung khususnya.

"Yang paling urgent sekarang tentu meninjau ulang dan memperhatikan bagaimana status drainase serta DAS Badung yang dikatakan menjadi faktor krusial penyebab banjir, selain tentunya memulihkan seluruh korban terdampak. Begitu juga, hal ini mesti dibarengi dengan memprioritaskan tata kelola lingkungan hidup yang berasaskan perlindungan dan pemulihan," katanya.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |