Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyampaikan rekomendasi penting kepada Kementerian Perdagangan RI terkait rencana pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) atas impor produk benang filamen sintetik tertentu dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Dalam surat resmi bertanggal 16 Mei 2025 pada Menteri Perdagangan, KPPU menekankan bahwa kebijakan tersebut berpotensi mengganggu iklim persaingan usaha yang sehat dan merugikan industri hilir.
Kebijakan ini bermula dari hasil penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) sejak 2023 guna menyusun kebijakan anti dumping produk benang filamen sintetik tertentu, yang menyimpulkan adanya praktik dumping oleh produk asal China. Namun, setelah melakukan analisis menyeluruh melalui instrumen Daftar Periksa Kebijakan Persaingan Usaha (DPKPU) dan pendekatan struktur-perilaku-kinerja (structure-conduct-performance) terhadap impor produk benang filamen sintetik tertentu yang berasal dari China, KPPU menyoroti beberapa hal krusial.
"KPPU menilai bahwa cakupan produk dalam kebijakan anti dumping terlalu luas. Sebagian produk yang akan dikenai BMAD tidak diproduksi di dalam negeri, namun tetap tercakup dalam pengenaan bea masuk. Hal ini dikhawatirkan dapat membatasi pilihan produk bagi penggunanya," kata Lelyana Mayasari, Direktur Kebijakan Persaingan pada Sekretariat Jenderal KPPU, Sabtu (24/5/2025).
"Analisis juga menunjukkan bahwa pasar benang filamen domestik saat ini sangat terkonsentrasi. Beberapa segmen utama hanya dikuasai oleh satu atau dua pelaku usaha. Misalnya, segmen Partially Oriented Yarn (POY) dan Spin Drawn Yarn (SDY) masing-masing hanya memiliki satu produsen aktif. Segmen Drawn Texture Yarn (DTY) warna pun hanya dipasok oleh satu pelaku usaha dengan kapasitas terbatas," imbuhnya.
Khusus untuk segmen SDY, KPPU menemukan adanya potensi konflik kepentingan. Produsen tunggal dalam negeri ternyata masih satu grup dengan pemohon pengenaan BMAD. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan munculnya penguatan posisi dominan oleh satu pihak, bukannya menciptakan persaingan yang sehat. KPPU juga mendeteksi indikasi praktik persaingan usaha tidak sehat dalam distribusi produk DTY warna dan SDY, yang dapat memukul pelaku usaha hilir dan memperlemah struktur pasar nasional.
Berdasarkan temuan tersebut, KPPU merekomendasikan agar Kementerian Perdagangan dan KADI mengevaluasi kembali rencana kebijakan BMAD. Perlu dilakukan klarifikasi atas definisi produk, serta analisis dampak terhadap struktur pasar dan keberlanjutan industri hilir. Di sisi lain, KPPU mendukung penuh langkah-langkah hilirisasi industri benang filamen di dalam negeri, asalkan tidak membatasi proses persaingan usaha yang sehat.
Sebelumnya Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy meminta pemerintah agar mempertimbangkan peningkatan tax ratio dengan kebijakan-kebijakan yang justru menyusahkan masyarakat. Hal ini disampaikan Ichsanuddin Noorsy menanggapi wacana pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk Benang Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY). Wacana tersebut dikhawatirkan berdampak buruk pada industri tekstil dalam negeri, salah satunya adalah ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. “Pemerintah egois. Pemerintah hanya memikirkan meningkatnya tax ratio, kan itu poinnya,” kata Ichsanuddin Noorsy.
Sementara itu Ian Syarif, Direktur PT. Sipatamoda Indonesia, perusahaan tekstil yang terletak di Kabupaten Bandung, Jawa Barat mengutarakan keprihatinan yang sama. “Industri sangat memahami pentingnya instrumen trade remedies seperti BMAD untuk melindungi produsen dalam negeri. Namun, pelaksanaannya perlu mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan hulu dan hilir agar tidak menimbulkan tekanan berlebih pada pelaku usaha, khususnya sektor hilir yang padat karya,” ujar Ian.
Ratusan bal pakaian bekas impor yang disita di sebuah gudang di Pekanbaru, Riau, dimusnahkan. Pemusnahan pakaian bekas merupakan instruksi presiden karena dinilai bisa mematikan industri tekstil dalam negeri.