Liputan6.com, Cirebon Belum lama ini, masyarakat khususnya kalangan seniman hingga pemerhati Sejarah Cirebon geger lantaran perubahan nama gedung negara creative center Ahmad Juhara menjadi Bale Jaya Dewata oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
Mereka mengaku tidak mengetahui proses penggantian nama gedung bersejarah itu sejak Gubernur Dedi Mulyadi memimpin Jawa Barat. Mereka mengaku belum mengetahui apa alasan Gubernur Dedi Mulyadi mengganti nama gedung bersejarah di Cirebon secara sepihak itu.
Namun, dibalik polemik perubahan nama tersebut, terdapat fakta menarik mengenai penamaan Jaya Dewata yang erat kaitannya dengan perjalanan Prabu Siliwangi di Cirebon. Pustakawan Keraton Kanoman Farihin Niskala menyampaikan, nama Prabu Siliwangi (1482-1521) sudah tidak asing lagi didengar oleh kalangan masyarakat Jawa Barat.
Diketahui, Prabu Siliwangi merupakan salah satu raja besar yang dianggap paling berhasil membawa Kerajaan Sunda-Galuh (Pajajaran) menuju masa kejayaannya. Farihin menyampaikan, Prabu Siliwangi tidak hanya dianggap sebagai sosok maha raja yang agung, melainkan diinterpretasikan sebagai ajaran.
"Oleh sebab itu kita sering mendengar dari para budayawan Sunda yang mengartikan siliwangi yang bermakna sili asah, sili asuh dan sili asih. Meskipun demikian, tidak sedikit pula masyarakat yang mengidentikkan Prabu Siliwangi dengan sosok macan yang pemaknaannya lebih dekat pada hal-hal yang bersifat supranatural, kedigdayaan, kanurgan dan sejenisnya," kata Farihin dalam keterangan tertulis kepada Liputan6.com, Sabtu (17/5/2025).
Ia mengatakan, nama Prabu Siliwangi menjadi inspirasi bagi satuan militer yang dibentuk pada masa revolusi tepatnya pada 20 Mei 1946. Inspirasi tersebut melahirkan Komando Daerah Militer Siliwangi (Kodam III Siliwangi).
Ia menjelaskan, pada dasarnya nama Prabu Siliwangi adalah nama julukan bagi masyarakat Sunda. Istilah wangi adalah warisan dari eyang buyutnya, yaitu Prabu Lingga Buwana yang gugur di Bubat saat berhadapan dengan Gajahmada, Patih Kerajaan Majapahit.
Atas integritasnya yang kuat dalam menjunjung tinggi kedaulatan dan harga diri Kerajaan Sunda-Galuh, Prabu Lingga Buwana memperoleh gelar anumerta Prabu Wangi. Gelar wangi secara otomatis turun kepada anaknya, Maha Prabu Rahyang Niskala Wastu Kancana (1371-1475) yang kemudian mewarisi gelar tersebut dengan nama Prabu Wangi Sutah.
"Setelah Wastu Kancana meninggal, gelar wangi berikutnya tidak jatuh pada anaknya, Dewa Niskala. Hal ini disebabkan karena Dewa Niskala telah melangar aturan Sunda yaitu mengawini perempuan Jawa dan Mojang Tukon atau istri larangan (yang telah dilamar orang lain)," jelas Farihin.
Gelar Prabu Siliwangi
Oleh sebab itu, gelar wangi kemudian disematkan pada cucu Wastu Kancana, yaitu Prabu Pamanah Rasa yang kelak disebut Prabu Suliwangi. Ia menyebutkan, Prabu Siliwangi memiliki banyak nama, antara lain Prabu Pamanah Rasa, Prabu Jaya Dewata, Rajasunu dan mungkin nama-nama lainnya yang belum diketahui.
Sementara gelar resmi kebesarannya adalah Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Prabu Guru Dewataprana. Belakangan ini, nama Prabu Jaya Dewata yang merupakan nama lain Prabu Siliwangi menjadi ramai lantaran nama ini dipakai sebagai nama Kantor cabang Gubernur Jawa Barat yang ada di Cirebon.
"Pro dan kontra muncul setelah plang nama Jaya Dewata terpampang jelas di bekas rumah dinas Residen yang dikenal Gedung Negara oleh masyarakat khususnya seniman dan pemerhati sejarah Cirebon," ujarnya.
Ia mengatakan, bagi pihak yang tidak sepakat dengan nama itu menganggap bahwa Jaya Dewata kurang familiar, tidak mewakili tokoh besar di Cirebon. Bahkan, menganggap bahwa Prabu Siliwangi tidak pernah menginjakkan kakinya di Cirebon sehingga tidak tepat jika kantor Gubernur cabang Cirebon itu namanya Bale Jaya Dewata.
Menurutnya, pernyataan tersebut dianggap tidak sesuai dengan fakta historis yang justru menceritakan sebaliknya. Setidaknya, kata Farihin, fakta historis itu termaktub dalam dua naskah, pertama Naskah Cariosan Prabu Siliwangi yang ditulis di atas daluang oleh Pangeran Rangga Gempol (1656-1706).
"Naskah ini berada di Museum Geusan Ulun Sumedang Larang. Naskah yang kedua yaitu Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh Pangeran Arya Carbon pada tahun 1720. Kedua naskah ini dengan gamblang mengisahkan bagaimana perjalanan Prabu Siliwangi yang ia habiskan di Cirebon sebelum ia menjadi raja besar di dua kerajaan sekaligus yaitu Galuh (Ciamis) dan Sunda (Bogor)," ujarnya.
Farihin menuturkan, Naskah Cariosan tersebut salah satunya mengisahkan bahwa Prabu Siliwangi nama kecilnya adalah Rajasunu. Ia memiliki saudara beda ibu yaitu Raja Putra atau Purbamenak.
Purbamenak tidak rela jika Rajasunu menjadi putra mahkota, oleh sebab itu ia merencanakan upaya pembunuhan terhadap Rajasunu. Beberapa upaya dilakukan dari mulai tantangan untuk menyebrangi sungai yang penuh dengan buaya hingga disuruh memanjat tumbuhan merambat (Sanghyang Kekumbingan) yang di atasnya terdapat tempat pemujaan.
Perjalanan di Cirebon
Kedua upaya ini gagal menyingkirkan Rajasunu. Upaya berikutnya pembunuhan yang direncanakan oleh Purbamenak dengan menyuruh bawahannya, Tandhesang dan Papaghrahang agar Rajasunu yang usianya kurang dari 10 tahun itu lenyap dari muka bumi.
"Upaya tersebut juga gagal dan berakhir dengan dijualnya Rajasunu kepada saudagar kaya bernama Minaldi yang saat itu berada di Pelabuhan Muarajati Cirebon. Sebelum dijual, Rajasunu dilumuri jelaga hitam sehingga rupanya buruk dan tidak dikenali sama sekali sebagai putra mahkota," ujarnya.
Rajasunu, katanya, kemudian menjadi budak hitam dan ABK Kapal yang bekerja di bawah pengawasan Minaldi. Masa-masa sulit ini dilalui oleh Rajasunu hingga suatu ketika, Nyai Ambetkasih, anak Ki Gedheng Sindang Kasih bermimpi kedatangan pemuda yang gagah diikuti oleh pelayannya yang masih anak-anak berwajah buruk rupa.
Dikemudian hari Ambetkasih mendengar ada seorang saudagar yang hendak menjual budaknya. Budak itu ternyata Rajasunu yang mukanya buruk rupa sesuai dengan apa yang ia lihat dalam mimpinya.
Rajasunu kemudian dibeli oleh Ambetkasih yang dijadikannya adik angkat dan tinggal di istana Ki Gedheng Sindangkasih yang lokasinya diperkirakan ada di Beber Cirebon.
Setelah tinggal di istana, nyatanya penderitaan Rajasunu belum berakhir, ia dianggap sebagai malapetaka karena sejak ia tinggal di istana Sindangkasih, taman-taman sering rusak. Disaat yang sama, tiga pengasuh Rajasunu, Lampung Jambul, Kidang Pananjung dan Gelap Nyawang menerima petunjuk bahwa keberadaan raja mjudanya berada di kediaman Ki Gedheng Sindangkasih.
"Setelah keberadaannya berhasil ditemukan, para pengasuh Rajasunu yang disebut Wukucumbu itu bersujud di hadapan Rajasunu dan memberitahukan kepada Ki Gedheng Sindangkasih bahwa ia adalah putra mahkota Galuh," ujarnya.
Sementara itu dalam Naskah Purwaka Caruban Nagari, Prabu Siliwangi atau Jaya Dewata melangsungkan pernikahan dengan Nyai Subanglarang di Cirebon dan kelak Subanglarang diboyong ke Istana Pakuwan Pajajaran bersama istri Prabu Siliwangi yang lain yaitu Kentring Manik Mayang Sunda putri Prabu Susuk Tunggal sekaligus adik dari Prabu Amuk Marugul, raja Japura.
Dari cerita tersebut, katanya, kita bisa terlihat bahwa di balik kebesaran dan kemasyhuran namanya, ternyata Prabu Siliwangi atau Jaya Dewata memiliki masa lalu yang pahit, penuh dengan perjuangan, darah dan air mata.
Ia tidak hanya diperlakukan buruk oleh saudaranya, melainkan dijual sebagai budak, sebagai ABK kapal hingga dikucilkan dan dianggap sebagai pembawa malapetaka. Cerita ini juga sekaligus menjawab pernyataan yang menganggap Prabu Siliwangi tidak pernah ke Cirebon.
Padahal fakta historis dari kedua naskah ini justru menceritakan bagaimana perjalanan pahit dan masa sulit ia habiskan di Cirebon. Ditambah lagi Prabu Siliwangi atau Jaya Dewata secara historis dan genealogis adalah ayah dari Pangeran Cakrabuwana sekaligus kakek Sunan Gunung Jati.
"Hal ini semestinya menjadi dasar bahwa sosok Jaya Dewata atau Prabu Siliwangi adalah bagian dari tokoh historis Cirebon dan namanya layak untuk diabadikan di Cirebon, baik sebagai nama gedung, nama jalan maupun nama kantor cabang Gubernur Jawa Barat pengganti nama Gedung Negara Cirebon yang hari ini menuai pro dan kontra," ujar Farihin.