Liputan6.com, Jakarta - Di tengah kebutuhan pendanaan iklim Indonesia yang semakin besar dan kondisi geopolitik global yang tidak menentu, Filantropi Islam muncul sebagai salah satu sumber pendanaan alternatif. Hal ini mengemuka dalam acara Tri Hita Karana Dialogue “Unlock the Billions: Tapping Hidden Flows for Climate Resilience” yang diadakan di Jakarta pada Kamis (15/5) yang diinisiasi oleh United in Diversity, Tri Hita Karana Forum, Purpose dan MOSAIC (Muslims for Shared Action on Climate Impact).
Abdul Gaffar Karim, Board of Advisors, MOSAIC menekankan potensi pendanaan alternatif yang dapat dihasilkan oleh umat beragama melalui filantropi dan skema pendanaan berbasis syariah.
“Filantropi Islam seperti wakaf memiliki potensi pendanaan hingga 180 triliun rupiah yang bisa menjadi potensi untuk aksi iklim,” jelasnya.
Ia menambahkan produk pendanaan berbasis syariah seperti Green Sukuk juga dapat menjadi alternatif karena berfokus pada proyek-proyek berkelanjutan. “Kolaborasi dengan sektor finansial ini penting dalam mentransformasikan rencana menjadi aksi iklim yang nyata,” jelasnya.
Indonesia membutuhkan pendanaan rata-rata dalam setahun sebesar 266,3 triliun rupiah sampai dengan tahun 2030 menurut perhitungan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan pada tahun 2022. Namun, tantangan di tingkat nasional dan global, termasuk keluarnya Amerika Serikat dari Paris Agreement, mengancam upaya pendanaan, yang menyebabkan kehilangan dana untuk transisi energi Indonesia melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP).
Meskipun demikian, Paul Butarbutar, Kepala Sekretariat JETP Indonesia, mengungkapkan keyakinan bahwa hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan. “Indonesia mendapatkan komitmen pendanaan dari berbagai sumber seperti dari Jerman untuk proyek-proyek transisi energi,” ucapnya.
Ia juga menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan, serta mengingatkan bahwa dalam mengamankan pendanaan iklim ke depan harus lebih memperhatikan pada masa persiapan proyek.
“Ini sangat penting untuk mengurangi risiko yang mungkin muncul,” jelasnya.
Burkhard Hinz, Direktur Bank Pembangunan Jerman (KfW) di Indonesia, mengatakan bahwa pihaknya telah menerbitkan produk obligasi hijau untuk pembiayaan iklim hingga 100 Miliar Dolar secara global.
“Dana tersebut dialokasikan untuk proyek-proyek infrastruktur yang berkaitan dengan
mitigasi krisis iklim, seperti pengembangan sistem transportasi publik dan manajemen limbah,” jelasnya.
KfW berfokus pada proyek-proyek yang memberikan dampak positif bagi manusia dan lingkungan.
Selain pendanaan dari bantuan internasional, sebagian pembiayaan iklim Indonesia juga bergantung pada APBN. Namun, menurut Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, APBN hanya memenuhi 12,3 persen dari total kebutuhan, sehingga menuntut kontribusi sektor swasta.
Di sisi lain, Laporan Climate Policy Initiative terungkap bahwa sektor swasta baru menyumbang 41,7 Miliar Dolar dalam pembiayaan iklim, sehingga baru mencakup sekitar 15 persen dari yang dibutuhkan. Ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk lebih meningkatkan penyelarasan investasi sektor swasta dengan tujuan iklim dan keberlanjutan Indonesia serta menemukan sumber pendanaan iklim alternatif.
Felia Salim, Ekonom Senior dari Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP) mengatakan, sektor bisnis konvensional masih melihat pembiayaan iklim sebagai sesuatu yang berbiaya tinggi sehingga model bisnis mereka seringkali tidak memberikan dampak bagi lingkungan.
Dirinya menyatakan agar pendanaan proyek-proyek iklim selain memenuhi aspek inklusivitas dan keberlanjutan juga harus memiliki proyeksi keuntungan ekonomi yang bankable.
“Sektor syariah berpotensi mengisi ceruk tersebut karena prinsipnya yang inklusif namun juga tidak mengesampingkan keuntungan finansial,” tuturnya.
Longgena Ginting, Country Director Purpose, menggarisbawahi bahwa pendanaan iklim global belum cukup memperhatikan komunitas lokal dan masyarakat adat.
“Kurang dari satu persen dari dana iklim diarahkan kepada mereka, padahal masyarakat akar rumput memiliki peran penting dalam mitigasi risiko krisis iklim sebagai penjaga keanekaragaman hayati,” ujarnya.
Menurutnya, berbagai pemangku kepentingan perlu memberikan perhatian lebih pada inisiatif mitigasi krisis iklim di tingkat tapak, seperti proyek Sedekah Energi dan Wakaf Hutan yang diinisiasi oleh MOSAIC yang mengaitkan pendanaan Filantropi Islam dengan aksi iklim berbasis umat.
Prof. Jatna Supriatna, Board of Trustee United in Diversity Foundation, menilai bahwa masalah iklim tidak dapat dilihat hanya dari sudut pandang lingkungan.
“Krisis iklim adalah problem sosial ekonomi dan kemanusiaan,” jelasnya. Ia menyerukan perlunya pendekatan yang menyeluruh dan kolaborasi antar sektor. Ia mengharapkan hasil dari diskusi di forum ini dapat dibawa ke forum The 4th International Conference on Financing for Development pada 30 Juni hingga 3 Juli 2025 mendatang di Spanyol. “Forum ini penting untuk memperkuat komitmen pendanaan iklim di level global,” tutupnya.