Liputan6.com, Jakarta - Budaya Rambu Tuka merupakan salah satu kekayaan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Bugis, khususnya yang berdomisili di wilayah Sulawesi Selatan.
Upacara ini tidak hanya sekadar bentuk perayaan panen, melainkan juga representasi dari rasa syukur mendalam kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan hasil bumi yang diperoleh selama masa tanam dan panen. Rambu Tuka sering kali diselenggarakan dengan penuh kegembiraan, disertai berbagai simbol dan ritual adat yang telah diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang.
Tradisi ini menjadi momentum penting untuk mempererat tali silaturahmi antaranggota masyarakat, menguatkan solidaritas sosial, dan menjaga kesinambungan identitas budaya Bugis di tengah arus modernisasi yang semakin deras.
Upacara ini biasanya dipimpin oleh seorang tetua adat atau tokoh masyarakat yang dipercaya memiliki pengetahuan mendalam tentang nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap tahap prosesi.
Dalam praktiknya, Rambu Tuka sering melibatkan seluruh lapisan masyarakat, dari anak-anak hingga orang tua, yang bahu membahu mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan, mulai dari penyusunan sesajen, peralatan upacara, hingga dekorasi lingkungan desa yang dihias meriah sebagai wujud penghormatan terhadap alam dan leluhur.
Keunikan Rambu Tuka terletak pada cara masyarakat Bugis menyatukan unsur religiusitas, sosial, dan artistik dalam satu rangkaian kegiatan yang harmonis. Upacara ini tidak hanya menyuguhkan kekayaan spiritual, namun juga menjadi panggung bagi ekspresi seni dan budaya lokal seperti tarian tradisional, musik etnik, dan pakaian adat yang sarat makna simbolik.
Tarian-tarian seperti Pajaga Boneballa dan Padduppa sering kali menghiasi panggung upacara, mencerminkan semangat kegembiraan dan penghormatan terhadap tanah yang telah memberikan kehidupan.
Musik tradisional yang dimainkan menggunakan alat seperti gendang, suling, dan kecapi Bugis, turut mengiringi prosesi dengan irama yang membangkitkan rasa haru dan kebanggaan akan warisan leluhur.
Gotong Royong
Selain itu, dalam Rambu Tuka juga disajikan berbagai makanan khas yang dimasak secara gotong royong, seperti burasa, songkolo, dan berbagai olahan hasil panen yang menggambarkan kemakmuran dan semangat berbagi.
Dalam konteks ini, Rambu Tuka bukan hanya menjadi upacara simbolik, melainkan juga ruang konkret untuk memperlihatkan filosofi hidup masyarakat Bugis yang menjunjung tinggi kebersamaan, kerja keras, dan keseimbangan antara manusia dan alam.
Lebih dari sekadar seremoni, Rambu Tuka memiliki dimensi spiritual yang mendalam, di mana masyarakat Bugis meyakini bahwa keberhasilan panen adalah hasil dari keharmonisan antara manusia, alam, dan kekuatan transenden.
Oleh karena itu, dalam prosesi ini terdapat doa-doa dan ritual khusus yang ditujukan kepada leluhur sebagai bentuk penghormatan dan permohonan agar di masa mendatang hasil panen tetap melimpah. Ritual ini menunjukkan kuatnya hubungan antara kosmologi Bugis dengan praktik agraris mereka.
Masyarakat percaya bahwa leluhur yang telah wafat tetap memiliki peran dalam menjaga keseimbangan dan keselamatan desa. Oleh karena itu, dalam Rambu Tuka sering pula dilakukan prosesi napak tilas ke situs-situs keramat atau makam tokoh adat yang dianggap memiliki hubungan spiritual dengan kelimpahan hasil bumi.
Tradisi ini menunjukkan bagaimana kearifan lokal mampu meramu nilai-nilai spiritual, budaya, dan ekologi menjadi satu sistem yang saling menguatkan. Bahkan, nilai-nilai yang terkandung dalam Rambu Tuka sering dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan komunitas, termasuk dalam hal pertanian, lingkungan, dan relasi sosial.
Dalam hal ini, Rambu Tuka berfungsi bukan hanya sebagai bentuk perayaan, tetapi juga sebagai instrumen untuk merevitalisasi nilai-nilai kearifan lokal yang semakin terpinggirkan dalam kehidupan modern.
Dengan demikian, Rambu Tuka bukan hanya sebuah upacara adat yang bersifat simbolik atau seremoni semata, melainkan sebuah sistem nilai dan pengetahuan tradisional yang kompleks dan memiliki relevansi sosial, kultural, bahkan ekologis.
Melalui Rambu Tuka, masyarakat Bugis mengekspresikan rasa syukur mereka kepada Tuhan dan leluhur, merawat identitas budaya, dan memperkuat jaringan sosial dalam komunitas. Tradisi ini juga menjadi sarana penting dalam pewarisan nilai-nilai luhur kepada generasi muda, di mana keterlibatan mereka dalam setiap proses ritual menjadi bagian dari pendidikan budaya yang otentik dan kontekstual.
Keunikan dan kekayaan nilai-nilai dalam Rambu Tuka seharusnya mendapatkan perhatian lebih dalam upaya pelestarian budaya lokal, terutama di tengah tantangan globalisasi yang cenderung menyeragamkan identitas.
Pemerintah daerah, lembaga adat, dan institusi pendidikan diharapkan dapat bekerja sama dalam mendokumentasikan, mempromosikan, serta melibatkan generasi muda untuk terus melestarikan Rambu Tuka sebagai warisan budaya tak benda yang tidak hanya berharga bagi masyarakat Bugis, tetapi juga bagi kebudayaan Indonesia secara keseluruhan.
Penulis: Belvana Fasya Saad