Liputan6.com, Jakarta Tari Likok atau yang lebih dikenal dengan nama lengkapnya Likok Pulo, merupakan salah satu seni tari tradisional yang berasal dari Provinsi Aceh, khususnya berkembang di kalangan masyarakat Pulo Aceh, sebuah gugusan pulau kecil di lepas pantai Banda Aceh.
Tarian ini memiliki kekhasan yang sangat mencolok dari segi gerakan, pola pertunjukan, dan nuansa religius yang terkandung di dalamnya, menjadikannya bukan sekadar bentuk hiburan semata, melainkan juga sebagai ekspresi budaya yang sarat nilai-nilai sosial dan spiritual masyarakat Aceh.
Dalam berbagai kesempatan, Tari Likok Pulo kerap menjadi salah satu sajian utama dalam acara adat, peringatan hari besar Islam, penyambutan tamu kehormatan, hingga festival budaya, menunjukkan betapa kuatnya posisi tarian ini dalam struktur kehidupan masyarakat Aceh.
Tarian ini biasanya ditarikan oleh sekelompok laki-laki yang duduk berjajar membentuk formasi lurus atau setengah lingkaran, sambil menyanyikan syair-syair dalam bahasa Aceh dengan iringan ritmis dari gerakan badan, tepukan tangan, serta irama tabuhan yang khas.
Gerakan yang kompak dan sinkron dari para penari bukan hanya menunjukkan keterampilan fisik semata, melainkan juga menandakan pentingnya kekompakan, kedisiplinan, dan persatuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Aspek paling menarik dari Tari Likok adalah kekayaan simbolik yang dikandung dalam setiap elemen pertunjukannya. Dari sisi musikalitas, irama yang mengiringi tarian ini umumnya bersumber dari suara tepukan tubuh dan lantunan vokal para penari sendiri, yang membuat suasana terasa hidup dan menyatu antara suara dan gerak.
Tidak ada penggunaan alat musik secara dominan sebagaimana pada beberapa tarian daerah lain di Nusantara, melainkan tubuh manusia sendiri yang menjadi instrumen utama. Hal ini menggarisbawahi nilai kesederhanaan namun tetap sakral, serta menunjukkan betapa dalamnya pemahaman masyarakat Aceh terhadap konsep keterpaduan antara raga dan jiwa.
Syair-syair yang dilantunkan dalam tarian ini pun memiliki makna keagamaan atau nasihat moral yang diturunkan dari generasi ke generasi. Banyak syair yang bercerita tentang kebesaran Tuhan, pentingnya persaudaraan sesama muslim, serta ajakan untuk hidup bermoral dan menjauhi perbuatan tercela.
Budaya Nusantara
Dengan demikian, Tari Likok tidak hanya tampil sebagai ekspresi estetis, tetapi juga sebagai media dakwah dan pendidikan sosial, yang membentuk karakter serta kesadaran spiritual para pelakunya dan penonton.
Perlu diketahui bahwa Tari Likok memiliki sejarah panjang yang tidak lepas dari perjalanan Islamisasi di Tanah Rencong. Seiring masuknya Islam ke Aceh pada abad ke-13, berbagai bentuk kesenian rakyat turut mengalami transformasi, termasuk dalam hal tarian.
Tari Likok yang awalnya merupakan bentuk hiburan lokal, perlahan-lahan diislamisasi dengan menghilangkan unsur-unsur yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, dan menggantinya dengan pesan-pesan religius yang lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Perubahan ini tidak menghilangkan kekuatan artistik tarian tersebut, malah menambah kedalaman maknanya. Oleh karena itu, Tari Likok kini dikenal sebagai salah satu representasi seni Islam dalam bentuk tari, sejajar dengan tarian-tarian lain seperti Seudati dan Saman, yang juga menekankan pada syair Islami, kekompakan gerakan, dan semangat kebersamaan.
Keunikan ini menjadikan Tari Likok sebagai identitas budaya yang tidak hanya memperkuat jati diri masyarakat Aceh, tetapi juga sebagai warisan budaya tak benda yang patut dijaga dan dilestarikan dalam kancah nasional maupun internasional.
Sayangnya, seiring perkembangan zaman dan gempuran budaya populer global, eksistensi Tari Likok mengalami tantangan yang cukup signifikan. Generasi muda Aceh saat ini cenderung lebih tertarik pada hiburan modern seperti musik elektronik dan tarian kontemporer yang mereka anggap lebih menarik dan relevan dengan zaman.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya minat dan partisipasi terhadap seni tradisional seperti Tari Likok. Beberapa kelompok seni dan komunitas budaya di Aceh berusaha untuk mengatasi tantangan ini dengan mengadakan pelatihan rutin, workshop budaya di sekolah, hingga pertunjukan digital yang disiarkan melalui media sosial untuk menjangkau generasi muda yang lebih akrab dengan dunia digital.
Pemerintah daerah juga turut berperan melalui dukungan kebijakan pelestarian budaya, termasuk memasukkan Tari Likok dalam kurikulum muatan lokal dan menjadikannya sebagai bagian dari atraksi budaya untuk menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Dengan upaya-upaya kolaboratif seperti ini, harapannya Tari Likok dapat tetap hidup dan berkembang, tidak hanya sebagai simbol masa lalu, tetapi juga sebagai bagian dari masa depan Aceh yang tetap menjunjung tinggi akar budayanya.
Pelestarian Tari Likok bukan hanya menjadi tanggung jawab masyarakat Aceh semata, tetapi juga merupakan tugas bersama seluruh rakyat Indonesia untuk menjaga kekayaan budaya nusantara yang begitu beragam dan mengagumkan.
Tari Likok adalah salah satu bukti bahwa seni tradisional Indonesia memiliki kedalaman filosofis dan estetika yang layak untuk terus dipelajari, dihargai, dan diwariskan kepada generasi mendatang.
Penulis: Belvana Fasya Saad