Liputan6.com, Yogyakarta - Di sebuah sudut kota, puisi bisa saja menjadi ruang estetik bagi kegelisahan dan gagasan. Inilah impresi yang terbangun menjelang peluncuran antologi puisi Kunang-kunang Berselendang Bianglala karya penyair Yogyakarta, Greg Usanta, pada 7 Juli 2025,
Menurut Mahmud Elqadrian, salah satu pekerja seni yang menulis pengantar antologi tersebut, puisi adalah rumah bahasa, tempat Greg menuangkan imajinasi.
"Juga kritik sosial dengan satire yang bersahaja, namun mengena,” kata Mahmud.
Peluncuran antologi di Yogyakarta ini akan melibatkan sejumlah penyair dan seniman. Pembaca puisi seperti BRAy. Iriani Pramastuti, Inung Nuramin, Ina Sita Nur’Aina, Teguh Mahesa, Kocil Birowo, Daniel Godan, Ojing Raharjo, Ani Maghfiroh, Kanjeng Rinto, Ginanjar Wilujeng, Kayla.
Selain itu, kolaborasi Liedwina Riestanti dan DDalat akan menghidupkan kata-kata Greg dengan pembacaan yang penuh ruh. Tak ketinggalan, ada pula Srikandi Pendapa nDalem Waton Gayeng Chanel, diiringi musik dari Dr Memet Chairul Slamet dan Haryanto. Peluncuran ini menjanjikan harmoni antara puisi, seni, dan musik.
Menurut Mahmud, puisi-puisi dalam antologi Kunang-kunang Berselendang Bianglala, berhasil menangkap absurditas sosial dan politik dengan gaya yang sederhana tapi penuh kegetiran.
"Greg tak bertele-tele dengan metafora filosofis. Puisinya seperti gerundelan orang sebal, marah sendiri, tapi mengajak kita ikut merasa kesal,” kata Mahmud.
Penyair 'Ora Niat'
Melihat prosesnya, Mahmud menyebut Greg sebagai penyair yang “ora niat” jadi profesional. Greg memiliki latar belakang akademik di IKIP Sanata Dharma jurusan sastra. Ia juga berengalaman di teater serta film. Situasi ini memperkaya cara pandangnya terhadap fenomena sosial.
Greg juga menyimpan kepekaan rasa yang mendalam.
“Ia tak pernah terlihat marah, bahkan jarang menggunakan ‘tanda seru’ dalam percakapan. Tapi jangan salah, kompleksitas hidup manusia tak luput dari emosi, dan Greg memilih menjalani hidup dengan penuh rasa dan sensitivitas,” kata Mahmud.
Kepekaan yang dimaksud Ahmud, barangkali bisa ditangkap dalam puisi elegi Bapa... Mengapa Tidak Aku Saja, yang Bukan Siapa-siapa. Puisi ini ditulis untuk sahabat karibnya, Alexander Jedink, yang telah berpulang.
laki laki senja berenang di sungai kedurang / menyeberang di lautan perempuan malam / hampir tenggelam di pusaran air mata jahanam / diselamatkan petualang anak alam / GNoah. kapan lagi kita bisa berenang di sungai dan pantai / sambil menikmati pagi secangkir kopi dengan santai / engkau asyik bermain pasir pantai yang tergadai / sementara abimu pergi untuk selamanya//.
Puisi ini lahir dari kenangan tak terlupakan di Bengkulu, saat mereka bermain di Sungai Kedurang bersama Alexander dan anaknya, GNoah. Ada firasat pilu ketika Greg nyaris terseret arus sungai, dan setahun kemudian, ternyata Alexander yang pergi untuk selamanya.
"Ini elegi yang menyentuh, penuh kepekaan,” kata Mahmud.
Mengajak Marah Sambil Cengengesan
Sementara itu, Greg juga mampu menggambarkan harapan dan kekecewaan anak-anak negeri dalam “Gemah Ripah Loh Jinawi”.
Stasiun kereta yang berada di pucuk rambut ibunda / menutupkan palang pintunya akan lewat / gerbong gerbong di pagi buta sarat dengan bintang bintang / yang dipetik diladang tanah garapan nenek moyang//.
Ini adalah gambaran paradoks. Ada kereta peradaban yang ditunggu, dan saat tiba ternyata kosong.
"Greg mengajak kita bertanya, siapa yang akan membangunkan generasi dari keterlenaan agar tak tertinggal kereta peradaban?" katanya.
Isu korupsi dan kekecewaan rakyat juga sukses ditulis dengan meminjam tembang Jawa.
Usluk usluk bathok / Bathoke ela elo / Kasak kusuk kathok / Kathoke oyo oyo / Si romo menyang solo / Leh olehe payung montho / Diarak soko joglo tekan kutho plonga plongo//.
Puisi ini seperti tembang mainan Jawa yang didaur ulang menjadi cermin kelakuan pejabat yang muka tembok, tak tahu diri. Greg mencoba menggigit tanpa harus mengepalkan tinju. Puisi ini menekankan absurditas korupsi yang terus subur di negeri kaya budaya.
“Ia seolah bertanya: mengapa korupsi tak jera-jera? Dan puisinya mengajak kita marah berjamaah, tapi dengan cara yang halus,” tambahnya.
Peluncuran Kunang-kunang Berselendang Bianglala bukan sekadar perayaan karya Greg, tetapi juga ajakan untuk menyelami cermin peradaban yang ia tawarkan. Dengan gaya yang lugas, tak pernah mendahsyatkan realitas, namun sarat kepekaan. Puisi Greg menjadi kesaksian jujur yang mengajak kita melihat, merasakan, dan merenungkan.
"Ia menulis apa adanya, tak mengada-ada. Itulah kekuatan puisinya,” katanya.