Koyabu, Jejak Rasa Tradisi Maluku dalam Balutan Sagu dan Kelapa Menggugah Selera

13 hours ago 8

Liputan6.com, Jakarta - Di antara ragam kuliner nusantara yang kaya akan cita rasa dan sejarah, Koyabu menjadi salah satu simbol autentik dari kekayaan budaya kuliner Maluku, khususnya Ambon.

Makanan tradisional Ambon ini mungkin tidak sepopuler papeda atau ikan kuah kuning yang sering diasosiasikan dengan Maluku, namun Koyabu memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat setempat, terutama dalam keseharian atau momen-momen istimewa.

Koyabu terbuat dari bahan dasar sagu yang dipadukan dengan kelapa parut segar, terkadang juga diberi tambahan gula merah atau pisang tergantung selera. Kombinasi ini menciptakan rasa yang unik gurih, sedikit manis, dan menghadirkan sensasi tekstur yang kenyal sekaligus lembut, menjadikan Koyabu sebagai kudapan yang tak hanya mengenyangkan tapi juga kaya makna budaya Ambon.

Di balik kesederhanaannya, Koyabu menyimpan nilai-nilai kearifan lokal yang tinggi, tentang hidup berdampingan dengan alam, tentang menghargai hasil bumi sendiri, dan tentang kebersamaan dalam proses pembuatannya yang sering dilakukan secara gotong royong.

Secara tradisional, proses pembuatan Koyabu dimulai dengan mengambil sagu dari pohon rumbia yang tersebar luas di kawasan Maluku. Sagu basah kemudian disangrai di atas api dengan wajan tanah liat atau wajan besi tua, sambil terus diaduk agar tidak menggumpal.

Kelapa yang digunakan pun bukan sembarang kelapa, melainkan kelapa parut muda yang baru dipetik, agar menghasilkan cita rasa segar dan lemak alami yang khas. Setelah bahan-bahan tercampur rata, adonan Koyabu akan dibungkus dalam daun woka atau daun pisang, lalu dikukus hingga matang.

Proses ini bukan hanya tentang memasak, tetapi juga menjadi sarana interaksi sosial dan penguatan hubungan kekeluargaan dalam masyarakat. Dalam tradisi masyarakat Ambon, Koyabu kerap disajikan pada saat acara adat, syukuran, atau sekadar saat sore hari sambil minum teh dan bercengkrama.

Pangan Alternatif

Kehadirannya bukan sekadar mengisi perut, tetapi juga sebagai lambang dari keluhuran budaya kuliner yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam konteks kekinian, Koyabu menjadi simbol resistensi budaya terhadap gempuran makanan instan dan budaya konsumsi modern yang serba cepat.

Meski proses pembuatannya terbilang cukup memakan waktu, banyak keluarga di Ambon dan sekitarnya yang tetap mempertahankan tradisi ini sebagai bagian dari identitas diri. Bahkan, beberapa pelaku usaha kuliner lokal mulai mengangkat kembali Koyabu ke ranah yang lebih luas dengan memodifikasi bentuk dan rasa tanpa meninggalkan keasliannya.

Inovasi ini menciptakan peluang besar bagi Koyabu untuk dikenal lebih luas, baik sebagai oleh-oleh khas Maluku maupun sebagai bagian dari promosi kuliner daerah yang penuh dengan nilai-nilai ekologis dan kebudayaan.

Sagu yang menjadi bahan utamanya juga tengah dilirik sebagai pangan alternatif yang ramah lingkungan, rendah gluten, dan kaya manfaat kesehatan, menjadikan Koyabu tidak hanya sebagai makanan tradisional, tetapi juga sebagai opsi pangan masa depan yang potensial.

Bagi siapa pun yang pernah mencicipi Koyabu, bukan hanya rasa yang tertinggal di lidah, melainkan juga jejak kenangan akan tanah Ambon yang hangat, ramah, dan sarat cerita. Maka, tak salah jika kita menyebut Koyabu bukan sekadar makanan, melainkan pusaka rasa yang merawat jati diri bangsa.

Penulis: Belvana Fasya Saad

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |